Salam Damai Kristus,

Sebuah kontribusi para mantan frater, pastor, suster, bruder, dll bagi pembangunan kehidupan bersama yang lebih baik. Kirimkan artikel apa saja yang mau ditampilkan pada blog ini ke email: mantan.frater09@gmail.com Atas kunjungannya, terima kasih.

Selasa, 25 Desember 2012

Uskup Agung Jakarta Kritik Sulitnya Izin Pendirian Gereja

Uskup Agung Jakarta Mgr Ignatius Suharyo mengatakan, hingga saat ini, pendirian gereja di Indonesia mengalami kendala perizinan. Hal ini dialami sejumlah gereja ketika mengurus izin ke pemerintah daerah. Persoalan yang sama dihadapi Gereja HKBP Filadelfia dan GKI Yasmin yang akhirnya menimbulkan konflik. Suharyo menekankan, hal ini merugikan bangsa Indonesia sendiri.

"Karena tidak diberi izin mendirikan tempat ibadah, lalu beribadah di tempat seadanya. Tetapi, itu juga dilarang. Kita tidak mengerti lagi mau berkata bagaimana lagi," ujar Suharyo di Gereja Katedral, Jakarta Pusat, Selasa (25/12/2012).

Ia mengatakan, seharusnya setiap umat beragama bisa menjalankan ibadahnya dan tak ada yang bersikap individualistis. "Rumah ibadah (gereja) yang diberi izin di Karawaci itu menunggu izinnya saja bukan main, butuh 24 tahun menunggu," kata Suharyo.

Oleh karena itu, ia berharap, persoalan perizinan pendirian rumah ibadah tidak semakin meluas. Pemerintah, tegasnya, wajib menyelesaikan masalah itu dengan mengambil langkah strategis. Akan tetapi, ia menilai, hingga saat ini, belum ada langkah pemerintah untuk menyelesaikannya.
(Kompas.com 25 Des 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Jumat, 21 Desember 2012

Sri Sultan: Kini Sukar Mendapat Tokoh Nasional Katolik

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X menyoroti kelemahan pendidikan kader sebagai penyebab sulitnya orang-orang Katolik saat ini yang tampil sebagai tokoh-tokoh nasional dibanding dengan pada masa-masa awal kemerdekaan.

"Bahkan, nyaris tidak ada aktivitas orang muda Katolik yang mengarahkan mereka pada peran dan tanggung jawab dalam politik. Hal ini berbeda dengan pada masa-masa awal kemerdekaan, dimana kala itu, banyak sekali tokoh-tokoh Katolik yang mengambil peran sentral," katanya saat memberi keynote speech dalam acara Dies Natalis ke-67 Pemuda Katolik di Kampus Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Minggu, (16/12).

Menurut Sultan, saat ini tidak ada pendidikan yang mumpuni bagi kader-kade Katolik sehingga tidak muncul tokoh seperti IJ Kasimo, tokoh politik pejuang kemerdekaan yang dianugerahi gelar pahlawan tahun ini dan Mgr Soegijapranata SJ, uskup pribumi pertama yang turut berperan mengusir penjajah Belanda dan terkenal dengan semboyannya, 'menjadi 100% Katolik, 100% Indonesia' serta sejumlah tokoh lain selama era pemerintahan Presiden  Soekarno dan Presiden Soeharto.

"Jika dahulu ada Kasimo, Soegijapranata dan kawan-kawan, maka kini, bangsa ini merindukan munculnya tokoh-tokoh Katolik di tingkat nasional yang sekaliber mereka", kata Sultan.

Ia menambahkan,  pernyataan bahwa 'generasi muda adalah masa depan, harapan dan tulang punggung Gereja' hanya sebatas wacana.

"Belum banyak tindakan konkret oleh orang muda dan usaha dari orang muda Katolik sendiri untuk berbuat sesuatu yang didukung oleh para tokoh senior politisi Katolik dan Gereja".

Ia menjelaskan, sebuah keniscayaan bila Gereja Katolik mampu mencetak pemimpin-pemimpin yang bekerja karena menjadi panggilan hatinya, menjadi pemimpin yang tegas, tidak otoriter, mampu menjamin terbangunnya iklim demokrasi yang kuat dan merawat keberagaman yang menjadi ciri Indonesia.

Ketua Umum Pemuda Katolik Agustinus Tamo Mbapa, mengakui memang pendidikan kader-kader Katolik masih  belum ditata dengan baik.

"Selain itu, ada semacam keterputusan atau tidak ada regenerasi pendidikan kader dari generasi tua ke generasi muda", ungkapnya.

Mbapo juga melihat peran Gereja yang cukup intens pada zaman dahulu dalam mendampingi kader-kader Katolik.

"Orang-orang muda Katolik betul-betul diperhatikan oleh Gereja, berbeda dengan situasi beberapa tahun terakhir".

Namun, ia menjelaskan, saat ini Pemuda Katolik sedang terus memperluas jaringan kerja sama dengan pihak hirarki Gereja dan juga dengan lembaga-lembaga lain.

Sementara itu, Ketua Komisi Kerasulan Awam Konferensi Waligerja Indonesia (KWI), Mgr Yustinus Harjosusanto MSF mengatakan, saat ini Gereja memang tidak memiliki lembaga khusus untuk mendidik kader-kader Katolik, tetapi menyerahkan hal itu pada organisasi-organisasi dan partai politik.

"Meski demikian, tentu saja Gereja tetap memperhatikan umatnya yang menjadi politikus", katanya kepada ucanews.com ketika ditemui di sela-sela acara.

Uskup Tanjung Selor ini mengakui memang banyak orang Katolik yang menjadi politikus, namun hanya sedikit yang menjiwai semangat kekatolikan.

"Semangat kekatolikan itu kan mengedapankan nilai-nilai kebenaran, keadilan, kejujuran dan juga keberpihakan pada orang-orang kecil. Namun, sekarang hal itu belum menjadi spirit dari orang-orang Katolik yang menjadi politikus", tegasnya.

Ia menjelaskan, selama ini Komisi Kerawam memang berupaya memfasilitasi pertemuan politisi-politisi Katolik, yang biasa diadakan setiap bulan untuk meningatkan mereka akan jati diri sebagai orang Katolik.

"Kalau orang-orang Katolik hasil didikan organisasi dan yang menyebar di partai-partai politik menghayati nilai-nilai kekatolikan dalam menjalankan profesi mereka, maka tentu gelar sebagai tokoh nasional akan datang dengan sendirinya. Hanya saja, ini masih menjadi persoalan Gereja saat ini, yang mesti disikapi secara serius", tegasnya.

Ryan Dagur, Yogyakarta

http://indonesia.ucanews.com/2012/12/18/sri-sultan-kini-sukar-mendapat-tokoh-nasional-katolik

Powered by Telkomsel BlackBerry®

Sabtu, 08 Desember 2012

Bagaimana sikap kita org katolik kalau diundang dalam perayaan natal (ekumene) sebelum hari natal?

Bagaimana sikap kita org katolik kalau diundang dalam perayaan natal(ekumene) sebelum hari natal?
 
Shalom, Sahabat sepelayanan, Tadi siang komisi liturgi keuskupan agung jakarta mengadakan seminar tentang Adven dan Natal. Bertempat di gereja St.Yakobus, paroki kelapa gading. Ada hal menarik yg ditanyakan dan dijawab oleh romo Bosco Da Cunha O Carm.

Saya ingin merangkumnya sbb: Pertanyaan: Bagaimana sikap kita org katolik kalau diundang dalam perayaan natal(ekumene) sebelum hari natal?

Sebelum menjelaskan, saya ingin menjelaskan sedikit mengenai masih Adven. Masa Adven membuka Tahun Liturgi yang baru, dan bagi umat Katolik mempunyai arti khusus, yaitu sebagai masa untuk mempersiapkan diri menyambut kedatangan Tuhan Kita Yesus Kristus. Umat diajak untuk membuat dirinya semakin pantas dan layak, agar siap menyambut kedatangan Tuhan. Dan sesudah persiapan batin selama 4 (empat) Minggu masa Adven, pada hari Natal secara istimewa umat merayakan dan menyambut kedatangan Tuhan Yesus.

Seruan Yohanes Pembaptis mengajak kita agar bertobat. Pertobatan ini membuat pengampunan Allah sungguh menjadi keselamatan bagi manusia. Jalan yang bengkok perlu diluruskan, yang berlembah ditimbun, yang berbukit diratakan.

Dalam mempersiapkan diri untuk menyambut perayaan Natal, umat diajak untuk menerima Sakraman Pertobatan atau Pengakuan Dosa. Demikianlah masa Adven terlebih mengajak kita untuk persiapan batin dan pertobatan, dalam rangka menyambut hari Natal. Karena itu sebelum tanggal 25 Desember atau malam 24 Desember, kita belum merayakan Natal tetapi baru mempersiapkannya.

Baiklah kita menerangkan hal ini kepada saudara-saudari Kristen dari Gereja-gereja lain. Dan dalam lingkungan kita sendiri baiklah kita menjalani masa Adven dengan sebaik-baiknya, dengan pelbagai acara dalam paroki yang jelas-jelas menunjukkan bahwa kita sedang mempersiapkan diri. Misalnya : renungan-renungan masa Adven, rekoleksi, triduum, novena natal, pertobatan, ulah tapa, perbuatan amal kasih dan perhatian kepada orang yang susah dan menderita.

Kita dapat juga mengembangkan suatu tradisi yang bagus sekitar "korona Adven". Yaitu suatu lingkaran dari daun-daun hijau dan ada 4 batang lilin yang diletakkan pada lingkaran itu. Pada Minggu Adven I dinyalakan satu lilin, pada Minggu Adven II dinyalakan 2 lilin dan seterusnya. Demikianlah dilambangkan tahap demi tahap, makin hari makin dekat, kita menantikan dengan rindu kedatangan Kristus. Sampai akhirnya tibalah kegenapan waktu pada hari Natal, dan semua lilin itupun dinyalakan. Warna hijau menunjukkan pengharapan akan Kristus, dengan pita ungu menunjukkan pertobatan dan penantian.

Lilin yang dinyalakan satu per satu melambangkan kedatangan Yesus Kristus, Cahaya Dunia yang menerangi hidup kita di dunia ini. Kiranya perlambangan sekitar Krans Adven itu dapat membantu kita untuk menghayati arti masa Adven.

Bagaimana sikap kita kalau diundang untuk menghadiri Perayaan Natal sebelum hari Natal ?

1. Pertama kita perlu menjelaskan bagaimana umat Katolik mempersiapkan diri untuk menyambut Hari Natal sepanjang masa Adven.

2. Kalau kita menimbang perlu, dalam rangka kebersamaan dalam hidup bermasyarakat, baiklah kita terima undangan untuk ikut hadir pada Perayaan Natal yang sudah disiapkan.

3. Kita ikut hadir sebagai penghargaan atas undangan yang diberikan, tetapi tidak ikut aktif menyelenggarakannya.

4. Seandainya toh kita diminta untuk ambil bagian dalam menyumbangkan nyanyian atau memberi renungan, hendaknya kita menyanyikan lagu masa adven yang bernada penantian; begitupun renungan yang kita berikan.
5. Dalam segala hal kita berpegang teguh pada ajaran Gereja Katolik, dengan sikap yang bijaksana dan terbuka dalam pergaulan dan dialog di tengah masyarakat

Semoga bermanfaat
(Werner Goana)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Minggu, 02 Desember 2012

PESAN NATAL BERSAMA PGI - KWI: ALLAH TELAH MENGASIHI KITA (bdk. 1 Yoh 4:19)

PESAN NATAL BERSAMA

PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA (PGI)

KONFERENSI WALIGEREJA INDONESIA (KWI)

TAHUN 2012

ALLAH TELAH MENGASIHI KITA

(bdk. 1 Yoh 4:19)

Saudara-saudari terkasih,

Setiap merayakan Natal, pandangan kita selalu terarah kepada bayi yang lahir dalam kesederhanaan, namun menyimpan misteri kasih yang tak terhingga. Allah menjadi manusia dan tinggal di antara kita. Inilah perayaan penuh sukacita atas kedatangan Tuhan. Dialah Sang Juruselamat yang menjadi manusia lemah dan miskin, agar kita yang miskin ini dapat ambil bagian dalam kekayaan keallahan-Nya. Maka pada perayaan kelahiran Yesus Kristus ini, baiklah kita merenungkan kasih Allah itu dan menegaskan apa yang harus kita lakukan untuk hidup sebagai orang-orang yang percaya kepada-Nya.

Kasih Allah Bagi Semua Manusia

Allah mengasihi semua manusia. Kasih-Nya yang besar kepada manusia itu diwujudkan dengan mengutus Anak-Nya yang tunggal ke dunia. Anak itu dikandung oleh seorang perawan, bernama Maria. Kelahiran-Nya membawa sukacita bagi banyak orang. Warta gembira itu diserukan oleh malaikat Allah: "sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa: Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud" (Luk 2:10-11). Tanda sukacita itu nyata dalam diri seorang bayi yang dibungkus dengan lampin dan dibaringkan dalam palungan sebagai wujud kesederhanaan dan kesahajaan.

Kasih Allah itu disambut dengan gembira oleh para gembala yang bergegas pergi ke Betlehem untuk menjumpai bayi itu seperti diwartakan oleh malaikat Allah. Hal yang sama juga dilakukan oleh orang-orang majus dari Timur. Mereka mencari kanak-kanak Yesus dengan mengikuti bimbingan bintang. Setelah menemukan tempat yang dicarinya, "masuklah mereka ke dalam rumah itu dan melihat Anak itu bersama Maria, ibu-Nya, lalu sujud menyembah Dia" (Mat 2:11a).

Begitulah bayi kudus itu semakin menjadi besar dalam didikan kasih kedua orangtua-Nya. Dia "makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia" (Luk 2:52).

Kasih Allah Tanpa Syarat

Allah adalah kasih (bdk. 1 Yoh 4:8.16b). Seluruh aktivitas Allah adalah tindakan kasih. Ia menyatakan diri dalam kasih kepada manusia. Ia mengasihi manusia tanpa membedakan. Ia tidak menuntut syarat apa pun dari manusia sebelum menyatakan kasih-Nya. Ia mengasihi orang benar maupun orang jahat dan semuanya tidak pernah lepas dari kasih-Nya. Demikianlah, Allah Bapa di surga, "menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar" (Mat 5:45).

Semua orang telah berdosa dan dosa membuat manusia terpisah dari Allah. Akibatnya, manusia kehilangan kemuliaannya sebagai anak Allah (Rm 3:23) dan tidak layak untuk tinggal bersama Allah. Hukuman yang harus diterima oleh orang berdosa adalah terpisah dari Allah, "sebab upah dosa adalah maut" (Rm 6:23).

Tetapi, Yesus rela menanggung penderitaan agar kita dibebaskan dari maut tersebut dan kita dianggap benar oleh Allah. Yesus pun rela menanggung semua itu karena Ia mengasihi manusia dan melihat semua manusia sebagai sahabat. Yesus menunjukkan kasih-Nya dengan memberikan nyawa-Nya sendiri untuk para sahabat-Nya. Sabda-Nya, "Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabatsahabatnya" (Yoh 15:13). Demikianlah Allah "telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal" dan Ia telah "mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia" (Yoh 3:16-17).

Jelas bahwa "bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita" (1Yoh 4:10). Allah tidak menunggu manusia mengasihi diri-Nya dan baru kemudian Ia mau mengasihi mereka. Ia mengasihi manusia walaupun manusia berdosa dan Kristus sendiri mati ketika manusia masih berdosa (Rm 5:8). Yesus datang ke dalam dunia dan hidup di tengah manusia bukan karena manusia itu baik. Sebaliknya, Ia rela meninggalkan kemuliaan surgawi dan mengurbankan diri-Nya justru karena manusia berdosa dan tidak sanggup melepaskan diri dari ikatan dosa. Semua ini dilakukan-Nya semata-mata karena Ia menghendaki kebaikan dan kebahagiaan manusia. Allah menghendaki manusia hidup bahagia dalam kemuliaan abadi bersama Dia.

Mengasihi seperti Allah

Kehadiran Kristus sebagai manusia di dalam dunia ini mengajak kita untuk mengasihi seperti Allah. Sabda menjadi manusia untuk menjadi teladan kita dalam mengasihi. Seperti Allah yang menyatakan kasih-Nya dalam diri Kristus, kita diingatkan untuk mengasihi sesama semata-mata karena kita menginginkan orang lain bahagia. Hal ini juga berarti bahwa kita diajak untuk mengasihi sesama tanpa membuat pembedaan, walaupun mereka tidak berlaku seperti yang kita harapkan. Jika demikian, kita berlaku seperti Allah dan menjadi anak-anak Allah.

Hanya orang yang membuka hati dan menyadari kasih Allah akan dapat mengasihi Allah dan sesama. Jika orang mengatakan bahwa ia mengasihi Allah tetapi membenci saudaranya, ia berdusta karena tidak mungkin mencintai Allah yang tidak kelihatan tanpa mencintai sesama yang kelihatan. Siapa yang mengasihi Allah, ia harus juga mengasihi saudaranya (bdk. 1Yoh 4:20-21). Dasar untuk saling mengasihi ini adalah kasih Allah. Dengan kasih seperti itulah orang diajak untuk mengasihi sesamanya.

Dalam terang kasih itu, kami mengajak Saudara-saudari untuk menanggapi kasih Allah dengan bertobat dan sungguh-sungguh mewujudkan kasih dengan memperhatikan beberapa hal penting berikut ini:

Pertama, Allah menciptakan alam semesta ini baik adanya dan menyerahkan pemeliharaan serta pemanfaatannya secara bertanggungjawab kepada manusia. Perilaku tidak bertanggungjawab terhadap alam ciptaan akan menyengsarakan bukan hanya kita yang hidup saat ini, tetapi terlebih generasi yang akan datang. Maka kita dipanggil untuk melestarikan dan menjaga keutuhan ciptaan-Nya dari perilaku sewenang-wenang dalam mengelola alam.

Kedua, melibatkan diri dalam berbagai usaha baik yang dilakukan untuk mengatasi persoalan-persoalan kemasyarakatan seperti konflik kemanusiaan, menguatnya sikap intoleran, dan perilaku serta tindakan yang menjauhkan semangat persaudaraan sebagai sesama warga bangsa.

Ketiga, melalui jabatan, pekerjaan dan tempat kita masing-masing dalam masyarakat, kita ikut sepenuhnya dalam semua usaha yang bertujuan memerangi kemiskinan jasmani maupun rohani. Demikian juga kita melibatkan diri dalam berbagai upaya untuk memberantas korupsi. Salah satu caranya adalah mengembangkan semangat hidup sederhana dan berlaku jujur.

Keempat, melibatkan diri dalam menjawab keprihatinan bersama terkait dengan lemahnya penegakan hukum. Hal itu bisa kita mulai dari diri kita sendiri dengan menjadi warga negara yang taat kepada hukum dan yang menghormati setiap proses hukum seraya terus mendorong ditegakkannya hukum demi keadilan dan kebaikan seluruh warga bangsa.

Saudara-saudari terkasih,

Allah yang menyatakan kebesaran kasih-Nya melalui Yesus Kristus yang dilahirkan di kandang Betlehem akan menyertai serta memberkati usaha kita semua dalam memberi wujud pada kasih-Nya itu. Semoga kasih Allah yang kita alami dan kita rayakan pada Natal ini mendorong kita untuk semakin giat berbuat kasih.

Berkat Tuhan melimpah kepada kita.

SELAMAT NATAL 2012 DAN TAHUN BARU 2013

Jakarta, 20 November 2012

Atas nama

PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA

DI INDONESIA (PGI)

Pdt. Dr. A.A. Yewangoe

Ketua Umum

 Pdt. Gomar Gultom, M. Th.

   Sekretaris Umum

KONFERENSI WALIGEREJA

INDONESIA (KWI)

Mgr. I. Suharyo

Ketua

Mgr. J.M. Pujasumarta

Sekretaris Jendral
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Selasa, 20 November 2012

Pesan Pastoral Sidang KWI Tahun 2012 tentang Ekopastoral

"Keterlibatan Gereja dalam Melestarikan Keutuhan Ciptaan"
  

Pendahuluan                                                    

1. " Engkau yang menumbuhkan rumput bagi hewan dan tumbuh-tumbuhan untuk diusahakan manusia, yang mengeluarkan makanan dari tanah" (Mzm. 104:14). Yang dikutip untuk mengawali Pesan Pastoral ini adalah Mazmur Pujian atas keagungan Tuhan yang tampak dalam segala ciptaan-Nya. Pujian itu mengandung kesadaran iman pemazmur akan tanggungjawab dan  panggilannya untuk menjaga dan melestarikan keutuhan ciptaan, dengan mengusahakan keselarasan dan perkembangan seluruh ciptaan (Kej 2:15). Inilah kesadaran Gereja juga.  Sadar akan pentingnya tanggungjawab dan panggilan tersebut, para Uskup yang tergabung dalam Konferensi Waligereja Indonesia menyampaikan Pesan Pastoral sebagai buah dari sidang yang diselenggarakan pada tanggal 5 - 15 November 2012.  

Kondisi yang memprihatinkan

2.  Alam semesta  dan manusia  sama-sama diciptakan oleh Allah karena kasih-Nya, sehingga manusia tidak bisa tidak menyadari kesatuannya dengan alam. Itulah sebabnya manusia harus memperlakukan alam sebagai sesama ciptaan dan mengolahnya secara bertanggung jawab. Bumi sendiri merupakan rumah bagi manusia dan seluruh makhluk yang lain. Hal ini mengharuskan manusia melihat lingkungan hidup sebagai tempat kediaman dan sumber kehidupan. Oleh karena itu, sejak awal Allah menciptakan langit dan bumi serta isinya baik adanya (Kej 1:10.12.18.21.25.31) dan Allah mempercayakan alam kepada manusia untuk diusahakan dan dipelihara.

3. Alam semesta bukanlah obyek yang dapat dieksploitasi sesuka hati tetapi  merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan  dari kehidupan manusia. Sumber daya alam yang diciptakan Allah untuk memenuhi kebutuhan manusia di bumi ini diperuntukkan bagi siapa saja tanpa memandang suku, agama dan  status sosial. Sumber daya itu akan cukup apabila dikelola secara bertanggung jawab, baik untuk kebutuhan generasi saat ini maupun generasi yang akan datang.  Oleh karena itu, alam harus diperlakukan dengan adil,  dikelola dan digarap dengan penuh rasa hormat dan tanggung jawab.

4. Tetapi kenyataannya, lingkungan yang adalah anugerah Allah itu,  dieksploitasi oleh manusia secara serakah dan ceroboh serta tidak memperhitungan kebaikan bersama, misalnya penebangan hutan, pembukaan lahan untuk perkebunan dan pertambangan yang kurang bertanggung jawab.  Lingkungan menjadi rusak, terjadi bencana alam, lahir konflik sosial, akses pada sumber daya alam hilang dan terjadi marginalisasi masyarakat lokal/adat, perempuan dan anak-anak. Keadaan itu diperparah oleh kebijakan-kebijakan yang didasarkan pada kepentingan politik sesaat dan pola pikir jangka pendek yang mengabaikan keadilan lingkungan. Akibatnya antara lain pemanasan bumi, bertumpuknya sampah, pencemaran air tanah, laut, udara serta tanah, pengurasan sumber daya alam yang menyebabkan kerusakan lingkungan dalam skala besar.

Gereja peduli

5. Gereja telah lama menaruh keprihatinan atas masalah lingkungan yang berakibat buruk pada manusia. Paus Paulus VI dalam Ensiklik Populorum Progressio (1967, No. 12) mengingatkan kita bahwa masyarakat setempat  harus dilindungi dari kerakusan pendatang. Hal ini diperjelas oleh Paus Yohanes II dalam Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis (1987, No. 34) yang menekankan bahwa alam ciptaan sebagai kosmos tidak boleh digunakan semaunya dan pengelolaannya harus tunduk pada tuntunan moral karena dampak pengelolaan yang tidak bermoral tidak hanya dirasakan oleh manusia saat ini tetapi juga generasi mendatang. Paus Benediktus XVI dalam Ensiklik Caritas in Veritate (2009, No. 48) menyadarkan kita bahwa alam adalah anugerah Allah untuk semua orang sehingga harus dikelola secara bertanggungjawab bagi seluruh umat manusia. 

6. Gereja Katolik Indonesia pun telah menaruh perhatian besar pada masalah lingkungan. Hal ini ditegaskan dalam Pesan SAGKI 2005 berjudul "Bangkit dan Bergeraklah" yang mengajak kita untuk segera mengatasi berbagai ketidakadaban publik yang paling mendesak, khususnya yang berhubungan dengan lingkungan hidup dan keutuhan ciptaan. Gereja juga telah melakukan banyak usaha seperti edukasi, advokasi dan negosiasi dalam mengatasi pengrusakan lingkungan yang masih berlangsung terus bahkan kian meningkat kualitas dan kuantitasnya.

Gereja meningkatkan kepedulian

7. Kami mengajak seluruh umat untuk  meneruskan langkah dan meningkatkan kepedulian dalam pelestarian keutuhan ciptaan dalam semangat pertobatan ekologis dan gerak ekopastoral. Kita menyadari bahwa perjuangan ekopastoral untuk melestarikan keutuhan ciptaan tak mungkin dilakukan sendiri. Oleh karenanya, komitmen ini hendaknya diwujudkan dalam bentuk kemitraan dan gerakan bersama, baik dalam Gereja sendiri maupun dengan semua pihak yang terlibat dalam pelestarian keutuhan ciptaan.  

8.Pada akhir Pesan Pastoral ini, kami akan menyampaikan  beberapa pesan:

8.1.Kepada saudara-saudari kami yang berada pada posisi pengambil kebijakan publik : kebijakan terhadap pemanfaatan sumber daya alam dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) hendaknya membawa peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat dan kelestarian lingkungan hidup. Undang-undang yang mengabaikan kepentingan masyarakat perlu ditinjau ulang dan pengawasan terhadap pelaksanaannya haruslah lebih diperketat.

8.2. Kepada saudara-saudari kami yang bekerja di dunia bisnis : pemanfaatan sumber daya alam hendaknya tidak hanya mengejar keuntungan ekonomis, tetapi juga keuntungan sosial yaitu tetap terpenuhinya hak hidup masyarakat setempat dan adanya jaminan bahwa sumber daya alam  akan tetap cukup tersedia untuk generasi yang akan datang. Di samping itu, usaha-usaha produksi di kalangan masyarakat kecil dan terpinggirkan, terutama masyarakat adat, petani dan nelayan, serta mereka yang rentan terhadap perubahan iklim dan bencana lingkungan, perlu lebih didukung.  

8.3. Kepada umat kristiani sekalian : umat kristiani hendaknya mengembangkan habitus baru, khususnya hidup selaras dengan alam berdasarkan  kesadaran dan perilaku yang peduli lingkungan sebagai bagian perwujudan iman dan pewartaan dalam bentuk tindakan pemulihan keutuhan ciptaan. Untuk itu, perlu dicari usaha bersama misalnya pengolahan sampah, penghematan listrik dan air, penanaman pohon, gerakan percontohan di bidang ekologi, advokasi persuasif di bidang hukum terkait dengan hak hidup dan keberlanjutan alam serta lingkungan. Secara khusus lembaga-lembaga pendidikan diharapkan dapat mengambil peranan yang besar  dalam gerakan penyadaran akan masalah lingkungan dan pentingnya kearifan lokal.

9. Tahun Iman yang dibuka oleh Paus Benediktus XVI pada tanggal 11 Oktober 2012, antara lain mengingatkan kita untuk mewujudkan iman kita pada Tuhan secara nyata dalam tindakan kasih (bdk. Mat 25: 31-40). Dengan demikian tanggungjawab dan panggilan kita untuk memulihkan keutuhan ciptaan sebagai wujud iman makin dikuatkan dan komitmen ekopastoral kita untuk peduli pada lingkungan kian diteguhkan. Kita semua berharap agar sikap dan gerakan ekopastoral kita menjadi kesaksian kasih nyata dan "pintu kepada iman" yang "mengantar kita pada hidup dalam persekutuan dengan Allah" (Porta Fidei, No.1). Kita yakin bahwa karya mulia di bidang ekopastoral ini diberkati Tuhan dan mendapat dukungan semua pihak yang berkehendak baik.

Penutup

10. Akhirnya kami mengucapkan terima kasih kepada saudara-saudari yang telah setia menekuni, mengusahakan dan memperjuangkan kelestarian keutuhan ciptaan dengan caranya masing-masing. Semoga Allah yang telah mencipta segala sesuatu, senantiasa memberkati rencana dan usaha kita bersama ini.

Jakarta,  15 November 2012

 

P R E S I D I U M

KONFERENSI WALIGEREJA INDONESIA,

 

 

Mgr. Ignatius Suharyo

K e t u a

Mgr. Johannes Pujasumarta

Sekretaris Jenderal

(Dikutip dari situs: mirifica.net)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Kamis, 15 November 2012

Mgr Ignatius Suharyo terpilih sebagai ketua KWI

Sidang Sinodal (3 tahunan) KWI yang berakhir pada Kamis, 15 November
2012, memilih Uskup Agung Jakarta Mgr Ignatius Suharyo sebagai Ketua
Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) baru periode 2012-2015.

Dengan demikian jabatan ketua KWI yang lama Mgr Martinus Dogma Sutumorang OFMCap sejak 15 November 2012 berakhir.

Di samping pemilihan Ketua KWI, Konferensi juga memilih semua pejabat yang menjadi ketua di Komisi-Komisi di Kantor Waligereja Indonesia.

Berikut para pejabat baru untuk periode 2012-2015.
Ketua KWI : Mgr Ignatius Suharyo
Wakil Ketua 1 : Mgr Leo Laba Lajar OFM
Wakil Ketua 2 : Mgr Petrus Turang
Sekretaris Jenderal : Mgr Johanes Maria Pujasumarta
Bendahara/Ketua Demon : Mgr Silvester San

Anggota : Mgr Ludovikus Simanulang OFMCap
Mgr Aloysius Sudarso
Mgr Pius Riana Prabdi
Mgr Petrus Bodeng Timang
Mgr Petrus Canisius Mandagi MSC
Mgr Hilarion Datus Lega
Mgr Giulio Mencuccini CP
Ketua Komisi HAK: Mgr Petrus Canisius Mandagi MSC
Ketua Karya Misi: Mgr Edmund Woga CSsR
Ketua Komisi Kateketik: Mgr John Liku Ada
Ketua Komisi Kerawam: Mgr Justinus Harjosusanto
Ketua Komisi Komsos: Mgr Petrus Turang
Ketua Komisi Liturgi: Mgr Aloysius Sutrisnaatmaka
Ketua Komsi Pendidikan: Mgr Martinus Dogma Situmorang OFMCap
Ketua Komisi PSE: Mgr H ilarion Datus Lega
Ketua Komisi Seminari: Mgr Dominikus Saku
Ketua Komisi Kepemudaan: Mgr John Philip Saklil
Ketua Komisi Teologi: Mgr Petrus Bodeng Timang
Ketua Komisi Keluarga: Mgr Frans Kopong Kung
Ketua Komisi KKP-MP: Mgr Agustinus Agus
Delegatus Karya Kesehatan: Mgr Hubertus Leteng
Delegatus Kitab Suci: Mgr Vincent Sensi Potokota
Ketua DSAK: Mgr Hilarion Datus Lega
Ketua BKBLII: Mgr Hilarius Moa Nurak SVD
Moderator SGPP: Mgr Vincentius Sutikno Wisaknono

Kegiatan persidangan sinodal KWI ini ditutup dengan misa yang
diselenggarakan di Gereja Katedral Jakarta dan dipimpin oleh Ketua KWI
yang baru sekaligus Uskup Agung Jakarta Mgr Ignatius Suharyo. Semoga
pejabat baru di Kantor Waligereja Indonesia diberkati dengan rahmat
berlimpah untuk mengembalakan tugas Gerejawi di Indonesia.

Sumber: mirifica.net
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Mgr Ignatius Suharyo terpilih sebagai ketua KWI
Mgr Ignatius Suharyo terpilih sebagai ketua KWI
15/11/2012
Mgr Ignatius Suharyo
 
Sidang Sinodal (3 tahunan) KWI yang berakhir pada Kamis, 15 November
2012, memilih Uskup Agung Jakarta Mgr Ignatius Suharyo sebagai Ketua
Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) baru periode 2012-2015.
Dengan demikian jabatan ketua KWI yang lama Mgr Martinus Dogma Sutumorang OFMCap sejak 15 November 2012 berakhir.
Di samping pemilihan Ketua KWI, Konferensi juga memilih semua pejabat yang menjadi ketua di Komisi-Komisi di Kantor Waligereja Indonesia.
Berikut para pejabat baru untuk periode 2012-2015.
Ketua KWI : Mgr Ignatius Suharyo
Wakil Ketua 1 : Mgr Leo Laba Lajar OFM
Wakil Ketua 2 : Mgr Petrus Turang
Sekretaris Jenderal : Mgr Johanes Maria Pujasumarta
Bendahara/Ketua Demon : Mgr Silvester San
Anggota : Mgr Ludovikus Simanulang OFMCap
Mgr Aloysius Sudarso
Mgr Pius Riana Prabdi
Mgr Petrus Bodeng Timang
Mgr Petrus Canisius Mandagi MSC
Mgr Hilarion Datus Lega
Mgr Giulio Mencuccini CP
Ketua Komisi HAK: Mgr Petrus Canisius Mandagi MSC
Ketua Karya Misi: Mgr Edmund Woga CSsR
Ketua Komisi Kateketik: Mgr John Liku Ada
Ketua Komisi Kerawam: Mgr Justinus Harjosusanto
Ketua Komisi Komsos: Mgr Petrus Turang
Ketua Komisi Liturgi: Mgr Aloysius Sutrisnaatmaka
Ketua Komsi Pendidikan: Mgr Martinus Dogma Situmorang OFMCap
Ketua Komisi PSE: Mgr H ilarion Datus Lega
Ketua Komisi Seminari: Mgr Dominikus Saku
Ketua Komisi Kepemudaan: Mgr John Philip Saklil
Ketua Komisi Teologi: Mgr Petrus Bodeng Timang
Ketua Komisi Keluarga: Mgr Frans Kopong Kung
Ketua Komisi KKP-MP: Mgr Agustinus Agus
Delegatus Karya Kesehatan: Mgr Hubertus Leteng
Delegatus Kitab Suci: Mgr Vincent Sensi Potokota
Ketua DSAK: Mgr Hilarion Datus Lega
Ketua BKBLII: Mgr Hilarius Moa Nurak SVD
Moderator SGPP: Mgr Vincentius Sutikno Wisaknono

Kegiatan persidangan sinodal KWI ini ditutup dengan misa yang
diselenggarakan di Gereja Katedral Jakarta dan dipimpin oleh Ketua KWI
yang baru sekaligus Uskup Agung Jakarta Mgr Ignatius Suharyo. Semoga
pejabat baru di Kantor Waligereja Indonesia diberkati dengan rahmat
berlimpah untuk mengembalakan tugas Gerejawi di Indonesia.

Sumber: mirifica.net
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Kamis, 25 Oktober 2012

DEKLARASI ORANG MUDA KATOLIK INDONESIA PADA INDONESIAN YOUTH DAY 2012

Kami Orang Muda Katolik Indonesia telah melaksanakan Indonesian Youth Day yang pertama kali dalam sejarah Gereja Katolik Indonesia. IYD pertama berlangsung di Sanggau Kalimantan Barat, pada tanggal 20—26 Oktober 2012, dihadiri oleh 1.914 OMK dan pendampingnya dari 35 keuskupan di Indonesia dan satu keuskupan dari Malaysia. Kami mengalami tahap-tahap kegiatan yang menggembirakan, memperdalam dan menantang penghayatan iman kami dengan diterangi oleh tema "Berakar dan Dibangun dalam Yesus Kristus, Berteguh dalam Iman" (Kol 2:7), serta subtema "Makin Beriman, Makin Mengindonesia".

Sepanjang masa persiapan serta pelaksanaan IYD, kami memperoleh pencerahan dalam semangat iman sebagai Orang Muda Katolik. Perjumpaan dengan Orang Muda Katolik seluruh Indonesia, berbagi pengalaman bersama umat dan masyarakat setempat, terbukti mempererat persaudaraan serta memperdalam iman dan rasa syukur kami. Kami bersyukur menjadi Orang Muda Katolik yang dilahirkan di kawasan Nusantara, suatu kawasan yang dianugerahi Tuhan dengan kekayaan alam dan aneka suku bangsa, dengan budaya yang luhur dan beraneka ragam.

Dari pengalaman iman yang kami peroleh selama IYD 2012 ini, kami berkehendak untuk berani mempertahankan dan mengembangkan nilai Kekatolikan yang mewujud dalam semangat cinta yang besar pada bangsa kami Indonesia.

Setelah merefleksikan proses pelaksanaan IYD 2012, kami meyakini bahwa:
1. Kami OMK Indonesia, adalah pembawa harapan, pelaku perdamaian dan keadilan, yang dipanggil untuk bertindak aktif tanpa kekerasan, menjadi agen perubahan bangsa ke arah yang makin bermartabat.
2. Kami OMK Indonesia, mau menanggapi panggilan Tuhan dengan sikap jujur, menjaga kemurnian dalam hal kesusilaan, serta aktif berperanserta dalam usaha mewujudkan suasana yang damai tanpa kekerasan.
3. Kami OMK Indonesia, mau mendidik diri menjadi orang yang merefleksikan setiap tantangan hidup dengan terang iman Gereja yang Satu, Kudus, Katolik dan Apostolik.
4. Kami OMK Indonesia, mencintai dan menghayati iman, ajaran serta Tradisi Gereja Katolik dalam kesatuan yang penuh kasih dengan para bapa uskup dan bapa suci.
5. Kami OMK Indonesia, berani menunjukkan jati diri kekatolikan sebagai salah satu ciri khas kami, sebagai bagian dari kebhinekaan Indonesia.
6. Kami OMK Indonesia, menjunjung tinggi nilai-nilai budaya dan kearifan lokal yang telah membesarkan kami serta yang selalu memperkuat jari diri kami sebagai bangsa Indonesia.
7. Kami OMK Indonesia, mau bersaudara dengan semua orang, serta mau meningkatkan kemampuan berkomunikasi dan berdialog, khususnya dalam bekerjasama dengan sesama orang muda yang berkepercayaan dan beragama lain demi peningkatkan mutu hidup bersama.
8. Kami OMK Indonesia mau merasul dengan mengembangkan kemampuan diri di bidang pengembangan ekonomi dan pengembangan hidup sosial kemasyarakatan yang bermartabat serta dalam usaha perbaikan lingkungan hidup.
9. Kami OMK Indonesia, menyepakati bahwa perjumpaan Indonesian Youth Day, dilanjutkan secara berkala sebagai bagian dari pembinaan yang berjenjang dan berkelanjutan.

Demikianlah kami mewartakan pernyataan ini, sebagai ungkapan syukur atas Indonesian Youth Day 2012 yang terbukti telah memantapkan persaudaraan dan panggilan perutusan kami sebagai OMK Indonesia. Kami OMK Indonesia, selalu berakar dalam Kristus, berteguh dalam iman dan bertekad bulat menjadi seratus persen Katolik, seratus persen Indonesia.

Sanggau, 26 Oktober 2012
OMK INDONESIA
(Fb IYD)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Kamis, 18 Oktober 2012

DOA TAHUN IMAN 2012-2013

Allah Bapa Mahapengasih,
kami bersyukur kepada-Mu
karena melalui Yesus Kristus Putra-Mu,
Engkau telah memanggil kami
ke dalam pangkuan Gereja Katolik yang kudus
dan memperkenankan kami masuk
ke dalam persekutuan Allah Tritunggal.

Utuslah Roh Kudus-Mu
agar kami senantiasa mempunyai iman yang hidup.
Semoga pada Tahun Iman ini
kami semakin memperdalam iman kami
melalui pendalaman Kitab Suci dan ajaran-ajaran Gereja.
Semoga dengan perayaan-perayaan suci-Mu, terutama Ekaristi,
kami semakin tinggal dalam Kristus dan berbuah
melalui perwujudan iman kami sehari-hari
di tengah aneka tantangan dan hambatan
dalam Gereja dan masyarakat pada zaman ini.
Bersama Bunda Maria, Bunda kaum beriman,
dan para rasul, guru dan teladan iman kami,
kami unjukkan doa ini kepada-Mu
dengan pengantaraan Kristus, Tuhan kami. Amin.
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Selasa, 09 Oktober 2012

Surat Apostolik Pintu kepada Iman (Porta Fidei)

SURAT APOSTOLIK
YANG DITERBITKAN SEBAGAI MOTU PROPRIO
“PINTU KEPADA IMAN”
( Porta Fidei )
DARI SANTO BAPA
BENEDIKTUS  XVI
UNTUK MENCANANGKAN TAHUN IMAN


1. “Pintu kepada Iman” (Kis. 14:27) senantiasa terbuka bagi kita, memasukkan kita ke dalam persekutuan hidup dengan Allah dan memberi tawaran untuk masuk ke dalam Gereja-Nya. Melintasi ambang pintu ini dimungkinkan apabila Sabda Allah diwartakan dan hati manusia membiarkan dirinya dibentuk oleh rakhmat yang senantiasa mampu mengubah. Memasuki pintu gerbang itu berarti memulai suatu perjalanan yang akan berlangsung seumur hidup. Ia mulai dengan baptisan (bdk. Rom. 6:4), dengan mana kita dapat menyebut Allah sebagai Bapa kita, dan perjalanan itu akan berakhir dengan kematian yang memasukkan kita ke kehidupan kekal, buah dari kebangkitan Tuhan Yesus, yang, dengan anugerah Roh Kudus, memang berkehendak menarik semua orang yang percaya kepada-Nya untuk masuk ke dalam kemuliaan-Nya (bdk. Yoh. 17:22). Beriman kepada Tritunggal –Bapa, Putra dan Roh Kudus– adalah percaya kepada Allah yang mahaesa yang adalah kasih (bdk. 1Yoh. 4:8), yaitu: Bapa, yang dalam kepenuhan waktu telah mengutus Putra-Nya untuk menyelamatkan kita, yakni Yesus Kristus, yang melalui misteri wafat dan kebangkitan-Nya telah menebus dunia; Roh Kudus, yang membimbing Gereja mengarungi jaman sambil menantikan kedatangan Tuhan yang akan datang kembali dalam kemuliaan.

2. Sejak mulai memangku jabatan sebagai Pengganti Petrus, saya telah berbicara tentang perlunya menemukan kembali perjalanan iman kita itu, agar supaya ia dapat memberikan pencerahan yang lebih jelas atas kegembiraan dan semangat yang senantiasa diperbarui dari perjumpaan kita dengan Kristus. Dalam homili yang saya sampaikan pada Misa pentakhtaan saya sebagai Paus saya mengatakan:“Gereja, secara keseluruhan, bersama dengan semua pastor-pastornya, seperti Kristus, harus bergerakuntuk membimbing umat keluar dari pada gurun, menuju ke tempat kehidupan, ke dalam persahabatan dengan Putra Allah, kepada Dia, Sang Pemberi kehidupan, bahkan kehidupan yang berkelimpahan”.[1] Sering sekali terjadi, bahwa Umat Kristiani lebih menaruh perhatian kepada konsekwensi-konsekwensi sosial, budaya dan politis dari komitmen mereka, karena mereka berpendapat bahwa iman-keprcayaan akan dengan sendirinya menyatakan diri secara kentara di dalam kehidupan bermasyarakat. Padahal kenyataannya, anggapan sedemikian itu bukan saja tidak bisa diandaikan terjadi dengan sendirinya, tetapi cukup sering bahkan secara terang-terangan diingkari[2]. Sementara di masa lampau sangat mungkin orang dapat mengenal kembali suatu matriks kemasyarakatan yang mempersatukan, yang secara luas diterima sebagai daya tarik kepada isi iman-kepercayaan dan nilai-nilai yang lahir dari sana, tetapi di masa sekarang ini rupanya hal itu tidak terjadi lagi pada kelompok-kelompok masyarakat luas dan itu adalah akibat dari adanya krisis iman yang mendalam yang telah menimpa banyak bangsa.

3. Kita tidak dapat menerima bahwa garam menjadi tawar atau bahwa pelita ditaruh di bawah gantang (lih. Mat. 5:13-16). Orang-orang jaman sekarangpun masih bisa mengalami kebutuhan pergi ke sumur, seperti wanita Smaria, untuk mendengar Yesus mengundang kita untuk percaya kepada-Nya serta menimba dari sumber air hidup yang memancar keluar dari dalam diri-Nya (lih. Yoh. 4:14). Kita harus menemukan kembali cita-rasa sedapnya menyantap sabda Allah, yang dengan setia telah diserah-alihkan kepada Gereja, dan atas roti kehidupan yang telah diserahkan bagi kehidupan para murid-Nya (bdk. Yoh. 6:51). Sungguh, pada jaman inipun ajaran Yesus masih tetap bergema kuat: “Bekerjalah, bukan untuk makanan yang akan dapat binasa, melainkan untuk makanan yang bertahan sampai kepada hidup yang kekal” (Yoh. 6:27), Bahkan pertanyaan yang kita ajukan sekarangpun masih sama dengan pertanyaan yang diajukan oleh para pendengar pada waktu itu: "Apakah yang harus kami perbuat, supaya kami mengerjakan pekerjaan yang dikehendaki Allah?" (Yoh. 6:28). Maka percaya kepada Yesus Kristus adalah jalan untuk sampai dengan pasti kepada keselamatan.

4. Atas dasar itu semua maka saya telah mengambil keputusan untuk mencanangkan suatu Tahun Iman. Tahun itu akan dimulai pada tanggal 11 Oktober 2012, yakni hari ulang tahun yang ke limapuluh dari pembukaan Konsili Vatikan II, dan akan ditutup pada Hari Raya Tuhan kita Yesus Kristus Raja Semesta Alam, pada tanggal 24 November 2013. Tanggal yang mengawali Tahun Iman itu, 11 Oktober 2012, merupakan juga hari ulang tahun yang ke duapuluh dari publikasi buku Katekismus Gereja Katolik,sebuah naskah yang sudah dipromulgasikan oleh pendahulu saya, Beato Yoahnes Paulus II[3], dengan maksud untuk memberikan kepada segenap umat beriman gambaran tentang kekuatan dan keindahan iman-kepercayaan kita. Dokumen tersebut, sebagai buah yang otentik dari Konsili Vatikan II, telah diminta oleh Synode Luar-biasa Para Uskup pada tahun 1985 untuk dijadikan sarana-bantu bagi pelayanan Katekese[4] dan telah diterbitkan dalam kerja-sama dengan semua Uskup dalam Gereja Katolik.  Tambahan pula, tema dari Sidang Umum Synode Para Uskup yang telah saya undang untuk bulan Oktber 2012 yang akan datang ini adalah: “Evangelisasi Baru utuk Mentransmisikan Iman Kristiani”. Hal itu akan menjadi kesempatan yang baik untuk untuk menghantar masuk segenap Gereja ke dalam suasana refleksi yang khusus dan menemukan kembali iman-kepercayaannya. Inibukan yang pertama kalinya Gereja dipanggil untu merayakan suatu Tahun Iman. Pendahulu saya yang Mulia Hamba Tuhan Paus Paulus VI pernah memaklumkan itu pada tahun 1976, untuk memperingati kemartiran santo Petrus dan Santo Paulus pada peringatan semblan belas abad tindakan yang paling luhur dari kesaksian mereka. Menurut hemat Beliau iulah saat yang paling mulia bagi seluruh Gereja untuk untuk menyatakan “suatu pengakuan yang otentik dan tulus dari iman-kepercayaan yang sama”. Apalagi beliau menghendaki bahwa hal itu masih dikuatkan lagi dengan cara “baik pribadi maupun bersama-sama, baik secara bebas namun bertanggngjawab, baik secara lahir maupun secara batin, dengan rendah hati dan berterus-terang”[5]. Beliau berpendapat, bahwa dengan cara demikian seluruh Gereja dapat memulihkan kembali “pemahaman yang tepat atas iman-kepercayaan itu, sehingga dengan demikian juga menguatkannya, memurnikannya, dan mengakuinya”[6]. Perayaan besar-besaran Tahun itu semakin menunjukkan betapa umat memang membutuhkan perayaan semacam itu. Upacara penutupannya dengan Pengakuan Iman Umat Allah[7] dimaksudkan untuk menunjukkan, betapa muatan hakiki iman itu yang selama berabad-abad telah membentuk warisan segenap orang yang percaya itu, perlu ditegaskan, dipahami dan diselidiki lagi secara baru, agar supaya kesaksian iman itu menjadi konsisten dengan hal-ikhwal sejarah semasa yang berbeda sekali dengan yang dari masa lampau

5. Dalam arti tertentu, Yang Mulia Pendahulu saya itu melihat Tahun Iman ini sebagai suatu “konsekwensi dan kebutuhan dari masa pasca konsili”[8], sambil menyadari sepenuhnya tentang kesukaran-kesukaran jaman yang serius, teristimewa yang berkaitan dengan pengakuan iman yang sejati dan penafsirannya yang benar. Menurut hemat sayatiming peluncuran Tahun Iman yang bertepatan dengan ulang tahun ke lima-puluh pembukaan Konsili Vatikan II itu akan memberikan kesempatan yang sangat bagus dalam membantu umat untuk memahami, bahwa naskah dokumen yang telah diwariskan oleh para Bapa Konsili itu, dengan kata-kata Beato Yohanes Paulus II, “sama sekali belum kehilangan nilai dan kecemerlangannya”. Naskah-naskah itu perlu dibaca dengan benar, ditangkap dengan akal budi secara luas dan dicamkan di dalam hati secara mendalam sebagai dokumen yang penting dan mengikat dari Magisterium Gereja sendiri, semuanya di dalam jalur Traidisi Gereja … Saya sendiri merasa lebih berkewajiban untuk menunjukkan kepada Konsili itu sebagai rakhmat agung yang dicurahkan Allah kepada Gereja Abad Keduapuluh itu, di mana kita dapat menemukan penunjuk arah untuk dapat mengarungi abad yang sekarang baru akan mulai itu”[9]. Saya juga ingin menekankan dengan sangat sekali lagi, apa yang sudah saya katakan tentang konsili ini beberapa bulan setelah saya terpilih sebagai Paus Pengganti Petrus: ”Apabila, kita, menafsirkan dan mengimplementasikan Konsili itu dengan bimbingan suatu hermeneutika yang benar, maka Konsili itu bisa dan akan menjadi semakin berdaya bagi pembaharuan Gereja yang senantiasa diperlukan itu”[10].

6. Pembaruan Gereja juga bisa dilaksanakan melalui kesaksian yang diberikan oleh hidup umat beriman: yakni justru melalui cara-mengada mereka di dunia ini, Umat Kristiani dipanggil untuk memancarkan sabda kebenaran yang diwariskan Tuhan kepada kita. Konsili sendiri, dalam Konstitusi Dogmatik Lumen Gentium, mengatakan ini: “Sedangkan Kristus, yang “suci, tanpa kesalahan, tanpa noda” (Ibr 7:26), tidak mengenal dosa (lih. 2Kor. 5:21), melainkan dating hanya untuk menebus dosa-dosa umat (lih Ibr 2:17), Gereja merangkum pendosa-pendosa dalam pangkuannya sendiri. Gereja itu suci, dan sekaligus harus selalu dibersihkan,serta terus-menerus menjalankan pertobatan dan pembaharuan. Gereja “dengan mengembara di antara penganiayaan dunia dan hiburan yang diterimanya dari Allah Gereja maju, sambil mewartakan salib dan wafat Tuhanahingga Ia datang (lih 1Kor. 11:26). Tetapi Gereja diteguhkan oleh daya Tuhan yang telah bangkit, untuk dapat mengatasi sengsara dan kesulitannya, baik dari dalam maupun dari luar, dengan kesabaran dan cinta kasih, dan untuk dengan setia mewahyukan misteri Tuhan di dunia, kendati dalam kegelapan, sampai ditampakkan pada akhir Zaman dalam cahaya yang penuh[11]. Dalam perspektif ini maka Tahun Suci itu adalah suatu panggilan kepada pertobatan yang otentik kembali kepada Tuhan, satu-satunya  Juruselamat dunia. Melalui misteri wafat dan kebangkitan-Nya, Allah telah menyatakan di dalam kepenuhannya kasih yang menyelamatkan dan memanggil kita kepada pertobatan hidup melalui pengampunan dosa (lih. Kis. 5:31). Bagi Santo Paulus, kasih ini memasukkan kita ke dalam suatu kehidupan baru: “Kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia oleh baptisan dalam kematian, supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru” (Rom. 6:4). Melalui iman-kepercayaan, hidup yang baru ini membentuk seluruh keberadaan manusiawi kita dari akar-akarnya sesuai dengan keadaan baru sebagai buah kebangkitan. Sejauh manusia dengan bebas bekerja-sama, maka pikiran dan perasaan-perasaannya, mentalitas dan perilakunya sedikit demi sedikit akan dimurnikan dan ditransformasikan, dalam suatu perjalanan yang tidak akan pernah sepenuhnya selesai di dalam hidup ini. “hanya Iman yang bekerja oleh kasih” (Gal. 5:6) akan menjadi kriteria baru bagi pemahaman dan tindakan yang mengubah seluruh hidup manusia (bdk. Rom. 12:2; Kol. 3:9-10; Ef. 4:20-29; 2Kor. 5:17).

7. Kasih Kristus menguasai kita” (2Kor. 5:14): Kasih Kristuslah yang memenuhi hati kita dan mendorong kita unutk berevangelisasi. Sekarang ini, seperti juga dulu, Kristus mengutus kita ke lorong-lorong dunia ini untuk memberitakan Injil kepada bangsa-bangsa di bumi (bdk, Mat, 28:16). Melalui kasih-Nya, Yesus Kristus menarik kepada diri-Nya orang-orang dari segala keturunan: dalam setiap jaman Dia menghimpun Gereja sambil mempercayakan kepada Gereja itu pewartaan Injil dengan perintah-Nya yang senantiasa baru. Pada jaman sekarangpun dirasa adanya kebutuhan akan komitmen Gereja yang lebih kuat bagi suatu evangelisasi baru, agar supaya orang menemukan kembali kegembiraan dalam percaya dan kegairahan dalam mengkomunikasikan iman itu, Dalam menemukan kembali kasih-Nya itu dari hari ke hari, keseiap-sediaan untuk diutus dari orang beriman ini mendapatkan kekuatan dan kegairahan yang tak akan pernah bisa pudar.  Iman itu bertumbuh apabila ia dihidupi sebagai pengalaman kasih yang sudah diterima, juga bila ia dikomunikasikan sebagai suatu pengalamann rakhmat dan kebahagiaan. Iman itu membuat kita berbuah subur, sebab dia memperluas hati kita dalam harapan dan memampukan kita untuk memberi kesaksian yang juga menghidupkan: memang, iman itu membuka hati dan budi siapa saja yang mendengar dan menjawab undangan Tuhan untuk tetap setia kepada sabda-Nya dan menjadi murid-Nya. Orang yang percaya, demikian Santo Agustinus mengatakannya, “menguatkan dirinya sendiri dengan kepercayaannya itu”[12]. Santo Uskup dari Hippo itu memiliki alasan yang sungguh tepat untuk mengungkapkan dirinya seperti itu, karena sebagaimana kita tahu, hidupnya merupakan suatu pencarian terus-menerus akan keindahan iman-kepercayaan itu sampai saat ketika hatinya menemukan istirahat dalam Allah[13]. Karya tulisnya yang sangat ekstensif, di mana Agustinus memberipenjelasan tentang pentingnya percaya dan dan tentang kebenaran iman, sampai sekarang tetap merupakan warisan dengan kekayaan yang tiada taranya, dan tetap menjadi sarana bantu bagi banyak orang yang mencari Allah untuk menemukan jalan yang benar menuju “pintu kepada iman”.

Karena itu, hanya melalui percaya, iman dapat bertumbuh dan menjadi kuat; tidak ada kemungkinan lain untuk mendapatkan kepastian yang berkaitan dengan kehidupan seseorang, selain dari pada meninggalkan diri sendiri dalam suatucrescendo yang terus-menerus, masuk ke dalam tangan-tangan kasih yang sepertinya terus bertumbuh tanpa henti karena memang bersal dari Allah.

8. Pada kesempatan yang membahagiakan ini, saya ingin mengundang saudara-saudara saya para Uskup dari se antero dunia untuk bergabung bersma dengan Pengganti Petrus selama masa yang penuh dengan rakhmat spiritual yang dianguerahkan Tuhan kepada kita ini, untuk mengingat anugerah iman yang sangat berharga itu. Kita hendak merayakan Tahun itu secara pantas dan menghasilkan buah. Renungan-renungan tentang iman hendaknya diintensifkan, untuk membantu segenap umat yang beriman kepada Kristus untuk mendapatkan kesadaran yang lebih baik dan secara lebih bersemangat melekatkan diri kepada Kabar Gembira, khususnya ketika sedang terjadi perubahan mendalam seperti yang sedang dialami oleh umat manusia pada saat ini. Kita akan mendapat kesempatan untuk mengakui iman-kepercayaan kita akan Tuhan yang bangkit di gereja-gereja katedral kita dan di dalam gereja-gereja di seluruh dunia; juga di rumah-rumah kita dan di antara kaum keluarga kita, sehingga setiap orang akan merasakan betapa perlunya pemahaman yang lebih baik dan kemudian untuk meneruskannya kepada generasi yang akan datang iman-kepercayaan segala jaman tersebut. Komunitas-komunitas biara seperti juga komunitas-komunitas paroki, dan semua lembaga-lembaga gerejawi, baik yang lama maupun yang baru, semuanya harus menemukan cara untuk, sepanjang Tahun itu, mengakui secara publik Credo kita.

9. Pada tahun ini kita hendak membangkitkan dalam diri setiap orang beriman aspirasi untuk mengakuiiman-keprcayaannya dalam kepenuhannya dan dengan keyakinan yang baru, juga dengan penuh kepercayaan dan harapan. Tahun itu akan menjadi juga sebah kesempatan yang bagus untuk mengintensifkan perayaan iman itu di dalam liturgi, teristimewa di dalam perayaan Ekaristi, yang adalah “puncak ke mana seluruh kegiatan Gereja diarahkan … tetapi juga adalah sumber dari mana seluruh kekuatan Gereja itu …  mengalir”[14]. Pada saat yang sama, kita berdoa juga agar kesaksian hidup umat beriman semakin dapat dipercaya. Untuk menemukan kembali isi iman yang diakui, dirayakan, dihayati dan didoakan[15], dan untuk merenungkan kembali kegiatan iman itu adalah tugas yang setiap umat beriman harus menjadikannya tugasnya sendiri, khususnya selama Tahun Iman ini. Bukan tanpa alasan umat Kristiani pada abad-abad pertama dituntut untuk menghafalkan pengkuan iman-kepercayaannya itu. Bagi mereka hal itu lalu berfungsi sebagai doa mereka setiap hari, agar mereka tidak melupakan komitmen yang telah mereka ikrarkan ketika mereka dibaptis. Dengan kata-kata yang sarat dengan makna, Santo Agustinus berbicara tentang hal ini dalam homili beliau tentangredditio symboli, tentang “penyerah-alihan pengakuan iman”, katanya: “Pengakuan iman dari misteri-misteri kudus yang telah kalian terima secara serentak dan yang pada hari ini telah kalian ucapkan kembali satu demi satu itu, adalah kata-kata di atas mana iman-kepercayaan Bunda Gereja didirikan dengan kokoh, pada landasan yang menetap, yang adalah Kristus, Tuhan sendiri. Kalian telah menerimanya, namun alian harus tetap memeliharanya di dalam akal-budi dan hati-sanubari kalian, kalian harus tetap mengulang-ulangnya di ranjang tempat tidur kalian, tetap mengingat-inganya di pasar-pasar, tidak melupakannya sementara kalian makan-makan, bahkan ketika kalian sedang tidurpun, kalian harus tetap memperhatikannya dengan hati kalian”[16].

10. Di sini saya ingin memberikan suatu garis besar dari sebuah sarana yang dimaksudkan untuk membantu kita memahami secara lebih mendalam, bukan saja isi muatan iman-kepercayaan itu, melainkan juga tindakan yang akan kita pilih untuk mempercayakan diri kita sepenuhnya kepada Allah dengan cara yang sebebas-bebasnya. Pada kenyataannya memang ada kesatuan yang mendalam antara tindakan dengan mana kita beriman dan muatan isi, kepadanya kita memberikan kesepakatan kita. Santo Paulus membantu kita memasuki kenyataan ini ketika dia menulis: “Dengan hati orang percaya dan dibenarkan, dan dengan mulut orang mengaku dan diselamatkan” (Rom. 10:10). Hati itulah yang menunjukkan bahwa tindakan pertama yang membawa seorang percaya adalah anugerah dari Allah dan tindakan rakhmat yang bergiat dan mengubah seseorang dari dalam.

Dalam kaitan ini secara khusus contoh dari Lydia menjadi sangat berarti. Santo Lukas menceriterakan, bahwa ketika berada di Filipi, pada suatu hari Sabbat, Paulus memberitakan Injil kepada beberapa wanita, di antaranya adalah Lydia dan “Tuhan membuka hatinya, sehingga ia memperhatikan apa yang dikatakan oleh Paulus” (Kis. 16:14). Di dalam ungkapan itu terkandunglah suatu makna yang penting. Santo Lukas mengajarkan, bahwa memahami muatan isi dari yang harus diimani tdaklah mencukupi, apabila hati, yakni tempat kudus yang khas dalam diri seseorang, tidak turut dibuka oleh rakhmat yang membuat mata bisa melihta apa yang ada di bawah permukaan dan mamahami, bahwa yang sedang diberitakan itu adalah Sabda Allah sendiri.

“Pengakuan dengan bibir” itu pada gilirannya menunjukkan, bahwa “beriman” itu mengandung juga pengertian “kesaksian secara publik” serta sebuah komitmen. Seorang Kristiani tidak pernah boleh berpikir bahwa beriman itu adalah urusan pribadi saja. Beriman berarti memilih untuk memihak kepada Allah dan dengan demikian berada dengan Dia juga. “Memihak kepada Dia” ini ke depan menunjuk kepada pemahaman akan alasan-alasan mengapa dia menjadi percaya. Iman-kepercayaan, justru karena dia adalah suatu tindakan yang bebas, juga menuntut pertanggungjawaban social aats apa yang diimaninya. Pada hari Pentakosta Gereja menunjukkan dengan sejelas-jelasnya dimensi publik dari keberimanan ini dan memberitakan dengan tanpa takut iman-keprcayaan seseorang kepada setiap orang. Anugerah Roh Kuduslah yang telah membuat kita siap untuk diutus dan menguatkan kesaksian kita serta menjadikannya terus-terang dan berani.

Pengakuan iman adalah suatu tindakan yang sekaligus bersifat perseorangan sendiri-sendiri, tetapi juga secara berkomunitas bersama-sama. Gerejalah yang sebenarnya pertama-tama menjadi subjek iman-kepercayaan. Di dalam iman-kepercayaan dari komunitas kristiani, setiap pribadi individual menerima baptisan, suatu tanda yang effektif masuknya ke dalam kalangan umat beriman untuk memperoleh keselamatan. Dalam buku Katekismus Gereja Katolik, kita membaca: "Aku percaya", itulah iman Gereja, sebagaimana setiap orang beriman mengakui secara pribadi, terutama pada waktu Pembaptisan. "Kami percaya"  itulah iman Gereja, sebagaimana para Uskup yang berkumpul dalam konsili itu mengakui, atau lebih umum, sebagaimana umat beriman mengakui dalam liturgi. "Aku percaya": demikianlah juga Gereja, ibu kita berbicara, yang menjawab Allah melalui imannya dan yang mengajar kita berkata: "aku percaya", "kami percaya"[17].

Jelas sekali, bahwa pengetahuan akan isi iman-kepercayaan adalah hakiki bagi seseorang untuk dapat memberikan persetujuannya, artinya untuk mengikatkan diri sepenuhnya, dengan segenap akal-budi dan kehendaknya, kepada apa yang ditawarkan oleh Gereja. Pengetahuan akan iman-keprcayaan ini membuka pintu masuk ke dalam kepenuhan misteri karya penyelamtan yang diwahyukan oleh Allah. Persetujuan yang kita berikan itu berarti pula, bahwa ketika kita percaya, kita menerima dengan bebas seluruh misteri iman-kepercayaan, sebab penjamin dari kebenarannya adalah Allah sendiri, yang mewahyukan dirinya sendiri dan mengijinkan kita mengetahui misteri cinta-kasih-Nya [18].

Di pihak lain, kita tidak boleh melupakan, bahwa di dalam konteks budaya kita, ada banyak bangsa, yang meskipun tidak meng-claim memiliki anugerah iman itu, namun secara tulus mereka mencari arti makna yang tertinggi dan kebenaran yang pasti dari hidup dan dunia mereka. Pencarian ini merupakan “pendahuluan” yang otentik kepada iman-kepercayaan, justru karean ia menuntun orang pada jalan yang membawanya ke misteri Allah. Sebenarnya akal-budi manusia mengandung di dalam dirinya tuntutan pada “apa yang selamanya sahih dan langgeng”[19]. Tuntutan ini mengandung suatu panggilan yang menetap, karena terpatri secara tak-terhapuskan di dalam hati manusia, yang membuatnya bergerak mencari Dia yang kita tidak akan mencarinya seandainya Dia sudah tidak lebih dahulu bergerak untuk mendapatkan kita[20]. Pada perjumpaan inilah iman-kepercayaan mengundang kita dan membuka diri kita sepenuh-penuhnya.

11. Untuk sampai pada pemahaman yang sistematik pada isi iman-kepercayaan itu, semua orang dapat menemukannya di dalam buku Katekismus Gereja Katolik, suatu sarana-bantu yang sangat berharga dan taktergantikan. Dokumen itu dalah satu dari buah-buah terpenting Konsili Vatikan Kedua. Dalam Konstitusi Apostolik Fidei Drpositum, yang ditandatangani, bukan hanya karena kebetulan, pada Hari Ulang Tahun yang ke tiga-puluh Pembukaan Konsili Vatikan Kedua. Beato Yohanes Paulus II menulis: ”Katekismus ini akan menjadi suatu kontribusi yang sangat penting bagi karya pembaruan seluruh kehidupan Gereja  Maka saya menyatakan katekismus itu menjadi suatu sarana-bantu yang sah dan legitim bagi persekutuan gerejawi dan menjadi norma yang pasti bagi pengajaran iman”[21].
Dalam arti inilah bahwa Tahun Iman itu harus mengupayakan suatu usaha terpadu untuk menemukan kembali dan untuk mempelajari isi muatan fundamental dair iman-kepercayaan yang sekarang disintesekan secara sistematis dan secara organis di dalam Katekismus Gereja Katolik. Di sinilah, sebenarnya, kita melihat kekayaan ajaran yang telah diterima oleh Gereja, dijaga dan diwartakan sepanjang dua ribu tahun sejarah keberadaannya. Dari Kitab Suci, sampai ke Para Bapa-bapa Gereja, dari para pakar teologi sampai ke para kudus sepanjang segala abad, Katekismus ini memberikan rekaman yang menetap dari banyak cara yang dipergunakan Gereja untuk merenungkan iman itu dan berkembang maju dalam ajaran, dan dengan demikian kepastian bagi para beriman dalam kehidupan beriman mereka.

Dalam strukturnya yang seperti itu Katekismus Gereja Katolik ini mengikuti perkembangan iman-kepercayaan langsung kepada tema-tema besar dalam kehidupan sehari-hari. Di setiap halaman demi halaman, kita temukan, bahwa apa yang disajikan di sini bukanlah teori belaka, akan tetapi sungguh suatu perjumpaan dengan Seorang Pribadi yang hidup di dalam Gereja. Pengakuan iman diikuti oleh penerimaan kehidupan sakramental di mana Kristus hadir, bergiat dan melanjutkan karya-Nya membangun Gereja. Tanpa liturgi dan sakramen-sakramen, pengakuan itu akan kehilangan efikasitasnya, sebab dia akan kehilangan rakhmat yang mendukung kesaksiannya secara Krisriani.Melalui kriterium yang sama, ajaran dari Katekismusini tentang kehidupan moral mendapatkan artinya yang penuh, apabila memang ditempatkan dalam keterikatannya dengan iman-kepercayaan, liturgi dan doa.

12. Maka dari itu dalam Tahun Iman itu nanti,Katekismus Gereja Katolik itu akan dipergunakan sebagai sarana bantu untuk memberikan dukungan yang nyata bagi iman-kepercayaan, terutama bagi mereka yang terkait dengan pembinaan umat kristiani, yang berada dalam saat sangat krusial dalam konteks budaya kita. Untuk maksud itu saya telah mengundang Kongregasi Untuk Ajaran Iman, dalam kesepakatan dengan Dikasteri-dikasteri Takhta Suci yang kompeten, untuk mempersiapkan sebuahNota, yang akan memberikan arahan-arahan kepada umat beriman Gereja dan perseorangan tentang bagaimana harus menghayati Tahun Iman itu secara yang se-efektif dan se-tepat mungkin bagi kepentingan iman-kepercayaan dan pewartaan.

Dalam skala yang lebih besar dari pada di masa lampau, sekarang ini iman dihantam dengan serangkaian pertanyaan yang muncul dari suatu sikap dasar yang sudah berubah, yang, khususnya dewasa ini, bidang kepastian-kepastian rasional diberi pembatasan-pembatasan terhadap penemuan-penemuan ilmiah dan teknologi. Namun demikian, Gereja tidak pernah merasa takut untuk tetap menunjukkan, bahwa tidak mugkin ada pertentangan antara iman dan ilmu yang sejati, sebab keduanya, kendatipun jalur yang ditempuh berbeda, mengarah menuju kepada kebenaran[22].
                                                                           
13. Satu hal yang akan sangat menentukan dalam tahun Iman itu adalah, bila kita menelusuri sejarah iman kita yang sebenarnya ditandai dengan misteri yang takterkatakan dari keterjalinan antara kesucian dan dosa. Sementara yang pertama menyoroti kontribusi besar yang diprestasikan oleh laki-laki atau perempuan bagi pertumbuhan dan perkembangan persekutuan melalui kesaksian hidup mereka, yang kedua harus menantang dari setiap orang  suatu kerja yang tulus dan berlanjut dari pertobatan untuk mengalami belas-kasih Bapa, yang dtawarkan kepada semua orang,

Selama waktu itu kita akan harus tetap memandang Yesus Kristus, “yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan” (Ibr. 12:2): di dalam Dia, semua kekhawatiran dan semua kerinduan hati manusia mendapatkan pemenuhannya. Sukacita dari kasih, jawaban atas drama penderitaan dan kesakitan, kekuatan dari pengampunan di hadapan sebuah penghinaan yang diterima dan kemenangan hidup atas kehampaan kematian: semuanya itu mendapatkan kepenuhannya di dalam misteri inkarnasi-Nya, ketika Dia menjadi manusia, ketika Dia mengambil-bagian di dalam kelemahan manusiawi kita, sehingga semuanya itu ditransformasikan-Nya melalui kekuatan dari kebangkitan-Nya. Di dalam Dia yang telah mati lalu bangkit kembali demi keselamatan kita itu, contoh teladan iman-kepercayaan yang telah menandai dua ribu tahun sejarah keselamatan kita ini mendapatkan pencerahan yang sepenuh-penuhnya.

Dengan iman, Maria menerima kata-kata Malaekat dan percaya kepada pesan bahwa dia akan menjadi Bunda Allah dalam ketaatan dari kesalehannya (bdk. Luk. 1:38). Ketika mengunjungi Elizabet, dia melambungkan madah pujiannya kepada Yang Mahatinggi karena karya ajaib yang telah dikerjakan-Nya di dalam diri mereka yang menaruh kepercayaan kepada-Nya (bdk. Luk. 1:46-55), Dengan sukacita dan kegentaran dai melahirkan anaknya yang tunggal, dengan keperawanannya yang tetap tak ternoda (bdk. Luk.2:6-7). Sambil tetap mempercayai Yusuf, suaminya, ia membawa Yesus ke Mesir untuk menyelamatkan-Nya dari pengejaran Herodes (bdk. Mat, 2:15-17). Dengan kepercayaan yang sama, ia mengikuti Tuhan dalam pewartaan-Nya dan tetap menyertai-Nya sampai ke Golgota (bdk. Yoh. 19:25-27). Dengan iman-kepercayaannya, Maria mengecap buah-buah kebangkitan Yesus dan sambil tetap menyimpan setiap kenangan di dalam hatinya (bdk. Luk. 2:19,51). Ia menyerah-alihkan itu kepada Keduabelas Rasul yang berkumpul di ruang atas untuk menerima Roh Kudus (bdk. Kis, 114-2:1-4).

Dengan iman, para rasul telah meninggalkan semuanya dan mengikuti Tuhan mereka (bdk. Mat. 10:28). Mereka percaya kepada kata-kata yang diwartakan-Nya tentang Kerajaan Allah yang telah datang dan dipenuhi di dalam diri-Nya (bdk. Luk. 11:20). Mereka hidup dalam persekutuan dengan Yesus yang membina mereka dengan ajaran-Nya, dengan mewariskan kepada mereka suatu peraturan hidup, dengan mana mereka akan dikenal sebagai murid-murid-Nya setelah kematian-Nya (bdk. Yoh. 13:34-35). Dengan iman, mereka pergi ke seluruh dunia, mengikuti perintah-Nya untuk mewartakan Kabar Gembira ke pada semua ciptaan (bdk. Mrk. 16:15) dan dengan tanpa takut mereka mewartakan kepada semua orang sukacita kebangkitan, tentangnya mereka adalah saksi-saksinya yang setia.

Dengan iman, para murid membentuk komunitas yang pertama, yang dihimpun di sekeliling ajaran para rasul, di dalam doa, di dalam perayaan Ekaristi, sambil mempertahankan kepunyaan mereka sebagai milik bersama dan dengan demikian mereka memenuhi kebutuhan saudara-saudara (bdk. Kis. 2:42-47).

Dengan iman, para martir menyerahkan hidup mereka, sambil memberi kesaksian pada kebenaran Injil yang telah mengubah hidup mereka dan membuat mereka mampu mendapatkan anugerah terbesar dari cinta-kasih: yakni pengampunan kepada para penganiaya mereka.

Dengan iman, pria dan wanita telah membaktikan hidup mereka di dalam Kristus, sambil meninggalkan segala sesuatu, untuk dapat hidup dalam ketaatan, kemiskinan dan kemurnian dalam kesederhanaan injili, sebagai tanda nyata dari penantian mereka akan kedatangan Tuhan yang tidak akan tertunda. Dengan iman, tak terbilang banyaknya orang kristiani telah memajukan tindakan bagi keadilan sehingga dengan demikian mereka melaksanakan sabda Tuhan, yang datang untuk mewartakan pembebasan dari semua penindasan dan mewartakan kedatangan suatu tahun penuh kebaikan bagi semua orang (bdk. Luk. 4:18-19).

Dengan iman, sepanjang abad-abad, pria dan wanita dari segala usia, yang namanya tercatat di dalam Kitab Kehidupan (bdk.Why. 7:9; 13:8), telah mengakui keindahan hal mengikuti Tuhan Yesus kemanapun mereka dipanggil untuk memberi kesaksian pada kenyataan, bahwa mereka adalah orang-orang kristiani: di dalam keluarga, di tempat kerja, dalam kehidupan publik, dalam menjalankan kharisma dan pelayanan yang menjadi panggilan hdiup mereka.

Dengan iman, kita juga hidup: sambil menghayati pengakuan kita kepada Tuhan Yesus, yang hadir di dalam hidup kita dan sejarah kita.

14. Tahun Iman itu juga akan menjadi stau kesempatan yang bagus untuk mengintensifkan kesaksian amal-kasih, sebagaimana diingatkan oleh Santo Paulus kepada kita: “Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih” (Kor. 13:13).
Dengan kata-kata yang lebih kuat, ‒yang senantiasa telah menempatkan orang Kristiani di bawah kewajiban,‒  Santo Jakobus mengatakan: “Apakah gunanya, saudara-saudaraku, jika seorang mengatakan, bahwa ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai perbuatan? Dapatkah iman itu menyelamatkan dia? Jika seorang saudara atau saudari tidak mempunyai pakaian dan kekurangan makanan sehari-hari, dan seorang dari antara kamu berkata: "Selamat jalan, kenakanlah kain panas dan makanlah sampai kenyang!", tetapi ia tidak memberikan kepadanya apa yang perlu bagi tubuhnya, apakah gunanya itu? Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati. Tetapi mungkin ada orang berkata: "Padamu ada iman dan padaku ada perbuatan", aku akan menjawab dia: "Tunjukkanlah kepadaku imanmu itu tanpa perbuatan, dan aku akan menunjukkan kepadamu imanku dari perbuatan-perbuatanku." (Yak. 2:14-18).

Iman tanpa kasih tidak akan menghasilkan buah, sedang kasih tanpa iman hanya akan merupakan suatu perasaan yang senantiasa berada di bawah kuasa kebimbangan. Iman dan kasih saling membutuhkan satu sama lain, sedemikian sehingga yang satu akan membiarkan yang lain untuk tampil menurut jalurnya sendiri-sendiri. Memang, banyak orang kristiani membaktikan hidupnya dengan kasih bagi mereka yang tersendiri, yang termarginalkan atau yang terkucilkan, sebagiamana juga bagi mereka yang pertama-tama menuntut perhatian kita dan yang paling penting bagi kita untuk dibantu, sebab justru di dalam diri merekalah  nampak cerminan wajah Kristus sendiri. Melalui iman kita dapat mengenal wajah Tuhan yang bangkit di dalam diri mereka yang meminta kasih kita. “Sesungguhnya, segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat. 25:40). Kata-kata ini haruslah menjadi peringatan yang tidak boleh dilupakan dan harus menjadi undangan yang menetap bagi kita untuk membalas kasih dengan mana Tuhan telah senantiasa memperhatikan kita. Imanlah yang memampukan kita mengenal Kristus dan kasih-Nyalah yang mendorong kita untuk membantu-Nya kapan saja Dia menjadi sesama yang kita jumpai dalam perjalanan hidup kita. Dikuatkan oleh iman, marilah kita memandang kepada komitmen kita di dunia ini sambiil menantikan “surga baru dan dunia baru, di mana terdapat kebenaran” (2Ptr. 3:13; bdk. Why. 21:1).

15. Ketika sampai pada akhir hidupnya, Santo Paulus meminta Timotius muridnya untuk “mengejar iman” (lih. 2Tim. 2:22) dengan kesetiaan yang sama seperti ketika ia masih muda (bdk. 2Tim. 3:15). Kita mendengar undangan ini ditujukan juga kepada masing-masing kita, supaya jangan ada di antara kita yang menjadi malas di dalam iman. Iman yang menjadi pendamping seumur hidup inilah yang membuat kita mampu untuk memahami, setiap kali secara baru, karya-karya ajaib Tuhan  bagi kita. Sambil senantiasa peka terhadap tanda-tanda jaman yang terhimpun di dalam sejarah kita di masa sekarang ini, iman itu membuat masing-masing kita sendiri menjadi tanda dari kehadiran Tuhan yang bangkit di dunia kita ini. Apa yang secara khusus dibutuhkan oleh dunia kita sekarang ini adalah kesaksian yang dapat dipercaya dari orang-orang yang mendapatkan pencerahan di dalam budi dan hatinya oleh sabda Tuhan dan kemudian mampu membuka hati dan budi bagi banyak orang lain untuk merindukan Allah dan hidup yang sejati, hidup yang kekal abadi.

“Supaya firman Tuhan beroleh kemajuan dan dimuliakan” (2Tes. 3:1): semoga Tahun Iman ini membuat hubungan kita dengan Krsitus, Tuhan, semakin bertambah kuat, karena hanya di dalam Dialah ada kepastian untuk memandang masa depan dan ada jaminan dari kasih yang sejati dan lestari. Semoga kata-kata Santo Petrus ini akan dapat memberikan seberkas pencahayaan yang terakhir atas iman ini: “Bergembiralah akan hal itu, sekalipun sekarang ini kamu seketika harus berdukacita oleh berbagai-bagai pencobaan. Maksud semuanya itu ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu -- yang jauh lebih tinggi nilainya dari pada emas yang fana, yang diuji kemurniannya dengan api -- sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya. Sekalipun kamu belum pernah melihat Dia, namun kamu mengasihi-Nya. Kamu percaya kepada Dia, sekalipun kamu sekarang tidak melihat-Nya. Kamu bergembira karena sukacita yang mulia dan yang tidak terkatakan, karena kamu telah mencapai tujuan imanmu, yaitu keselamatan jiwamu” (1Ptr. 1:6-9) Hidup umat kristiani mengenal baik pengalaman sukacita maupun pengalaman penderitaan. Betapa banyak orang-orang kudus yang hidup di dalam kesunyian. Betapa banyak umat beriman, juga sampai pada hari ini, dicoai oleh berdiamnya Allah, sementara mereka lebih merindukan mendengar suara-Nya yang menghibur. Percobaan-percobaan hidup, sementara mereka memang membantu kita untuk memahami misteri salib dan turut mengambil-bagian dalam penderitaan Kristus (bdk. Kol. 1:24), menjadi juga suatu pendahuluan kepada sukacita dan harapan ke mana iman juga mengarahkan: “jika aku lemah, maka aku kuat” (2Kor. 12:10). Kita percaya dengan kepastian yang kokoh bahwa Tuhan Yesus telah mengalahkan kejahatan dan kematian. Dengan kepercyaan yang pasti ini kita mempercayakan diri kita kepada-Nya: Dia, yang hadir di tengah-tengah kita, mengalahkan kekuatan si jahat itu (bdk. Luk. 11:20) dan Gereja, persekutan yang nampak dari belas-kasih-Nya, tinggal di dalam Dia sebagai suatu tanda dari rekonsiliasi yang definitif dengan Bapa.

Marilah kita mempercayakan saat rakhmat ini kepada Bunda Allah, yang diwartakan sebagai yang “berbahagialah ia, yang telah percaya“ (Luk. 1:45)

Dikeluarkan di Roma, dari Basilika Santo Petrus, pada tanggal 11 Oktober 2011, tahun kepausan saya yang ke tujuh.


BENEDIKTUS XVI, PAUS



[1] Homili pada awal menjabat sebagai Uskup Roma dalam pelayanan sebagai pengganti Petrus (24 April 2005):AAS 97 (2005), 710.
[2]Lih. Benedictus XVI, Homili dalam Misa “Terreiro do Paço” di Lisabon, (11 Mai 2010); Insegnamenti VI: 1 (2010), 673.
[3] Lih. Joannes Paulus II, Konstitusi Apostolik Fidei Depositum (11 Oktober 1992): AAS 86 (1994), 113-118.

[4] Lih. Laporan terakhir Sinode Luar Biasa II Para Uskup (7 Desember 1985), II, B, a, 4 in Enchiridion Vaticanum, ix, n. 1797.
[5] Paulus VI, Ekshortasi Apostolik Petrum et Paulum Apostolos pada perayaan XIX abad kemartiran St Petrus dan Paulus (22 Februari 1967): AAS 59 (1967), 196.
[6] Ibid., 198.
[7] Paulus VI, Credo Umat Allah, Homilidalam Misa pada perayaan XIX abad kemartiran St Petrus dan Paulus pada penutupan “Tahun Iman” (30 Juni 1968): AAS60 (1968), 433-445.
[8] PaulusVI,  Audiensi Umum  (14 Juni 1967): Insegnamenti V (1967), 801.
[9] Joannes  Paulus II, Surat Apostolik Novo Millennio Ineunte (6 Januari 2001), 57: AAS 93 (2001), 308
[10]  Sambutan kepada Curia Romana, (22 Desember 2005): AAS 98 (2006), 52.
[11] Konsili Ekumenis Vatikan II,  Konstiotusi Dogmatis tentang Gereja Lumen Gentium, 8.
[12] De Utilitate Credendi, I:2.
[13] Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi tentang Lityurgi Suci Sacrosanctum Concilium, 10.
[14] KOnsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi tentang Liturgi Suci Sacrosanctum Concilium, 10.
[15] Lih.. Joannes Paulus IIKonstitusi Apostolik Fidei Depositum (11 Oktober 1992): AAS 86 (1994), 116.
[16] Sermo 215:1.
[17]Katekismus Gereja Katolik, 167.
[18]  Lih.Konsili ekumenis Vatikan I, Konstitusi Dogmatis tentang Iman Katolik,Dei Filius, Bab. III: DS 3008-3009: Konsili ekumenis Vatikan II, Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi Dei Verbum, 5.
[19] Benediktus XVI, Sambutan di  Collège des Bernardins, Paris (12 September 2008): AAS100 (2008), 722.

[20] Lih.. Santo Augustinus, Confessions, XIII:1.
[21] Joannes Paulus II, Konstitusi Apostolik Fidei Depositum (11 Oktober 1992): AAS 86 (1994), 115 dan 117.

[22] Lih.  Joannes Paulus II, Ensiklik Fides et Ratio (14 September 1998), 34, 106: AAS 91 (1999), 31-32, 86-87.
(sumber: dokumengerejakatolik.blogspot.com)