Salam Damai Kristus,

Sebuah kontribusi para mantan frater, pastor, suster, bruder, dll bagi pembangunan kehidupan bersama yang lebih baik. Kirimkan artikel apa saja yang mau ditampilkan pada blog ini ke email: mantan.frater09@gmail.com Atas kunjungannya, terima kasih.

Rabu, 27 Maret 2013

Paskah dan Revolusi Kalender Masehi

Jika Natal selalu dirayakan setiap tanggal 25 Desember tanpa membedakan hari, perayaan Paskah selalu jatuh pada hari Minggu dengan tanggal yang berbeda setiap tahun. Meski demikian, Paskah selalu jatuh antara 22 Maret dan 25 April. Tahun ini, Paskah jatuh pada 31 Maret. M Zaid Wahyudi

Penentuan Natal mengacu pada sistem penanggalan Matahari (solar). Acuannya adalah waktu yang dibutuhkan Bumi untuk mengelilingi Matahari satu putaran penuh. Adapun Paskah ditentukan berdasar sistem penanggalan Bulan-Matahari (luni-solar), paduan sistem penanggalan Matahari dan penanggalan Bulan.

Claus Tøndering dalam Frequently Asked Question about Calendars (2005) menyatakan, secara sederhana, perayaan Paskah jatuh pada hari Minggu pertama setelah bulan purnama pertama, setelah Matahari melintasi titik musim semi (vernal equinox). Jika bulan purnama terjadi pada hari Minggu, Paskah jatuh pada Minggu berikut.

Ketentuan yang diambil dari keputusan Konsili Nicea tahun 325 Masehi itu dimaksudkan agar perayaan Paskah yang merupakan peringatan kebangkitan Yesus dilaksanakan pada hari dan musim yang sama dengan saat terjadinya peristiwa itu sekitar tahun 30 Masehi.

Saat itu, kalender Masehi yang digunakan mirip saat ini. Kalender ini digunakan sejak tahun 45 Sebelum Masehi di masa Julius Caesar sehingga disebut kalender Julian. Hal yang membedakan adalah panjang satu tahun ketika itu didefinisikan sebanyak 365,25 hari.

Bulan purnama yang dijadikan acuan penentuan Paskah adalah bulan purnama Paskah (Paschal full moon), bukan bulan purnama dalam perhitungan astronomi modern. "Bulan purnama Paskah jatuh pada hari terjadinya bulan purnama astronomi," kata peneliti Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, Emmanuel Sungging Mumpuni, Selasa (26/3).

Dalam astronomi modern, bulan purnama merupakan satu waktu terjadinya kesegarisan antara Bulan-Bumi-Matahari. Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat menyebut, bulan purnama astronomi pada Maret 2013 terjadi pada Rabu (27/3) pukul 09.27 waktu universal (16.27 WIB). Sesaat sebelum dan sesudahnya, Bulan belum atau sudah melewati fase purnama walau dalam pandangan manusia Bulan terlihat purnama.

Waktu Matahari melintasi titik musim semi berdasar Konsili Nicea ditetapkan pada 21 Maret setiap tahun. Dalam astronomi modern, waktu Matahari melintasi titik musim semi bervariasi antara 19-21 Maret. Data timeanddate.com menyebut titik musim semi 2013 terjadi pada Rabu (20/3) pukul 11.02 waktu universal atau 18.02 WIB.

Menurut Sungging, penentuan bulan purnama astronomi dan waktu Matahari melintasi titik musim semi hingga orde menit seperti saat ini perlu kemampuan memahami orbit Bulan, pergerakan Bumi, hingga gangguan benda-benda langit lain. Kemampuan ini belum dimiliki para astronom abad IV.

Namun, jika perhitungan modern dijadikan acuan, akan muncul kerumitan baru soal titik acuan untuk menentukan waktu Paskah secara global akibat perbedaan waktu antarnegara. Bulan purnama astronomi hanya terjadi pada satu waktu tertentu sehingga hanya daerah tertentu di Bumi yang bisa mengamati.

Pada abad XVI baru disadari perayaan Paskah tidak tepat sesuai ketentuan awal. Menurut LE Doggett dalam Calendars, yang mengutip P Kenneth Seidelmann dalam Explanatory Supplement to the Astronomical Almanac, mundurnya perayaan Paskah terjadi karena titik musim semi yang dijadikan acuan terjadi lebih cepat 10 hari. Artinya, saat itu tanda Matahari mencapai titik musim semi sudah terjadi, tapi waktu di kalendernya belum.

Titik musim semi merupakan penanda datangnya musim semi di belahan Bumi utara dan musim gugur di belahan Bumi selatan. Saat ini, Matahari tepat berada di atas garis khatulistiwa. Akibatnya, semua tempat di Bumi memiliki panjang waktu siang dan malam yang sama.

Dikoreksi

Untuk mengembalikan titik musim semi pada 21 Maret, Paus Gregorius XIII meniadakan tanggal 5 Oktober-14 Oktober 1582. Setelah tanggal 4 Oktober langsung diikuti tanggal 15 Oktober. "Hanya mengubah angka, tidak mengubah harinya," kata dosen sistem kalender Program Studi Astronomi Institut Teknologi Bandung, Moedji Raharto.

Selain itu, panjang satu tahun dikoreksi dari 365,25 hari menjadi 365,2425 hari. Ini dilakukan karena belakangan diketahui panjang satu tahun Matahari 365,2422 hari. Kelebihan 0,0078 hari baru terasa dalam jangka panjang. Setiap 128 tahun, jumlah hari kelebihan satu hari.

Ketentuan tahun kabisat pun diubah. Jika semula tahun kabisat adalah tahun yang habis dibagi empat, sistem yang baru ditambah dengan ketentuan tahun yang habis dibagi 400 untuk tahun kelipatan 100.

Untuk mengenang jasa Paus Gregorius XIII, kalender sistem baru ini dinamai kalender Gregorian. Kalender ini digunakan di seluruh dunia hingga kini.

Namun, sistem ini tidak diadopsi langsung oleh semua negara. Bahkan, Gereja Ortodoks di sejumlah negara tetap menggunakan sistem kalender Julian. Alhasil, waktu Paskah Gereja Ortodoks umumnya lebih lambat dibandingkan dengan Gereja Katolik atau Kristen Protestan.

Jika mengacu pada kalender Julian, Paskah Gereja Ortodoks jatuh antara 22 Maret-25 April. Namun jika dikonversi dalam kalender Gregorian, Paskah Gereja Ortodoks jatuh pada tanggal 3 April-10 Mei.
(Kompas cetak, 28 Maret 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Kamis, 21 Maret 2013

Paus Ekumenis

"Tidak ada kelangsungkan hidup manusia di planet bumi ini, tanpa adanya perdamaian. Tidak ada perdamaian yang langgeng, tanpa kerukunan hidup umat beagama. Tidak ada kerukunan hidup umat beragama tanpa adanya saling pengertian dan saling menghormati. Tidak ada saling pengertian dan saling menghormati, tanpa adanya dialog." Maka dialog dan kerjasama antar umat beragama adalah mutlak perlu bagi perdamaian dunia. (Inilah gagasan dasar Proyek Etik Mondial dari Hans Küng).
 
Hari Rabu, 20 Maret 2013 kemarin Paus Fransiskus menerima puluhan perwakilan pelbagai Gereja Kristen dan agama-agama di dunia, yang hari sebelumnya hadir dalam misa inagurasi. Di antara mereka adalah Pemimpin Gereja Ortodox, Gereja Katolik Timur, Gereja Anglikan, pelbagai delegasi Protestan, termasuk Luteran, Baptis, Metodis; Perwakilan Yahudi dan Muslim, Hindu dan Buddha.
 
Paus menyapa mereka demikian:
 
Terimakasih kepada saudaraku Andreas Bartholomeus, Patriark Gereja Ortodox Timur, atas sambutannya: Terimakasih, Terimakasih. (Sapaan itu mengingatkan sapaan Paus Yohanes XXIII kepada para delegasi pengamat Protestan dalam Konsili Vatikan II: "Aku adalah Yosep saudaramu, jangan takut.") Dan Paus Fransiskus mengucapkan sapaan yang mirip dengan Paus Yohanes XXIII itu, masih dalam suasana Pesta Santo Yosep; untuk bersyukur juga atas pesta nama dari Josef  Ratzinger (Paus Benedictus XVI). Paus Fransiskus menghayati bahwa yang namanya "hermeneutic" (sebuah kata yang menjadi salah satu inti pesan Ratzinger 'hermeneutic of continuity" and hermeneutic of rapture terhadap tradisi Gereja) adalah "menafsirkan peristiwa historis yang akhir-akhir ini terjadi secara jelas mulai dari discernment Paus Benedictus XVI dalam doa yang panjang dan kemudian diambil keputusan untuk mengundurkan diri; berkumpulnya para Kardinal dan diadakannya konklave; akhirnya tanpa dihendakinya,  Kardinel Bergoglio, menjadi Paus Fransiskus, dan terus dalam peristiwa perjumpaan ekumenis yang semakin akrab, semakin saling mengerti dan menghormati, dan semakin damai, itu semua adalah "hermeneutic" iman atas tuntuan Roh Kudus. Menyadari, merasakan dan rela bekerjasama dengan tuntuan Roh Kudus itu adalah hemeneutic menurut Paus Fransiskus.
 
Dan inilah Sapaan Paus Ekumenis itu:
 
Saudara-saudariku yang terkasih.
 
Saya sungguh bahagia bertemu dengan anda semua, delegasi dari pelbagai Gereja dan pelbagai agama. Saya ingin mengucapkan terimakasih karena saudara-saudara berkenan hadir pada misa inagurasi kemarin. Di dalam diri anda saya merasakan kehadiran komunitas-komunitas yang anda wakili. Di dalam ungkapan iman ini saya merasa ambil bagian dalam suatu kemendesakan untuk berdoa bagi kesatuan seluruh umat beriman dalam Kristus, dan bersama-sama ingin menyaksikan kepenuhan realisasi kesatuan itu yang tergantung dari Tuhan dan dari kesetiaan kita dalam bekerjasama dengan-Nya.
 
Saya mengawali pelayanan kerasulan saya pada tahun ini yang sudah dicangankan oleh Pendahulu saya, Paus Benedictus XVI, sebagai Tahun Iman. Saya berkeinginan untuk melanjutkannya dan saya berharap tahun ini akan memberi inspirasi bagi perjalanan iman setiap orang. Tahun iman ini menandai ulang tahun Pembukaan Konsili Vatikan II, dan memberikan pedoman bagi peziarahan iman untuk setiap umat kristiani, yaitu: pembaruan personal relasi dengan Kristus, Putera Allah, yang wafat dan bangkit demi keselamatan kita. Inti pesan konsili ialah: mewartakan kebenaran iman abadi itu kepada umat manusia zaman ini.

Bersama anda semua, saya tidak akan melupakan betapa Konsili Vatikan II sangat bermakna bagi perjalanan ekumenis kita. Saya ingin mengungkapkan lagi kata-kata dari Beato Yonahes XXIII, ketika beliau mengatakan: Gereja Katolik menganggap sebagai kewajibannya untuk bekerja secara aktif supaya terwujudlah misteri besar kesatuan itu, yang dimohonkan oleh Yesus sendiri dalam doa-Nya kepada Bapa di sorga menjelang sengsara-Nya. Gereja merasakan sukacita dalam damai, karena tahu bahwa ia secara mesra disatukan di dalam doa Yesus itu."
 
Sungguh benarlah saudara-saudariku dalam Kristus, marilah kita menyatu secara mendalam pada doa Sang Penyelamat pada Perjamuan Akhir yang memohonkan: "Semoga mereka semua bersatu". Kita mohon bantuan Bapa penuh kasih untuk menghayati iman yang telah kita terima sejak baptisan ini; dan dapat menjadi saksi iman itu dengan bebas, gembira dan berani. Semakin kita setia kepada kehendak-Nya dalam pikiran, perkataan dan perbuatan kita, maka kita akan semakin mengarah kepada kesatuan itu secara benar dan substansial.
 
Dari pihak saya sendiri, seperti juga para pendahulu saya, saya menjanjikan kuatu tekad yang bulat untuk melanjutkan dialog ekumenis ini. Dan Saya berterimakasih kepada Komisi Kapausan bagi kesatuan umat kristiani, yang atas nama saya, akan terus melanjutkan tugas mulia itu. Saya memohon kepada saudara-saudara para delegasi, untuk menyampaikan salam hangat saya kepada komunitas-komuntas kristiani yang anda wakili. Dan saya mohon doa khusus untuk saya pribadi supaya saya dapat menjadi pastor (gembala) sesuai dengan hati Kristus.
 
Sekarang saya ingin menyapa para wakil terhormat dari masyarakat Yahudi yang dengannya kami terkait erat secara spiritual sejak semula sesuai rencana Allah di dalam iman para bapa bangsa, Musa dan para nabi (Nostra Aetate no. 4).
 
Saya juga ingin menyapa dengan hangat para sahabat terkasih dari pelbagai tradisi religius; pertama-tama umat Muslim, yang menyembah Allah yang hidup dan penuh kasih dan selalu memanjatkan doa-doa kepada-Nya. Saya sungguh mengapresiasi kehadiran anda sekalian, dan di sini saya melihat secara jelas kerinduan yang semakin kuat untuk kepercayaan timbal balik dan kerjasama demi kebaikan umum umat manusia.
 
Gereja Katolik menyadari pentingnya memajukan persaudaraan dan hormat di antara para pemeluk tradisi keagamaan; saya ulangi lagi: pentingnya memajukan persaudaraan dan hormat di antara para pemeluk pelbagai tradisi keagamaan.

Kita dapat berbuat banyak untuk mereka yang kurang beruntung, untuk mereka yang lemah dan menderita, untuk mengusahakan keadilan, memajukan rekonsiliasi dan membangun kedamaian.
 
Marilah kita bersama-sama mempertahankan di dalam kehidupan umat manusia di dunia ini suatu kehausan akan Dia yang Mutlak, dan tidak membiarkan visi tentang pribadi manusia yang direduksi dalam satu dimensi saja, yakni ke dalam apa yang ia produksi dan ia konsumsi. Inilah bahaya terbesar pada zaman kita. Kita tahu betapa banyak kejahatan telah dilakukan dalam sejarah umat manusia dengan cara menghapuskan dimensi spiritual dan Allah. Kita dipanggil untuk menjadi saksi dari keterbukaan asali manusia kepada yang Transenden itu tertanam di dalam sanubari manusia. Dalam semangat itu kita merasa dekat dengan semua orang yang berkehendak baik dan menghargai martabat manusia, membangun kehidupan bersama yang damai dan menjaga serta merawat alam ciptaan.
 
Dear friends, thank you for your presence. To all, I offer my cordial and fraternal greetings.
 
Pax et Bonum
Fransiscus
(Di-copas dari milis Mitra Hukum)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Rabu, 20 Maret 2013

Paus Fransiskus Serukan Persahabatan Antaragama

Paus Fransiskus, Rabu (20/3/2013), menyerukan "persahabatan dan rasa respek" di antara semua agama dan kepercayaan di dunia. Pernyataan ini disampaikan Paus dalam pertemuan dengan perwakilan agama-agama besar dunia di Vatikan.

Gereja Katolik Roma, lanjut Paus, akan terus mempromosikan persahabatan dan rasa saling menghormati antara semua pemeluk agama.

"Kita bisa berbuat banyak untuk mereka yang miskin, mereka yang lemah, mereka yang menderita, serta mempromosikan rekonsiliasi dan perdamaian," ujar Paus Fransiskus.

Para tokoh agama dari Kristen Ortodoks, Yahudi, dan Islam terlihat dalam pertemuan yang digelar sehari setelah inaugurasi Paus Fransiskus ini.

"Semua agama harus bersatu untuk melawan hal paling berbahaya saat ini, yaitu menilai manusia dari apa yang mereka produksi dan konsumsi," lanjut Paus asal Argentina itu.

Lebih lanjut, Paus mengatakan, dia juga merasakan "kedekatan" dengan orang-orang yang mengaku tak beragama, tetapi sedang mencari kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Yang semuanya, tambah Paus, ada dalam diri Tuhan.

"Saya sangat menghargai kehadiran Anda semua dan saya melihat ini sebagai sebuah tanda saling respek dan kerja sama untuk kebaikan manusia," kata Paus kepada para tokoh agama yang hadir di Vatikan.

Sementara itu, kepada denominasi Kristen lainnya, Paus menegaskan, dia tetap akan melanjutkan dialog dengan mereka.
Dengan pihak Yahudi, Paus juga mengutarakan keinginannya untuk melanjutkan dialog yang dimulai sejak Konsili Vatikan II pada 1960-an.
(Kompas.com)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Selasa, 19 Maret 2013

Terjemahan Homili Paus Fransiskus: Hari Raya Santo Yosef

From: Bs Mardiatmadja
Sent: 19 Maret 2013 20:29
To: gembala_baik@yahoogroups.com
Cc: ApiKatolik@yahoogroups.com; renungandoa@yahoogroups.com;
rohani@yahoogroups.com
Subject: Re: [gembala_baik] Profil Paus Fransiskus

Para saudari dan saudara semua,

seorang sahabat memberikan terjemahan homili Paus Fransiskus dalam Instalasinya tadi siang: silakan mendalaminya; dan sebisa mungkin
melaksanakannya. Maklum, Beliau Paus kita:

"Saya berterimakasih kepada Tuhan karena dapat merayakan misa untuk
mengawali masa pontifikat saya pada pesta Santo Yosep, suami Perawan Maria
dan pelindung Gereja Universal. Adalah sebuah kebetulan yang kaya makna, dan juga pesta nama dari Pendahulu saya yang terhormat: kami dekat dalam doa, penuh afeksi dan syukur.

Saya sampaikan salam hangat kepada saudara-saudara Kardinal dan para uskup, para imam dan para diakon, para religius dan semua awam. Saya sampaikan terimakasih atas kehadiran dari para wakil dari Gereja-Gereja yang lain dan komunitas-komunitas eklesial, juga perwakilan dari komunitas Yahudi dan dari komunitas-komunitas religius lain. Salam hangat saya juga kepada para pemimpin negara dan pemerintahan, kepada delegat resmi dari banyak negara di dunia dan juga Korps Diplomatik.

Dalam Injil kita mendengar bahwa "Yosep berbuat seperti yang diperintahkan malaikat Tuhan itu kepadanya. Ia mengambil Maria sebagai isterinya." (Mat.1,24). Dalam kata-kata tersebut, telah ditunjukkan misi yang dipercayakan Tuhan kepada Yosep, yaitu menjadi custos, penjaga. Penjaga dari siapa? Maria dan Yesus; namun sesungguhnya juga penjagaan yang melebar kepada Gereja, seperti digarisbawahi beato Yohanes Paulus II: "Santo Yosep, seperti telah merawat Maria dengan penuh kasih dan mendedikasikan dirinya dengan gembira dalam mendidik Yesus, demikian pula dia menjaga dan
melindungi tubuh mistikNya, Gereja, di mana Santa Perawan Maria adalah figur dan model (Esort. Ap. Redemptoris Custos, 1).

Bagaimana Yosep melaksanakan penjagaan ini? Dengan diskresi, dengan kerendahan hati, dalam keheningan, namun dengan kehadiran yang konstan dan kesetiaan yang total, juga ketika beliau tidak dapat memahami. Dari perkawinan dengan Maria sampai kepada episode ketika Yesus berumur 12 tahun di Bait Allah di Yerusalem, beliau menemani dengan sungguh dengan penuh kasih setiap momen. Sebagai suami dari Maria, beliau selalu berada di sisinya dalam untung dan malang, dalam perjalanan ke Bethelem untuk sensus dan pada saat yang mencemaskan dan menggembirakan ketika Maria melahirkan; di tengah drama pengungsian ke Mesir dan saat kebingungan mencari Putranya
di Bait Allah; kemudian dalam hidup harian di Nazaret, di bengkel, saat dia
mengajari Yesus bekerja.

Lalu menambahkan: "Bagaimana Yosep menghidupi panggilannya untuk menjaga Maria, Yesus dan Gereja? Dengan selalu memperhatikan Tuhan, terbuka pada tanda-tandaNya, siap sedia pada rencanaNya, dan bukan kepada rencananya sendiri; itulah yang diminta Tuhan kepada Daud, seperti kita dengarkan dalam bacaan pertama.: Tuhan tidak menghendaki sebuah rumah yang dibangun oleh
manusia, namun menghendaki kesetiaan kepada SabdaNya, kepada rencanaNya, dan Tuhan sendirilah yang membangun rumah, namun dari batu-batu hidup yang ditandai oleh RohNya. Dan Yosep adalah "penjaga", karena tahu bagaimana mendengarkan Tuhan, membiarkan dirinya dibimbing oleh kehendakNya, dan karena hal inilah dia menjadi lebih peka terhadap orang-orang yang
dipercayakan kepadanya, tahu bagaimana membaca kejadian-kejadian dengan realisme dan perhatian kepada hal-hal yang mengelilinginya, dan tahu
bagaimana mengambil keputusan yang lebih bijaksana. Pada pribadinya,
sahabat-sahabat terkasih, kita melihat bagaimana menjawab panggilan Tuhan, dengan kesiapsiagaan, dengan kesigapan, namun kita lihat juga inti dari panggilan Kristen: Kristus! Marilah kita jaga Kristus dalam hidup kita,
untuk menjaga orang-orang lain, untuk menjaga ciptaan.

Panggilan untuk menjaga, namun demikian, -berlanjut- tidak hanya melibatkan kita orang Kristen, melainkan memiliki dimensi yang mendahuluinya, yaitu secara sederhana bersifat manusiawi, mengarah pada semuanya. Jadi: menjaga seluruh ciptaan, keindahan dari ciptaan, seperti dikatakan dalam Kitab Kejadian, dan seperti yang ditunjukkan oleh santo Fransiskus Asisi: memiliki rasa hormat kepada setiap ciptaan Tuhan, dan pada setiap lingkungan di mana kita hidup. Dengan kata lain: menjaga orang-orang, memelihara semuanya, setiap pribadi, dengan cinta, secara khusus pada kanak-kanak, orang-orang lanjut usia, mereka yang paling lemah dan seringkali berada di pinggir hati kita. Artinya: memelihara satu dengan yang lain di dalam keluarga: para pasangan saling menjaga satu dengan yang lain, lalu orang tua merawat anak-anak, dan pada saat yang bersamaan anak-anak menjadi penjaga dari orang tua. Lebih lanjut: menghidupi persahabatan dengan ketulusan, yang merupakan
saling menjaga dalam kepercayaan, dalam respek dan dalam kebaikan.

Akhirnya, semua dipercayakan dalam penjagaan manusia, dan merupakan sebuah tanggung jawab yang melibatkan semua. Jadilah kalian para penjaga dari karunia-karunia Tuhan!

Ketika manusia kurang bertanggungjawab untuk menjaga, ketika kita tidak merawat ciptaan dan saudara-saudara kita, di situlah terdapat ruang bagi kerusakan dan hati yang mengeras. Di dalam setiap babak sejarah, sayangnya, selalu ada "Herodes" yang merencanakan kematian, merusak dan menodai wajah
lelaki dan wanita.

Saya mohon dengan sangat, kepada mereka yang memiliki peran dan tanggung jawab di bidang ekonomi, politik atau sosial, kepada semua orang, lelaki dan perempuan yang berkehendak baik: kita ini "penjaga" ciptaan, rencana Tuhan yang tersirat di dalam alam, penjaga orang lain, lingkungan; jangan biarkan tanda-tanda kehancuran dan kematian menemani perjalanan dunia kita! Namun untuk "menjaga" kita harus memelihara diri kita sendiri! Marilah kita ingat bahwa kebencian, keirihatian, dan kesombongan mengotori kehidupan! Menjaga
berarti memperhatikan perasaan-perasaan kita, hati kita, karena benar-benar dari sanalah intensi-intensi baik atau buruk keluar: intensi yang membangun atau merusak! Kita tidak perlu takut pada kebaikan dan juga kelemahlembutan!

Di sini, saya ingin menambahkan satu hal: merawat, menjaga memerlukan
kebaikan, perlu dihidupi dengan kelemahlembutan. Di dalam Injil, Santo Yosep muncul sebagai lelaki yang kuat, pemberani, pekerja, namun di dalam jiwanya muncul kelemahlembutan yang besar, yang bukan keutamaan orang yang lemah,melainkan sebaliknya, menunjukkan kekuatan dari jiwa dan kapasitas dari
perhatian, belarasa, dan keterbukaan yang sejati kepada orang lain,
kapasitas untuk mencintai. Kita tidak perlu takut pada kebaikan dan
kelemahlembutan!

Hari ini, bersamaan dengan pesta Santo Yosep kita merayakan dimulainya pelayanan dari uskup Roma yang baru, penerus Santo Petrus, yang melibatkan juga sebuah kekuasaan. Tentu, Yesus Kristus telah memberikan kekuasaan kepada Petrus, namun kekuasaan macam apakah itu? Tiga pertanyaan tentang cinta dari Yesus kepada Petrus diikuti oleh tiga undangan: gembalakanlah
domba-dombaku! Janganlah pernah kita lupakan bahwa kekuasaan yang sebenarnya adalah pelayanan dan bahwa Paus ketika menjalankan kekuasaan mesti memasuki
semakin dalam pelayanan itu, yang memiliki puncaknya yang bersinar dalam salib; harus melihat pada pelayanan Santo Yosep yang rendah hati, konkret, kaya akan iman, dan juga bagaimana beliau membuka tangannya untuk menjaga
seluruh Umat Allah dan mengumpulkan dengan afeksi dan kelemahlembutan seluruh kemanusiaan, khususnya yang paling miskin, paling lemah, paling
kecil, semuanya yang digambarkan oleh Matius di dalam penghakiman terakhir tentang kasih: mereka yang lapar, haus, orang asing, telanjang, sakit, di dalam penjara (cfr. Mat. 25, 31-46). Hanya mereka yang melayani dengan cinta, yang mampu menjaga!

Dalam bacaan kedua, Santo Paulus berbicara tentang Abraham yang "percaya, teguh dalam pengharapan sekalipun tidak ada dasar untuk berharap" (Rm. 4, 18). Teguh dalam pengharapan, meskipun tidak ada dasar untuk berharap! Juga saat ini, di hadapan gelapnya langit, kita perlu untuk melihat cahaya pengharapan dan memberikan diri kita sendiri sebagai harapan dan menyelipkan
cahaya harapan di tengah begitu banyaknya awan, dan membawa hangatnya harapan! Dan bagi orang beriman, bagi kita orang Kristen, seperti Abraham, seperti Santo Yosep, harapan yang kita bawa, memiliki Tuhan sebagai horison, yang terlihat di dalam Kristus, yang memiliki fondasi dalam batu yang adalah Tuhan sendiri.

Menjaga Yesus bersama Maria, menjaga seluruh ciptaan, menjaga setiap pribadi, terutama yang paling miskin, menjaga diri kita sendiri: inilah
pelayanan yang harus dilakukan oleh Uskup Roma, namun kita semua juga
dipanggil untuk itu, untuk menyalakan bintang harapan: marilah kita jaga
dengan cinta semua yang telah diberikan Tuhan kepada kita! Saya memohon dengan perantaraan Perawan Maria, Santo Yosep, Santo Petrus dan Paulus, santo Fransiskus, agar Roh Kudus menemani pelayanan saya, dan kepada Anda sekalian saya mohon: doakanlah saya. Amin!"
(Milis ApiKatolik)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Senin, 18 Maret 2013

Lambang dari Paus Fransiskus

(Terjemahan oleh: Shirley Hadisandjaja)


PERISAI
Pada bagian-bagian yang penting, Paus Fransiskus telah memutuskan untuk tetap menggunakan bagian depan dari lambangnya, yang dipilih sejak dari pentahbisannya sebagai uskup dan ditandai oleh sebuah kesederhanaan yang jelas.

Di atas Perisai biru ditandai dengan simbol martabat kepausan, sama seperti yang diambil oleh pendahulunya Benediktus XVI (mitra ditempatkan di antara kunci silang dari emas dan perak, yang diikat oleh tali merah). Di bagian atas, berdiri lambang dari Ordo asal Paus, yaitu Serikat Yesus: matahari bersinar dan terbakar dengan huruf merah IHS, monogram dari Kristus. Di atas Huruf H ada salib; pada ujungnya, tiga paku hitam.
Di bagian bawah, ada bintang dan bunga narwastu. Bintang, menurut tradisi heraldik kuno, melambangkan Perawan Maria, Bunda Kristus dan Bunda Gereja;  sedangkan bunga narwastu menunjukkan St. Yosef, pelindung Gereja Universal. Memang dalam tradisi ikonografi Hispanik, St. Yosef digambarkan memegang di tangannya sebuah dahan dari bunga narwastu. Dengan menempatkan gambar-gambar itu di perisai, Sri Paus ingin mengekspresikan pengabdian khusus kepada Santa Perawan Maria dan St. Yosef.

MOTO

Moto dari Bapa Suci Fransiskus diambil dari Homili St. Bede* imam Mulia (Om. 21, CCL 122, 149-151), yang, mengomentari kisah Injil pemanggilan St. Matius menulis: "Vidit ergo lesus publicanum et quia miserando atque eligendo vidit, ait illi Sequere me" (Yesus melihat seorang penagih pajak dan saat Ia menatapnya dengan perasaan kasih dan memilihnya, Ia berkata kepadanya: Ikutlah aku).
Homili ini merupakan penghargaan kepada kemurahan Allah dan diulang dalam Ibadat Harian pada Pesta St. Matius. Memiliki makna tertentu dalam kehidupan dan kenyataan spiritual Sri Paus, pada pesta St. Matius tahun 1953, pemuda Jorge Bergoglio mengalami pada usia 17 tahun, dengan cara yang sangat istimewa, kehadiran penuh kasih Allah dalam hidupnya. Setelah mengaku dosa, ia merasa hatinya tersentuh dan merasa turunnya Rahmat Allah, yang denganmata kasih yang lembut, ia dipanggil kepada hidup beriman, mengikuti teladan St. Ignatius Loyola.

Setelah dipilih sebagai uskup, Yang Mulia Bapa Uskup Bergoglio, dalam kenangan akan peristiwa yang menandai awal konsakrasi totalnya kepada Tuhan dalam GerejaNya, memutuskan untuk memilih, sebagai motto dan cara hidup, pernyataan St. Bede "miserando atque eligendo" (memilih dengan perasaan kasih) yang diinginkannya untuk diulang sebagai lambang kepausan.
Copyright © L'Osservatore Romano
* St. Bede adalah Doktor Gereja Katolik, seorang imam Mulia, biarawan, ahli sejarah dan Orang Kudus Anglosakson, yang hidup di Biara Benediktin St. Petrus dan Paulus di Wearmouth, Inggris. Dante Aligheri, penulis ternama Italia, mengutip dirinya dalam karyanya yang terkenal Divina Commedia.

Powered by Telkomsel BlackBerry®


Minggu, 17 Maret 2013

Paus Fransiskus dan Teori Pendulum (Yustinus Prastowo)

Salam,

Terpilihnya Kardinal Jorge Mario Bergoglio sebagai Paus baru menggantikan Paus Benediktus XVI sungguh karunia yang patut disyukuri. Bergoglio yang mengambil nama Fransiskus ini langsung menyedot perhatian dunia, menjadi objek analisis, dan catatan perjalanan hidupnya ditilik kembali. Anak
seorang imigran Italia yang sempat mengenyam pendidikan di bidang kimia dan belajar filsafat di Jerman ini memang luar biasa. Bersahaja sejak kecil, menjadi pastor yang dekat dengan umat, tak canggung mengkritik presiden Argentina, juga menjaga jarak dengan koleganya yang aktif di Teologi Pembebasan yang pada 1970-an hingga 1980-an sangat populer di Amerika Latin.

Richard Mc Brien eklesiolog asal Amerika Serikat dan Giancarlo Ziola,
jurnalis Italia - keduanya ahli di bidang sejarah kepausan pernah memaparkan apa yang mereka sebut "pendulum law" atau hukum pendulum (berayun) sebagai pisau analisis psikologi konklaf dan kepausan.

Tak semudah yang kita duga, aspek psikologis berperan penting dalam menentukan pilihan termasuk bagaimana pendulum itu berayun, dari pilihan terhadap Paus yang pro pada perubahan ke Paus yang pro kepada stabilitas. Jika perubahan dirasa terlalu kencang, orientasi pilihan umumnya diarahkan pada kandidat yang lebih tenang, dan sebaliknya jika kondisi Gereja mengalami stagnasi, pilihan biasanya dijatuhkan pada kandidat yang diharapkan memiliki visi perubahan.

Hal ini misalnya tampak pada akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20 ketika Gereja mencari pengganti Paus Leo XIII yang terkenal progresif, berpikiran terbuka, dan secara personal adalah pribadi yang menyenangkan.

Dalam kegamangan menapak awal abad ke-20 yang diwarnai ketegangan dan kecurigaan terhadap modernisme, bayang-bayang perang dunia akan berkecamuk, dan senjakala otoritas agama di Eropa, pada 1903 pilihan berikutnya jatuh pada Giuseppe Sarto, menjadi Paus Pius X yang sangat konservatif, anti-modernisme, dan oleh pemerintah Italia dijuluki "the most intransigent of the intransigents". Pada era ini Gereja Katolik berhadap-hadapan dengan modernisme dan dunia sekular, yang melahirkan pemikir2 ateis seperti Karl Marx, Friedrich Nietzsche, dan bersemainya teori volusi Darwinian yang anti metafisika (dan agama). Dekrit penting di era ini adalah Lamentabili dan Pascendi Dominici Gregis.

Kelak kita akan ingat Uskup Marcel Lefebvre yang tidak setuju dengan hasil Konsili Vatikan II dan mendirikan Komunitas Pius X. Lefebvre dan para ultra-tradisionalis menyebut masa sesudah Pius X sebagai sede vacante.

Pendulum kemudian berayun ketika 1914 konklaf memilih Giacomo della Chiesa (Benediktus XV), seorang moderat yang dapat dibilang sebagai anti-tesis Pius X. Benedktus XV mengakhiri sikap anti-modern dan anti-Protestantisme Pius X dengan mengatakan "Cukuplah saya katakan bahwa Kristen itu nama saya, dan Katolik adalah nama fam saya." Perstasi di masa ini adalah diundangkannya Kitab Hukum Kanonik pada 1917.

Pada 1922 Benediktus XV wafat dan diselenggarakan konklaf. Pendulum mulai kembali berayun dalam tegangan: pendukung Pius X dan pendukung Benediktus XV, yang sebagian besar adalah pendukung Kardinal Rampolla, tangan kanan Paus Leo XIII. Dalam proses pemilihan yang menegangkan dan menghasilkan perkubuan yang tajam, akhirnya
bukan Pietro Gasparri maupun Merry del Val yang terpilih tetapi Achille
Ratti.

Masa ini adalah konklaf terlama di abad ke-20: 5 hari dan 14 putaran. Achille Ratti terpilih dan mengambil nama Pius XI, bertahta hingga 1939. Pius XI adalah paus yang relatif moderat, tanpa gejolak dan jarang membuat keputusan progresif. Pencapaian besar Pius XI adalah didirikannya Kota Vatikan sebagai negara berdaulat dan merdeka pada 1929 dan menulis ensiklik Quadragesimo Anno (1931) sebagai kenangan terhadap Rerum Novarum
yang ditulis Leo XIII. Sikap Pius XI cukup menarik karena pada 1928 beliau mengutuk ekumenisme dalam ensiklik Mortalium Animos dan mengutuk kontrasepsi dalam Casti Conubii.

Paus Pius XI wafat pada tahun 1939 dan diadakan konklaf. Masa pemerintahan Pius XI yang cukup panjang mungkin meredakan polarisasi warisan masa-masa sebelumnya. Konklaf hanya berlangsung 2 hari dan 3 putaran - tersingkat pada abad modern ini dan memilih Eugenio Pacelli yang mengambil nama Pius XII.

Enam bulan pasca pelantikannya, pecahlah Perang Dunia II. Pius XII sendiri adalah pribadi yang kharismatik, teolog ulung dan administrator yang handal. Ensiklik terkenal di masanya adalah Divino Afflante Spiritu (1943) yang merintis upaya tafsir Alkitab sesuai perkembangan ilmu hermeneutika dan eksegese. Lalu ensiklik Mystici Corporis yang mengantisipasi Lumen Gentium di Konsili Vatikan II, dan terakhir Mediator Dei, yang diabdikan untuk pembaruan liturgi. Titik balik muncul ketika pada 1950 ensiklik Humani Generis diterbitkan dan berisi kritik terhadap pandangan-pandangan modern dan baru yang berkembang baik di bidang teologi maupun sains. Para teolog aliran nouvelle thelogiae dilarang membuat publikasi, termasuk ilmuwan Jesuit Teilhard de Chardin.

Pius XII secara mengejutkan wafat pada 1958 dan diadakan konklaf. Dua
kardinal terkenal dan berpengaruh pada masa itu adalah Kardinal Ruffini dan Kardinal Ottaviani, ada juga Kardinal Lercarlo dari Bologna. Berlangsung 4 hari dan 11 putaran, konklaf memilih Kardinal Angelo Roncalli sebagai paus baru. Nama yang hampir tak diperhitungkan. Yohanes XIII, nama yang diambil, justru menjadi pembaharu. Beliau mengumumkan akan diadakannya Konsili Vatikan II dan berlangsung hingga 1965. Beliau seorang yang terbuka, periang, lucu, dan terkenal karena pelayanan pastoralnya.

Hal penting di konklaf 1958 adalah diunggulkannya Uskup Agung Giovanni Montini sebagai
paus padahal belum diangkat sebagai kardinal. Muncul dugaan Pius XII memang kurang sreg dengan Montini. Anugerah Yohanes XXIII untuk sahabatnya Montini adalah mengangkatnya sebagai kardinal dan melempangkan jalan sebagai penggantinya pada konklaf 1963. Paulus VI, demikian beliau mengambil nama adalah paus yang brilian dan tenang. Diplomasi politiknya cukup bagus. Dua ensiklik pentingnya adalah Humanae Vitae tentang teologi moral dan Populorum Progressio, kenangan terhadap Rerum Novarum.

Sebelum meninggal pada 1978 Paulus VI telah menyiapkan kandidat yang akan meneruskan kepemimpinannya karena sengitnya perkubuan di Kuria. Beliau menyiapkan Luciani Albino yang terpilih menjadi paus baru dan hanya
bertahta dua bulan, dan kemudian konklaf selanjutnya memilih Uskup Krakow Karol Wojtyla. Mengambil nama Yohanes Paulus II, Wojtyla adalah paus yang bertahta paling lama di era modern yaitu 27 tahun.

Tak hanya kharismatik, beliau juga memimpin peruntuhan Komunisme, menulis banyak ensiklik penting dari Laborem Execerns, Redemptoris Mater, Solicitudo Rei Socialis, Evangelium Vitae, hingga Fides et Ratio. Wafat pada 2005, JP II meninggalkan banyak warisan berharga sekaligus berbagai persoalan yang selama ini tak pernah diselesaikan: sex abuse, skandal keuangan Vatikan, tuntutan tahbisan perempuan, dll. 2005, konklaf berlangsung dua hari dan memunculkan kandidat kuat di putaran pertama: Kardinal Carlo Martini, Uskup Agung Milan, Kardinal Ratzinger, Kardinal Camillo Ruini, dan Kardinal Bergoglio.

Pada putaran berikutnya Kardinal Ratzinger unggul diikuti Kardinal Bergoglio. Bersahabat sejak 1970-an dengan Wojtyla, Ratzinger adalah Prefek Kongregasi untuk Doktrin Iman yang bertugas menjaga ajaran Gereja, membuat notifikasi dan palang pintu ortodoksi.

Boleh dikatakan Ratzingerlah pendamping dan penyeimbang
Wojtyla. Brilian sebagai teolog sejak muda, ketika berusia 35 tahun beliau
menjadi Profesor Teologi Sistematik di Universitas Freiburg dan menjadi
peritus untuk Kardinal Frings dari Cologne. Beliau bertahta selama 8 tahun dan menulis tiga ensiklik penting dan monumental: Deus Caritas Est, Spe Salvi, dan Caritas in Veritate. Tiga ensiklik yang ditulis tematik secara terbalik sesuai 3 pilar Kristianitas: kasih, harapan, dan iman.

Beliau mundur pada Februari 2013 dan mengumumkan sede vacante. Konklaf 2013 yang banyak dinanti akhirnya memilih Jorge Mario Bergoglio, Uskup Agung Buenos Aires Argentina sebagai Paus baru. Jesuit pertama yang menjadi paus, paus pertama dari benua Amerika, dan paus pertama yang memakai nama Fransiskus.

Lalu apa?

Jika mengikuti penuturan Kardinal Timothy Dolan dan Kardinal Christoph
Schoenborn, pilihan kepada Bergoglio adalah arah yang jelas sesuai perbincangan pendahuluan pra konklaf. Ini terkait kemendesakan Gereja Katolik melakukan pembenahan internal (ad intra) dan revitalisasi misi
keluar (ad extra). Usai selama 35 tahun Gereja Katolik dipimpin mendunia oleh sosok kharismatik JP II dan teolog ulung Benediktus XVI, kini saatnya Gereja Katolik berayun dalam pendulum baru: orientasi pastoral. Pengalaman sebagai gembala di dunia ketiga, lekat dengan isu kemiskinan, berpengalaman menghadapi aneka tantangan politik lokal, regional dan global, Paus Fransiskus adalah pembaharu yang hadir pada situasi yang tepat. Jika pembacaan tanda-tanda zaman dilakukan, mungkin saja kehadiran Bergoglio mirip dengan kehadiran Roncalli: sama-sama berusia 76 tahun, periang, humoris, berlatar pastoral. Tentu saja kita menantikan program konkret Paus
Fransiskus.

Tentu saja Teori Pendulum hanyalah upaya ilmuwan dan analis untuk
merekonstruksi fakta historis. Boleh jadi ini sekedar analisis post-factum.
Namun bentangan sejarah yang berayun dan dinamis ini berguna untuk membaca masa depan Gereja.

Tetapi dari pesan yang disampaikan, beliau jelas menegaskan sikap optimis
pada dunia, ajakan beriman dengan gembira, dan dorongan mawas diri.

Kita semua berdoa untuk Paus Fransiskus semoga Gereja Katolik semesta kembali dapat menegaskan orientasinya, menyelesaikan masalah yang dihadapi, dan merumuskan pondasi yang kokoh bagi generasi mendatang. Peringatannya cukup
jelas: tanpa mewartakan iman akan Tuhan, seluruh aksi karitatif itu tak
ubahnya menjadikan Gereja seperti LSM internasional. Gereja tak pernah
kehilangan harapan karena hidup dari penyertaan Roh Kudus dan dinamika umat yang mendewasa. Kita patut berbangga dan lebih-lebih bersedia terlibat sesuai talenta kita.

salam

Yustinus Prastowo

Sumber:

1. What Happened at Vatican II karya John O Malley
2. Conclave karya John L Allen,Jr
3. Trent What Happened karya John O Malley
4. Church Council: A Brief History karya Norman P Tanner
5. A Brief History of Vatican II karya Giuseppe Alberigo
(Milis ApiKatolik)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Jumat, 15 Maret 2013

20 Fakta Seputar Paus Fransiskus

Banyak hal yang belum diketahui soal Paus Fransiskus dari Argentina. Berikut 20 fakta unik Paus pertama dari Amerika Latin ini.

1. Jorge Mario Bergoglio, lahir 17 Desember 1936 di Buenos Aires. Ayahnya adalah seorang pekerja kereta api berdarah Italia.

2. Ayahnya, Mario Jorge, beremigrasi ke Argentina dari kawasan Piedmont, Italia.

3. Paus Fransiskus sangat lancar berbahasa Italia, Jerman, dan Spanyol. Dia juga bisa berbicara dalam bahasa Inggris, Perancis, dan Portugis.

4. Paus Fransiskus kehilangan salah satu paru-parunya akibat infeksi di masa remajanya.

5. Beliau adalah penggemar tarian tango. "Saya suka tango dan saya suka berdansa saat masih muda," katanya kepada Francesca Ambrogetti dan Sergio Rubin, penulis biografinya, El Jesuita.

6. Paus Fransiskus ternyata pernah memiliki kekasih di masa remajanya. "Dia adalah salah satu kelompok gadis yang kerap berdansa dengan saya. Namun, kemudian saya menemukan panggilan religius saya," kata Fransiskus dalam biografinya.

7. Dia bahkan pernah menjadi penjaga keamanan di Buenos Aires untuk menambah uang sakunya sebagai pelajar.

8. Paus Fransiskus adalah penggemar klub sepak bola San Lorenzo yang berlaga di Liga Argentina. Klub ini adalah klub Argentina pertama yang memenangkan dua gelar dalam satu musim pada 1972.

9. Lukisan favoritnya adalah The White Crucifixion karya Marc Chagall pada 1938. Lukisan itu menampilkan Yesus yang tengah disalib mengenakan selendang doa yang menunjukkan Dia adalah seorang Yahudi. Lukisan ini awalnya juga menampilkan seorang prajurit dengan lambang swastika Nazi di lengannya tengah membakar sebuah sinagoga.

10. Film favorit Paus adalah Babette's Feast (1987), sebuah drama produksi Denmark, arahan Gabriel Axel.

11. Dia belajar filsafat di Universitas Katolik Buenos Aires dan meraih gelar master bidang Kimia dari Universitas Buenos Aires.

12. Dia pernah mengajar sastra, psikologi, filsafat, dan teologi sebelum menjadi Uskup Agung Buenos Aires.

13. Dia menjabat Uskup Agung Buenos Aires sejak 1998-2013. Semasa menjabat Kardinal Bergoglio, ia dikenal selalu mencoba memberikan contoh baik untuk orang lain. Dia tidak mau mengenakan jubah mewah seorang uskup dan lebih memilih jubah sederhana seorang pastor biasa.

14. Dia ikut menulis buku "Sobre el Cielo y la Tierra" (Di Surga dan Bumi).

15. Dia selalu menggunakan transportasi umum seperti bus. Dia sangat jarang menggunakan taksi atau mobil pribadi saat bepergian. Dia juga tinggal di sebuah flat kecil bersama seorang pastor tua dan memasak makanannya sendiri. Padahal, dia bisa tinggal di salah satu apartemen Keuskupan Buenos Aires dan memiliki seorang juru masak.

16. Dia ditunjuk menjadi Kardinal Argentina pada 2001 oleh Paus Yohanes Paulus II.

17. Dalam konklaf 2005, dia menjadi runner up di bawah Paus Benediktus XVI. Fransiskus diduga menjadi korban "kampanye hitam" anggota ordo Jesuit lain yang lebih liberal, yang mengatakan Fransiskus tidak pernah tersenyum.

18. Paus Fransiskus berangkat ke Roma untuk mengikuti konklaf menumpang pesawat kelas ekonomi.

19. Paus Fransiskus adalah Paus non-Eropa pertama sejak Gregorius III yang terpilih pada 731.

20. Bergoglio memilih nama Fransiskus, bukan Fransiskus I. "Beliau akan menjadi Fransiskus I jika sudah ada Fransiskus II," kata juru bicara Vatikan, Federico Lombardi. Paus Yohanes Paulus I, menyematkan sendiri angka "I" di belakang namanya.
(Kompas.com - 15 Maret 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Vatikan Menjawab Zaman (Tajuk Rencana Kompas)

Sebagaimana sebelumnya, konklaf, sidang para kardinal untuk memilih Paus, selalu melahirkan kejutan. Kali ini, kejutan yang diberikan ganda.

Para kardinal—115 orang—tidak hanya memilih seorang Paus, untuk menggantikan Paus Emeritus Benediktus XVI yang "menyerahkan kembali tugasnya kepada Gereja", yang bukan dari Italia, bukan dari Eropa, dan bukan dari lingkungan Kuria (birokrasi Vatikan). Yang dipilih adalah seorang kardinal dari Amerika Latin.

Inilah untuk pertama kali dalam lebih dari satu milenium dipilih seorang Paus non-Eropa. Dan, inilah untuk yang pertama kali dipilih seorang Paus dari Benua Amerika. Inilah pula dalam sejarah seorang Paus mengambil nama Fransiskus.

Para kardinal tidak terbawa arus pilihan masyarakat umum, seperti kardinal dari New York, Timothy Dolan, dan dari Boston, Sean O'Malley, serta kardinal favorit lainnya dari Milan, Angelo Scola. Karena memang konklaf, pertama-tama dan utama memilih seorang pemimpin rohani, pemimpin Gereja, dan Gereja adalah persekutuan rohani. Baru yang kesekian, konklaf memilih seorang yang mampu menjalankan tugas publik.

Terpilihnya Uskup Agung Buenos Aires, Argentina, Jorge Mario Bergoglio (76), sebagai Paus seperti sebagai jawaban terhadap tuntutan zaman sekaligus ingin mengingatkan kepada Gereja. Zaman yang bergerak, berlari, dan berkembang begitu cepat telah meninggalkan aspek kehidupan rohani dan lebih mementingkan serba yang kebendaan. Selain itu, telah lahir masyarakat konsumtif, dan konsumerisme telah menjadi ideologi besar pada zaman globalisasi ini.

Pada saat yang bersamaan, Gereja di banyak negara juga telah meninggalkan misi utamanya, "solider kepada kaum papa dan sederhana dalam hati dan pikiran". Penyakit zaman itu yang sekarang sedang diidap Gereja, selain berbagai persoalan intern yang membelit Gereja.

Karena itu, terpilihnya seorang kardinal yang dikenal sebagai hidup menyatu dengan masyarakat yang tertinggal oleh perkembangan zaman, yang tersisihkan, yang dilupakan, yang diperlakukan secara tidak adil, yang diserobot hak-hak asasinya, adalah sebagai pertanda bahwa Gereja harus berubah.

Kardinal Bergoglio yang memilih nama Fransiskus setelah terpilih menjadi Paus menjadi penanda awal babak baru yang penuh. Zaman memang telah berubah dan akan terus berubah, tetapi kehadiran Gereja harus tetap memberikan rasa keadilan, kedamaian, kebersaudaraan, dan kepedulian terhadap sesama.

Karena itu, kita berharap Paus Fransiskus pun akan sama seperti para pendahulunya, aktif mengupayakan terciptanya perdamaian dunia, dan terciptanya tata dunia yang adil, di mana terbangun sebuah masyarakat dunia yang saling menghormati dan menghargai.
(Tajuk Rencana Kompas, 15 Maret 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Kamis, 14 Maret 2013

Mobil Paus, dari Truk hingga Limusin

Barangkali salah satu pertanyaan pertama ketika seseorang mendapatkan pekerjaan baru adalah: mobil apakah yang akan saya dapatkan? Bila pertanyaan itu diajukan oleh Paus Fransiskus yang baru terpilih, ia pasti tidak akan kecewa dengan jawabannya.

Pasalnya, tak seperti Janis Joplin yang memohon dengan nyaris putus asa dalam lagunya, "Tuhan maukah Kau membelikan aku Mercedes-Benz", bagi pemimpin umat Katolik Roma ini, permohonan semacam itu telah berkali-kali dikabulkan.

Paus pertama yang mendapatkan mobil kenegaraan adalah Pius XI. Ia mendapatkan sebuah mobil Mercedes-Benz Nurburg 460 Pullman tahun 1930. Mobil itu dilengkapi karpet sutra dan motif merpati timbul di lapisan atap.

Paus sepertinya menyukai pemberian itu, terlihat dalam uji coba mengendarai selama satu jam di sekitar halaman Vatikan. Sejak itu Paus Pius XI memiliki beberapa Mercedes, termasuk 300D pada tahun 1960, 600 Pullman Landaulet pada tahun 1965, dan 300SEL pada 1970-an.

Meskipun Paus menggunakan Mercedes di Vatikan, kendaraan yang digunakan dalam berbagai kunjungan tidak terbatas pada produk Jerman itu. Ketika Paus pergi ke berbagai negara, tuan rumah biasanya mengusulkan kendaraan yang akan dipakai. Jika memenuhi kriteria keamanan Vatikan maka usul diterima. Jika tidak, Vatikan akan membawa kendaraan sendiri.

Ketika Yohanes Paulus II melakukan kunjungan pertamanya ke negara asalnya Polandia pada tahun 1979, ia berkeliling menggunakan truk Polandia FSC Star yang dimodifikasi.

Pada tahun 1980 Mercedes diminta untuk membangun sebuah model mobil kepausan. Dipilihlah model 230g dan kemudian disebut Popemobile. Mobil ini dipakai dalam kunjungan Paus ke Jerman untuk pertama kali. Tahun 1981, model ini ditambah kaca antipeluru menyusul percobaan pembunuhan terhadap Paus Yohanes Paulus II.

Namun, pada tahun 1982, saat kunjungannya ke Spanyol, Paus Yohanes Paulus II kembali memakai kendaraan terbuka, sebuah versi Panda SEAT yang dimodifikasi. Kendaraan terbuka ini memiliki pegangan sehingga Paus bisa berdiri dan melambaikan tangan kepada orang-orang.

Paus juga pernah mengendarai truk Leyland Motors pada tahun 1982 saat kunjungan ke Inggris. Truk lapis baja ini adalah Popemobile terberat yang pernah digunakan Paus, dengan bobot 24 ton.

Sejak tahun 2007, Paus Benediktus XVI menggunakan Mercedes G500 dan ML430 SUV yang ukurannya lebih kecil. Mercedes G500 ini dilengkapi windscreen yang bisa dilipat dengan cat tradisional putih khas Popemobile.

Namun, dalam situasi yang kurang aman, Paus dianjurkan menggunakan Mercedes seri G-Class yang dimodifikasi dengan kubah plexiglass antipeluru setebal 8 mm. Kaca ini melindungi Paus dari cuaca buruk, tetapi memastikan ia tetap terlihat umatnya.

Meski begitu, berada dalam kubah kaca merupakan masalah sendiri, terutama karena panas yang muncul. Oleh karenanya, kubah ini dilengkapi sistem pendingin udara untuk membuat Paus tetap sejuk di hari yang panas, sekaligus menjamin kaca tidak berembun dalam kelembaban tinggi.

Lampu juga telah dipasang di sisi-sisi bagian dalam mobil, lantai, dan atap agar Paus lebih terlihat oleh umat saat cuaca gelap. Selain itu, di sisi keamanan, kaca telah dibuat menjadi antibom sehingga dapat menahan ledakan. Panel samping berlapis baja dan bagian alas mobil diperkuat untuk alasan yang sama. Bila terjadi situasi terburuk di mana Paus diserang, kompartemennya akan memberi pasokan oksigen sendiri.

Paus memasuki kubah lewat pintu di bagian belakang. Di dalam kubah ada kursi kulit warna putih dengan trim emas. Kursi ini memiliki sistem hidrolik yang bisa diangkat sehingga Paus lebih mudah dilihat. Dua ajudannya biasanya duduk di depan kursi Paus, tetapi tak terlihat publik. Sedangkan kursi depan Popemobile diisi penjaga keamanan dan sopir.

Meskipun modifikasi menambah beban ekstra, mesin mobil ini ikut di-upgrade. Dengan begitu, G-Class ini tetap dapat melaju hingga kecepatan 260 km per jam walau sebagian besar hidupnya akan dihabiskan untuk berjalan dengan kecepatan hanya 10 km per jam. Dengan segala modifikasi, harga Popemobile ini mencapai sekitar 565.000 dollar AS.

Namun, tidak semua mobil kepausan adalah mobil mewah. Pada tahun 1995 dalam kunjungannya ke Filipina, Paus mengendarai Popemobile buatan lokal, Francisco Motors yang membangun kendaraan itu dari mobil berpenggerak 4x4.

Ketika Yohanes Paulus II wafat pada 2005, Popemobile ini dipajang di sebuah gereja Filipina dan menjadi tujuan ziarah umat Katolik di negara itu yang tidak mampu melayat ke Vatikan. Dan, mobil tersebut barangkali menjadi satu-satunya mobil Filipina yang pernah diziarahi.

Sekarang menjadi pertanyaan, mobil apakah yang akan dipakai Paus Fransiskus? Paus terpilih ini dikenal karena kesederhanaannya. Dia memilih untuk tinggal di apartemen sederhana ketimbang di istana keuskupan. Ia menolak untuk menggunakan limusin keuskupan. Sebaliknya, ia menggunakan bus untuk bekerja dan memasak makanan sendiri. Akankah ia juga menolak mobil kepausan yang disediakan?
(Kompas.com - Kamis, 14 Maret 2013 | 15:02 PM)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Umat Katolik Argentina Luapkan Kegembiraan

Umat Katolik Argentina yang memenuhi Katedral Buenos Aires, Rabu (13/3/2013) malam waktu setempat, meluapkan kegembiraannya setelah Kardinal Jorge Bergoglio terpilih menjadi paus baru dengan gelar Fransiskus I.

Saat mengetahui kabar dari Vatikan soal terpilihnya Bergoglio, sekitar 200 orang yang hadir di Katedral Metropolitan langsung memberikan sambutan meriah.

Tak lama setelah kabar itu muncul, jumlah umat dan media di sekitar katedral tempat Fransiskus memimpin misa itu terus bertambah.

"Panjang umur Paus! Fransiskus! Fransiskus!" umat yang bergembira mengelu-elukan pemimpin baru mereka.

"Saya sangat bahagia. Saya juga sangat terkejut karena saya tak menyangka ini," kata seorang warga, Mariano Solis (33).

"Saat kami melihat asap putih di televisi, kami mengira Kardinal Brasil atau Italia yang terpilih," ujar Solis.

"Saya sebenarnya akan pergi ke bioskop dengan seorang teman. Namun, setelah kami mendengar kabar ini, kami langsung menuju katedral dan bergembira bersama," tambah Solis.

Solis kemudian bergabung dengan ratusan orang lainnya yang melakukan doa rosario untuk mendoakan Paus Fransiskus I. Umat Katolik Argentina saling berpelukan sambil berbagi tangis bahagia.

"Saya sangat terkejut. Saya tak menyangka mereka memilih Bergoglio. Dia adalah paus pertama dari Amerika Latin, dan ini akan menjadi keuntungan besar bagi kawasan ini," kata Gaston Hall (37), seorang penerbit yang mengaku sedang belajar menjadi seorang Katolik.

Tak hanya umat Katolik Argentina yang terkejut, seluruh Gereja Katolik negeri itu juga terkejut dengan terpilihnya Bergoglio.

"Bergoglio berangkat ke Vatikan dengan damai untuk ikut dalam konklaf yang memilih paus baru. Dia bahkan sudah memiliki tiket pulang pekan depan," kata juru bicara Gereja Katolik Argentina, Federico Wals.

Gereja Katolik Argentina, lanjut Wals, yakin Bergoglio tak akan terpilih sehingga sudah mencantumkan namanya untuk memimpin misa pada perayaan Paskah nanti.

Sementara itu, Presiden Argentina Cristina Kirchner menyambut baik terpilihnya Bergoglio sebagai paus pertama dari Amerika Latin dan mendoakan agar Paus Fransiskus I sukses memimpin umat Katolik.

"Kami berharap beliau bisa bertugas dengan baik. Dengan tanggung jawab yang sangat besar ini, dia bisa memberikan keadilan, kesetaraan, persaudaraan, dan perdamaian di antara umat manusia," kata Kirchner.

Kirchner sendiri adalah penganut Katolik, tetapi dia tak memiliki hubungan yang baik dengan kepausan.

Kini, Paus Fransiskus I, putra seorang pekerja kereta api Argentina, menjadi anggota Jesuit pertama yang akan memimpin 1,2 miliar umat Katolik sedunia.
(Kompas.com - Kamis, 14 Maret 2013 | 12:35 PM)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Paus Fransiskus Patahkan Sejumlah Tradisi

Saat Jorge Bergoglio melangkah ke balkon di Vatikan pada Rabu (13/3) malam untuk menampakan dirinya sebagai pemimpin baru 1,2 miliar umat Katolik sedunia, ia membuat sejarah dengan menjadi paus non-Eropa pertama dari era modern. Tak hanya itu, ia paus pertama dari Amerika Latin, Jesuit pertama yang jadi paus dan paus pertama yang menggunakan nama Fransiskus.

Paus baru itu dengan cepat membuat sejumlah sejarah lain. Ia mematahkan tradisi dalam aksi publik pertamanya di hadapan 150.000 orang yang memadati Lapangan Santo Petrus. Alih-alih memberkati kerumunan itu untuk pertamakalinya sebagai paus, ia malah meminta mereka berdoa untuknya.

"Mari kita berdoa, Anda mendoakan saya, dalam keheningan," katanya kepada kerumunan yang bersorak.

Kemauan Fransiskus keluar dari tradisi ditafsirkan juru bicara Vatikan sebagai tanda bahwa ia akan memetakan jalan sendirinya dengan cara yang tidak biasa.

"Kita memiliki seorang paus yang mungkin mengecewakan sejumlah orang malam ini dengan tidak mengikuti formula itu," kata Pater Tom Rosica.

Paus juga mematahkan tradisi lain dengan menolak untuk menggunakan sebuah panggung yang membuat dirinya berada lebih tinggi dari para kardinal lain yang berdiri bersama dia ketika dia diperkenalkan kepada dunia sebagai Paus Fransiskus. "Dia bilang saya akan berdiri di sini," kata Kardinal Timothy Dolan, Uskup Agung New York dan presiden Konferensi Uskup Katolik AS, seperti dikutip CNN.

Fransiskus, yang mengenakan jubah kepausan warna putih, muncul pada malam yang diguyur hujan di hadapan kerumunan massa setelah terpilih oleh para kardinal dalam apa yang tampaknya merupakan babak pemungutan suara kelima pada konklaf hari kedua.

"Seperti yang anda ketahui, tugas konklaf adalah menunjuk Uskup Roma yang baru," katanya. "Tampak bagi saya bahwa para saudara kardinal telah memilih orang yang berasal dari jauh. Inilah saya. Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada kalian semua."

Sebagai paus, Bergoglio mengambil kendali Gereja Katolik yang dalam beberapa tahun terakhir diguncang kasus pelecehan seksual para imam dan klaim korupsi dan pertikaian di antara hirarki gereja.

Bergoglio yang berumur 76 tahun, yang menjabat sebagai Uskup Agung Buenos Aires, merupakan paus pertama yang menggunakan nama Fransiskus untuk menghormati Santo Fransiskus dari Asisi, tokoh yang dihormati di kalangan Gereja Katolik karena karyanya untuk orang miskin. Santo Fransiskus dipandang sebagai pembaharu gereja. Saat sebagai kardinal, ia berselisih dengan pemerintahan Presiden Argentina, Cristina Fernandez de Kirchner, terkait penentangannya terhadap perkawinan gay dan distribusi gratis alat kontrasepsi.

Amerika Latin merupakan rumah bagi 480 juta umat Katolik. Dengan memilih Bergoglio, para kardinal mengirimkan pesan kuat tentang di mana masa depan gereja mungkin berada.

Menurut profilnya yang dibuat pengamat Vatikan, John Allen, dan diterbitkan National Catholic Reporter, Fransiskus lahir di Buenos Aires dari seorang ayah imigran Italia. Dia dikenal karena kesederhanaannya. Dia memilih untuk tinggal di apartemen sederhana ketimbang di istana keuskupan. Ia menolak untuk menggunakan limusin keuskupan. Sebaliknya, ia menggunakan bus untuk bekerja dan memasak makanan sendiri, tulis Allen.

(Kompas,com - Kamis, 14 Maret 2013 | 14:49 PM)

Powered by Telkomsel BlackBerry®

Paus Fransiskus Akan Bertemu Benediktus XVI

Paus Fransiskus dijadwalkan bertemu dengan pendahulunya Benediktus XVI di tempat istirahat kepausan di Kastil Gandolfo, Kamis (14/3/2013), saat Fransiskus memulai hari pertamanya sebagai paus.

Paus Fransiskus (76), yang menjadi paus Jesuit pertama itu, akan mengunjungi Benediktus XVI di Kastil Gandolfo. Demikian menurut Kardinal AS Timothy Dolan.

Berbicara di Kolose Amerika Utara, seminari AS di Roma, Kardinal Dolan mengatakan Paus Fransiskus mengatakan kepada para kardinal bahwa dia akan mengunjungi Benediktus.

Kunjungan ini sangat penting karena pengunduran diri Benediktus ini memunculkan kekhawatiran adanya konflik kekuasaan yang muncul dari situasi tak lazim adanya dua paus dalam waktu yang bersamaan.

Paus Fransiskus sudah berbicara lewat telepon dengan Benediktus XVI, yang tinggal di Kastel Gandolfo sejak meletakkan jabatannya pada 28 Februari.
(Kompas.com Kamis, 14 Maret 2013 | 15:06 PM)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Isi Pidato Perdana Paus Fransiskus I

Paus Fransiskus I menekankan pentingnya persaudaraan di Gereja Katolik Roma dan meminta umat Katolik untuk berdoa bagi Paus Emeritus Benediktus XVI. Hal ini disampaikan Kardinal Argentina Jorge Mario Bergoglio dalam pidato pertamanya setelah terpilih menjadi Paus menggantikan Benediktus XVI.

"Sepertinya, para kardinal, saudara saya, telah memilih satu orang dari jauh sana. (Tapi) inilah saya di sini," ujar Paus Francis dengan ramah  mengawali pidato perdananya.

Dia mengucapkan terima kasih atas sambutan umat Katolik terhadap dirinya. Dalam pidato singkatnya tersebut, Paus Fransiskus meminta doa dan dukungan dari seluruh umat Katolik di dunia.

Bergoglio adalah Yesuit pertama yang menjadi Paus dan diyakini telah menjadi runner-up pada pemilihan tahun 2005 lalu. Bergoglio dikenal sebagai "orang lurus", rendah hati dan konservatif. Salah satu pandangannya yang keras telah menyebabkan perdebatan dengan Presiden Argentina Cristina Fernandez de Kirchner. Bergoglio menentang keras perkawinan sesama jenis dan peredaran bebas alat kontrasepsi.

Setelah tampil di Balkon Basilika, Uni Eropa pun mengucapkan selamat padanya dan mendesaknya untuk mempromosikan perdamaian, solidaritas dan martabat manusia di dunia yang berubah dengan cepat.

"Atas nama Uni Eropa, kami menyampaikan ucapan selamat yang tulus kami pada  Anda," kata Presiden Uni Eropa Herman Van Rompuy dan Komisi Eropa Jose Manuel Barroso dalam pernyataan bersama setelah Jorge Mario Bergoglio dari Amerika Latin disebut sebagai Paus.

"Kami berharap pontifikat Anda panjang dan diberkati yang akan memungkinkan kekudusan Anda dan Gereja Katolik untuk mempertahankan dan mempromosikan nilai-nilai fundamental perdamaian, solidaritas dan martabat manusia," tegas mereka.

Sementara itu Sekjen PBB Ban Ki-Moon meminta Paus yang baru bisa meningkatkan hubungan antara berbagai agama di dunia.

http://jaringnews.com/internasional/uni-eropa/36377/berikut-isi-pidato-perdana-paus-fransiskus-i
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Rabu, 13 Maret 2013

Paus Fransiskus I, Penentang Kebijakan Pemerintah Argentina Legalkan Pernikahan Gay

Setelah sebelumnya asap putih keluar pada Rabu 13 Maret 2013, pukul 19.05 waktu Vatikan atau Kamis 14 Maret 2013 pukul 01.14 Waktu Indonesia Barat (WIB) dan sambutan massa yang berkumpul di Lapangan Basilika Santo Petrus yang terus mengkibar-kibarkan bendera dari negeri asal mereka dan bendera Vatikan. Juga beberapa orang yang mengangkat poster dan meneriakkan seruan "Viva Il Papa". Selanjutnya semua pandangan massa tertuju ke balkon Basilika Santo Petrus. Lampu-lampu penerangan yang diarahkan ke Basilika tersebut menerangi Balkon Basilika yang akan digunakan untuk mengumumkan Paus Baru.

Iring-iringan Pasukan Drumband Tentara Italia dan Pasukan Garda Swiss berjalan dengan serempak menuju bagian depan Basilika tepat di bawah Balkon tempat akan disampaikannya pengumuman Paus Baru.

Tepat pukul 20.12 waktu Vatikan atau hari Kamis 14 Maret pukul pukul 02.18 WIB Kardinal Tauran mewakili Kolegium Kardinal keluar menuju Balkon dan mengumumkan terpilihnya Paus Baru. "Annuntio Vobis Gaudium magnum: Habemus Papam," ujarnya. Kata-kata Latin ini berarti: "kami mengumumkan dengan sukacita yang besar, kita telah memiliki Paus baru". Setelah pengumuman tersebut, Paus Baru dengan nama Paus Fransisco keluar menuju Balkon Basilika Santo Petrus dan menyapa massa yang berteriak-teriak menyebut namanya.

Paus Baru dari Argentina ini memiliki nama asli Jorge Mario Bergoglio, SJ. Ia adalah Jesuit pertama dalam sejarah, yang terpilih menjadi Paus. Uskup Agung Buenos Aires, Argentina ini dikenal sebagai intelektual Jesuit yang suka bepergian dengan bus dan memiliki perhatian terhadap kemiskinan. Ketika Ia diangkat menjadi Kardinal, Ia membujuk ratusan umat Argentina untuk tidak terbang ke Roma merayakan Natal atau Paskah. Ia malah berharap kepada umatnya untuk memberikan uang untuk membeli tiket kepada orang miskin. Paus baru ini juga dikenal sebagai penentang keras kebijakan pemerintah Argentina dalam melegalkan pernikahan gay pada tahun 2010. Ia dilantik kardinal oleh Yohanes Paulus II pada tanggal 21 Februari 2001.

http://m.hidupkatolik.com/index.php/2013/03/14/uskup-agung-buenos-aires-argentina-jadi-paus

Powered by Telkomsel BlackBerry®

Selasa, 12 Maret 2013

115 Kardinal Konklaf Memilih Paus, Siapa Saja yang Boleh jadi Kardinal?

SIAPA sebenarnya kardinal. Kardinal sering disebut sebagai pangeran Gereja Katolik. Kebanyakan orang tahu bahwa para kardinal adalah pembantu Paus. Mereka biasanya menjadi pusat perhatian publik saat Paus wafat atau terjadi kekosongan takhta, karena mereka lah yang kemudian berkumpul dalam konklaf yang berarti sidang rahasia para kardinal untuk memilih Paus baru.

Dalam kenyataannya, peran kardinal tidak hanya untuk memilih Paus. Mereka membantu Paus dalam mengurus Gereja Katolik. Para kardinal memberikan saran-saran tentang berbagai urusan Gereja saat Bapa Suci memanggil mereka dalam suatu rapat yang disebut konsistorium. Para kardinal memberi hormat kepada Paus

Hingga 2 Maret 2013, terdapat 207 orang kardinal dari 66 negara yang menjadi anggota Kolegium Kardinal. Di antara mereka, 117 orang dari 50 negara adalah kardinal elektor, kardinal yang berhak memilih Paus. Sisanya adalah kardinal non-elector, yang sudah berusia lebih dari 80 tahun dan tidak lagi berhak mengikuti konklaf.

Jumlah kardinal biasanya berkurang karena beberapa di antara mereka meninggal. Paus Yohanes Paulus II dalam Konstitusi Apostolik Universi Dominici Gregis menentukan jumlah maksimum kardinal elektor sebanyak 120.

Karena jumlahnya yang terbatas dibandingkan dengan uskup yang jumlahnya ribuan, dan juga karena hak-haknya yang istimewa, jabatan kardinal sering dipandang sebagai suatu promosi untuk uskup. Seolah-olah ada urutan begini: imam, uskup, uskup agung, kardinal dan Paus. Kenyataannya, yang benar adalah: imam, uskup dan Paus. Itu saja.

Kardinal bukan atasan uskup. Kardinal merupakan gelar kehormatan. Kardinal juga bukan perpanjangan tangan Paus untuk mengatur para uskup di Indonesia. Kolegium Kardinal dan Sinode Para Uskup memiliki peran sendiri-sendiri dalam Gereja Katolik dan tidak bisa dibilang bahwa yang satu lebih penting daripada yang lain. Meski begitu, secara ranking, kardinal memang lebih tinggi dari uskup dan biasanya diangkat dari kalangan uskup senior.

Meski kelihatannya sama semua, di kalangan kardinal sebenarnya ada tiga tingkatan. Yang paling utama adalah kardinal uskup, kemudian kardinal imam dan kardinal diakon. Begini ceritanya. Pada mulanya, kardinal adalah klerus (rohaniawan) yang ditugaskan untuk membantu Paus di Keuskupan Roma. Istilah kardinal bermula dari kata inkardinasi, yang artinya menempatkan seorang klerus di bawah yurisdiksi seorang ordinaris (uskup, abbas atau ordinaris lain).

Uskup, imam dan diakon yang diminta membantu Paus di-inkardinasi ke Keuskupan Roma, di bawah Paus yang adalah Uskup Roma. Jadilah mereka kardinal uskup, kardinal imam atau kardinal diakon di Keuskupan Roma. Menurut kaidah bahasa Indonesia, sebenarnya memang lebih tepat dibilang uskup kardinal, imam kardinal atau diakon kardinal.

Versi lain, kata kardinal berasal dari kata Latin "cardo" yang berarti "engsel". Seorang Kardinal dipilih menjadi asisten-asisten kunci dan penasihat dalam berbagai urusan gereja. Kardinal dapat dipilih dari kalangan Imam ataupun Uskup. Di Indonesia telah ada 2 orang Kardinal, yaitu mendiang Yustinus Kardinal Darmojuwono Pr, dan Julius Kardinal Darmaatmaja SJ.

Yang Utama Julius Kardinal Darmaatmadja, satu-satunya kardinal dari Indonesia, saat ini. Dia tidak ikut Konklaf dengan alasan hambatan kesehatan.

Sekarang praktiknya memang sudah lain. Yang diangkat menjadi kardinal hampir semua berasal dari kalangan uskup, bukan lagi imam/pastor atau diakon (pembantu uskup atau imam).

Meski begitu tiga tingkatan kardinal ini masih tetap dipertahankan. Tarcisio Cardinal Bertone adalah salah seorang kardinal uskup. Ia adalah Sekretaris Negara Vatikan dan juga adalah Camerlengo Gereja Romawi Kudus, yang menjalankan roda pemerintahan di Vatikan saat terjadi sede vacante.

Pengangkatan kardinal merupakan hak prerogatif Paus. Secara garis besarnya, saat ini ada tiga jalur pengangkatan kardinal. Yang pertama adalah jalur uskup diosesan, seperti Yang Utama Julius Kardinal Darmaatmadja. Kardinal dari jalur ini biasanya diangkat menjadi kardinal imam. Yang kedua adalah jalur Kuria Romawi, jalur untuk pejabat-pejabat Gereja yang membantu Paus di Vatikan.

Contohnya adalah Sua Eminenza Angelo Cardinal Comastri, Imam Agung Basilika Santo Petrus. Kardinal dari jalur ini biasanya diangkat menjadi kardinal diakon. Yang ketiga adalah jalur lain-lain. Kardinal dari jalur ini biasanya diangkat menjadi kardinal diakon juga.

Bapa Suci bisa mengangkat siapa saja yang dianggap pantas menerima martabat kardinal. Contoh yang paling bagus mungkin adalah His Eminence Avery Cardinal Dulles. Almarhum Cardinal Dulles adalah seorang imam Jesuit dari Amerika Serikat, guru besar teologi yang sangat dihormati baik oleh Paus Yohanes Paulus II yang mengangkatnya. Juga dihormati Paus Benedictus XVI yang mengunjunginya beberapa bulan sebelum wafatnya. Sampai meninggalnya, Cardinal Dulles tidak pernah menerima tahbisan uskup.

Sumber: http://m.tribunnews.com/2013/03/13/115-kardinal-konklaf-memilih-paus-siapa-saja-yang-boleh-jadi-kardinal

Powered by Telkomsel BlackBerry®

Kilas Balik Konklaf Satu Abad Terakhir

Selama satu abad terakhir, tak ada sidang konklaf yang lebih lama dari lima hari, dengan konklaf tercepat adalah saat terpilihnya Paus Pius XII.

Dalam 100 tahun terakhir, dua kali uskup dari Amerika Latin tak memberikan suara karena terlambat tiba di Vatikan. Sementara seorang kardinal Hungaria dua kali tak menghadiri konklaf karena bersembunyi di Kedubes AS di Budapest dalam rangka mencari suaka.

Inilah konklaf Vatikan dalam 100 tahun terakhir:

31 Juli-4 Agustus 1903: Kardinal Italia Giuseppe Sarto terpilih menjadi paus dengan gelar Pius X. Dia terpilih dalam tujuh kali pemungutan suara selama empat hari konklaf yang dihadiri 62 dari 64 kardinal.

31 Agustus-3 September 1914: Kardinal Italia Giacomo della Chiesa resmi menjadi Paus Benediktus XV. Dia terpilih dalam 10 kali pemungutan suara di hari ketiga konklaf yang dihadiri 56 dari 65 kardinal. Para kardinal dari Boston, Baltimore dan Quebec tiba setelah sidang konklaf usai.

2-6 Februari 1922: Kardinal Italia Achille Ratti menjadi Paus Pius XI, terpilih dalam pemungutan suara ke-14 di hari kelima konklaf. Sebanyak 53 dari 60 kardinal berpartisipasi dalam konklaf.

1-2 Maret 1939: 62 kardinal yang berpartisipasi dalam konklaf, menetapkan Kardinal Eugenio Pacelli menjadi Paus Pius XII, yang terpilih pada hari kedua konklaf dengan hanya tiga kali pemungutan suara.

25-28 Oktober 1958: Kardinal Italia Angelo Roncalli dilantik menjadi Paus Yohanes XXIII. Dia terpilih dalam hari keempat konklaf melalui pemungutan suara ke-11. 51 dari 53 kardinal ikut serta dalam konklaf. Kardinal Hungaria Jozsef Mindszenty tengah berlindung di Kedubes AS di Budapest. Sedangkan Kardinal Alojzije Stepinac menjalani tahanan rumah.

25-26 Juni 1963: Sidang konklaf pada hari ketiga lewat pemungutan suara keenam, memilih kardinal Italia Giovanni Battista Montyini menjadi Paul VI. 80 dari 88 kardinal berpartisipasi. Kardinal Mindszenty masih berlindung di Kedubes AS di Budapest.

25-26 Agustus 1978: Kardinal Albino Luciano dari Italia resmi menjadi Paus Yohanes Paulus I. Beliau terpilih dalam konklaf hari kedua dan pemungutan suara keempat. Sebanyak 111 kardinal dari 49 negara ikut serta. Tiga kardinal absen karena sakit, 15 kardinal tak bisa ikut serta karena terkena aturan baru yaitu batasan usia di bawah 80 tahun.

14-16 Oktober 1978: Kardinal Karol Wojtyla dari Polandia terpilih menjadi Paus Yohanes Paulus II. Dia terpilih di hari ketiga konklaf dan pemungutan suara kedelapan. 111 kardinal dari 49 negara ikut ambil bagian dalam konklaf ini.

18-19 April 2005: 115 kardinal dari 52 negara memilih Kardinal Joseph Ratzinger dari Jerman menjadi Paus Benediktus XVI. Dia terpilih di hari kedua konklaf dan di pemungutan suara keempat.

 (Kompas.com - 12 Maret 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Senin, 11 Maret 2013

Konklaf dan Relativisme Jarak (Justinus Prastowo)

Tak hanya umat Katolik tapi juga sebagian besar warga dunia kini penasaran dengan apa yang terjadi di Vatikan yaitu konklaf. Saya sendiri yakin bahwa perhatian yang sedemikian besar bukan lantaran magnet Vatikan atau Gereja Katolik dalam konstelasi tata hubungan internasional. Diakui, pengaruh
Gereja dalam kehidupan sehari-hari semakin memudar apalagi di Barat. Makin sedikit umat yang datang ke misa mingguan. Tak ada lagi keagungan pesta agama yang dirayakan dengan sakral. Natal yang meriah pun lebih lantaran tradisi yang berabad-abad lekat dengan kehidupan masyarakat Barat. Jika masih tersisa, kristianitas tentu saja masih hidup di beberapa partai Kristen di Eropa.

Amerika Serikat mungkin kekecualian. Negara ini memang tak pernah memiliki sejarah memusuhi agama, meski tegangan agama dan moral
publik tak jarang muncul. Kehadiran umat pada ibadat mingguan cukup tinggi dan agama kerap kali hadir sebagai bagian dari diskursus publik jika terkait isu-isu sensitif: kontrasepsi, aborsi, teknologisasi genetika, moralitas perkawinan dan intervensi negara.


Lalu apa yang membedakan konklaf kali ini dengan konklaf sebelumnya? Jika sedikit kembali ke belakang, konklaf 2005 sejatinya tak begitu meriah.

Penyebabnya barangkali dua hal. Pertama, suasana perkabungan pascawafat Paus Yohanes Paulus II yang agung itu dan kedua besar kemungkinan kandidat pengganti Paus tak jauh dari lingkaran dalam JP II yang mengerucut pada Kardinal Ratzinger.

Ini tentu agak berbeda dengan konklaf kali ini. Paus Benediktus XVI mengundurkan diri, di luar dugaan banyak pihak karena sangat jarang
terjadi. Spekulasi pun merebak terkait penyebab Paus mundur. Faktor
kesehatan, rasa malu dan bersalah karena berbagai penyimpangan di Gereja, atau lantaran ingin menjadi kingmaker bagi penerusnya agar bisa dipastikan ideologi Gereja beberapa waktu mendatang tetap pada jalur yang dipilihnya?

Munculnya berbagai dugaan spekulatif di luar alasan resmi Paus sendiri
memang hal yang lumrah. Kita lalu patut menilik pembeda lain konklaf 2013 dan 2005.

Satu hal penting adalah social media. Facebook, jejaring sosial terbesar baru berdiri 2004 dan pada 2005 praktis masih sangat baru, tak sebesar beberapa tahun terakhir. Kini facebook memiliki pengguna lebih dari satu milyar atau 20 persen dari penduduk dunia. Twitter, jejaring sosial terbesar kedua baru didirikan 2006. Dari sini saja kita lalu paham betapa faktor pembiakan informasi termasuk pengkondisian "trending topic" sangat
efektif dilakukan situs jejaring sosial ini. Kini berlaku hukum "apa yang
digemari adalah apa yang paling banyak diberitakan".

Adakah yang salah dengan Facebook dan twitter? Tentu tidak. Catatan ini
ingin menjauhkan dari anasir benar-salah yang dikotomis dan seringkali
menipu. Tapi satu hal patut kita perhatikan: relativitas jarak akibat
revolusi teknologi. Jika pada fase konvensional kategori ruang-waktu itu
dipahami linier dan menyatu, kini agaknya perlu dipikir ulang. Apabila dulu jarak antara Jakarta-Semarang bisa diukur dengan waktu tempuh bus malam, kereta cepat atau pesawat udara, kini bahkan jarak Jakarta-New York dapat dihitung dalam kejapan seper sekian detik tanpa perpindahan fisik.

Transaksi finansial ribuan trilyun Jakarta-New York-London bisa dilakukan
dengan mudah dan cepat melebihi kecepatan pengiriman uang melalui transfer atau wesel pos ke Semarang atau Wonogiri.

Lantas apa persoalannya? Jangan-jangan perubahan cara berinteraksi yang bergeser dari kesatuan ruang-waktu menjadi tercabutnya waktu dari ruang ini juga berdampak pada "jarak" atau intimitas manusia-manusianya. Atau dengan kata lain, mungkinkah jarak antara SBY dan Obama atau Merkel memang lebih dekat dibandingkan jarak SBY dengan Bupati Wonogiri atau Walikota Jayapura?

Atau jika diambil contoh dari praktik agama, mungkinkah jarak Jakarta-Mekah atau Jakarta-Vatikan memang lebih dekat dibandingkan Jakarta-Palangkaraya atau Jakarta-Atambua? Atau bahkan interaksi antarbenua itu lebih cepat daripada kinerja panitia APP sekalipun dalam satu lingkungan atau paroki? Atau sepasang kekasih yang sedang mengikuti kanonik dan kursus perkawinan?

Lebih sederhana lagi: khotbah minggu pastor Paroki sudah banyak dimengerti
umatnya pada hari Kamis atau Jumat, saat mereka mengakses berbagai sumber di internet.


Daya virtual itu sungguh luar biasa bekerja. Jika demikian halnya, jangan-jangan memang istilah konklaf itu sendiri menjadi sedemikian akrab
di telinga dan benak kita bukan lantaran kita paham atau peduli, melainkan karena kita diserbu setiap detik melalui social media, internet, dan itulah satu-satunya hal penting bagi kita. Pada titik ini muncul persoalan serius. Ketika waktu dicabut dari ruang, saat roh dipisahkan dari tubuh, apa sejatinya realitas itu? Jika ia manusia, masihkan ia layak disebut manusia? Tanpa "materialitas", apakah realitas itu?

Itulah kegundahan saya akhir-akhir ini. Inflasi pemberitaan yang sedemikian
membuncah, tak jarang dangkal, tendensius bahkan acapkali memusuhi itu sangat mudah ditelan dan dicerna sebagai asupan kebenaran. Relativitas
jarak berujung pada relativisme kebenaran. Tapi lagi-lagi ini hanya
kekhawatiran. Pokok gagasan yang ingin saya ajukan adalah: bagaimana kita menyikapi arus dan corak interaksi yang seperti ini? Masihkah akan berharap pada model tradisional-konvensional? Bisa diperdebatkan.

Akhirnya saya hanya ingin meminjam analogi Inkarnasi itu sendiri. Allah
ketika ingin berbela rasa dengan manusia tidak sekedar duduk manis di sorga tetapi Ia harus menjadi manusia. Sabda itu harus menjadi daging. Apa yang imaterial itu menjadi material. Kemanusiaan atau realitas lantas dipahami dalam kesatuan tubuh-roh atau daging-spirit. Bila dianalogikan, aneka hantaman berita virtual yang menerpa kita harus disikapi dengan apa? Tentu saja dengan cara mematerialkannya, memberi "daging" agar bermakna. Itulah refleksi dan kontekstualisasi. Dua hal yang menjadi makin asing dalam khasanah spiritualitas kita.


Jika kedangkalan adalah hal yang ingin ditolak iman Kristen persis karena
ia menipu, menjadi klenik, ideologi semu, maka tugas kitalah melawannya. Tak justru surut mundur menyendiri, tapi maju ke gelanggang pertarungan ide dan perebutan pengaruh. Di situlah kita diuji, sungguhkah iman itu berisi ataukah sekedar tong kosong belaka?

Karenanya iman Kristen selalu
mengandaikan pengajaran. Butuh ketekunan untuk itu. Iman bukanlah perkara instan yang bisa dibeli secara online, digoogling atau disubkontrakkan. Iman adalah pertalian dengan perbuatan, "mendaging".


Saat ini kita diuji. Dalam magnet perhatian dunia yang begitu luas kepada konklaf dan Vatikan akibat massifnya teknologisasi komunikasi lewat social media – mampukan kita menghadirkan makna yang berbeda? Ataukah kita sekedar ikut bertaruh siapa paus terpilih, berapa putaran, pada hari ke berapa, atau dari benua mana.

'Isu di balik isu" itulah sejatinya harta karun yang harus diungkap dan dimengerti. Semoga masih cukup waktu untuk menimbang
atau memang jarak Jakarta-Vatikan sudah sangat dekat dan nyata melebihi jarak antara Jakarta-Cilincing atau Jakarta-Bantargebang, tempat begitu banyak sahabat Yesus meregang nyawa karena ditelantarkan begitu banyak tetangganya yang soleh dan beriman itu? Itulah kejeniusan Kristiani memilah "ilalang-gandum" dan "kambing-domba".

Walahualam.

salam

Justinus Prastowo
(Milis APIKatolik)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Minggu, 10 Maret 2013

Vatikan: Paus dari Italia(?)

Menyambung tentang kesiapan konklaf, pada hari ini para Kardinal telah mengadakan Misa di masing-masing paroki di Roma. Salah satunya adalah Kardinal Angelo Scola, calon kuat papabili dari Italia, di paroki Santi Apostoli (Holy Apostles).

Pada akhir Misa itu, kardinal Scola mengatakan, "Konklaf sudah diambang pintu, mari kita berdoa agar Roh Kudus memberikan kepada gerejaNya seorang yang dapat memimpin pada jejak yang telah ditandai oleh Paus yang besar selama 150 tahun terakhir". 

Ia melanjutkan, "Berikan kepada kami seorang gembala suci, seorang Paus yang menjadi saksi Kristus dan membangun Gereja melalui kesaksian hidupnya."

Misi Gereja adalah "selalu mengumumkan kemurahan Allah, bahkan untuk manusia canggih dan kehilangan arah pada milenium baru ini," kata Kardinal Angelo Scola sebelum menyimpulkan homilinya.

(Shirley Hadisandjaja, Milan, 10 Maret 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Jumat, 08 Maret 2013

Menilik Konklaf dari Perspektif Manajemen (Justinus Prastowo)

Konklaf kali ini sungguh menarik disimak. Berbagai sudut pandang sudah dipaparkan dan banyak analisis disajikan. Mulai dari pendekatan teologis, politis, dan strategis yang akhirnya memunculkan rumor tentang siapa yang paling layak menjadi Paus pengganti Benediktus XVI yang mengundurkan diri.

Bagi saya pribadi, magnet Vatikan terasa spesial dan luar biasa. Sebuah
pusat kekristenan yang berusia sekitar 20 abad, mewarisi tradisi yang
kokoh, memiliki sejarah panjang yang menciptakan pro dan kontra, berayun
dalam tegangan baik-buruk, mulia-jahat, tulus-bermuslihat. Apa pun itu,
dinamika Vatikan dan Gereja Katolik masih diakui mempunyai dampak pada dinamika sosial-politik dunia.

Wajar saja, dengan jumlah pemeluk mencapai 1,2 milyar, meliputi 17% dari
penduduk dunia dan 30% dari seluruh pengikut Yesus, Gereja Katolik
diperhitungkan. Belum lagi persebaran yang cukup merata. Dominan di
beberapa negara Eropa seperti Spanyol, Prancis, Portugal dan Italia,
penganut Katolik lumayan banyak di Amerika Serikat, lalu dominan di Amerika Latin, berkembang luas di Afrika seperti Nigeria, Kongo, dan Ghana, juga di beberapa negara Asia seperti Filipina dan India. Secara kultural Gereja Katolik juga memiliki kekayaan tak terkira. Mula-mula berakar pada Yudaisme
dan budaya Timur Tengah, berkembang di wilayah Mesir, menyebar di Asia Kecil dan Eropa hingga membentuk sebuah corak khusus "Yudeo-Helenistik" yang merupakan persilangan panjang budaya dan corak berpikir Yahudi dan
Yunani. Kristianitas pun berakar kokoh pada budaya Barat.

Tulisan ini tak hendak melihat Gereja Katolik dari sisi historis-teologis
tetapi memotret kebutuhan apa yang mendesak bagi Katolisisme. Kira-kira 50 tahun silam ketika Konsili Vatikan II dimulai, ada tiga bayang-bayang yang
sejatinya menjadi isu sentral namun tak secara eksplisit disampaikan.
Pertama, lingkungan atau suasana kebatinan yang mendukung gagasan
perubahan. Kedua, hubungan internal Gereja antara pusat dan pinggiran, yang akan tampak dalam relasi Paus dan Dewan Uskup, antara primasi kepausan dan aspek kolegialitas. Ketiga, corak atau model ekspresi otoritas Gereja yang dipilih sesuai spirit pembaruan (aggiornamento). Tiga hal itu dipotret dengan sangat baik oleh John O Malley,SJ - salah satu sejarawan Katolik terbaik yang ada saat ini.

Bertolak dari pandangan Malley di atas, saya lalu melirik ulasan Brendan Mc
Charty di The Tablet baru-baru ini. Dengan jeli ia memotret kebutuhan
pemimpin Gereja Katolik saat ini seperti sebuah perusahaan memilih CEO. Bahkan Mc Charty menganalogikan pentingnya Gereja Katolik menemukan dan
memilih tokoh sekelas Carlos Ghosn - ahli yang menyelamatkan Nissan Motor
dan kebangkrutan dan justru menjadikannya berjaya kembali.

Kiranya siapa pun itu di dunia modern ini tak bisa mengabaikan kaidah-kaidah dan praktik terbaik yang dicermati dan dikaji Ilmu Manajemen. Bagaimana siklus Planning, Organizing, Actuating, dan Controlling menjadi kebutuhan penting bagi organisasi besar terlebih sebesar Gereja Katolik.

Lalu, kira-kira apa kriteria yang dibutuhkan? Jika ditilik dengan saksama, kita memiliki beberapa model pemimpin (Paus) dalam satu abad terakhir. Paus yang memiliki kemampuan administrator yang baik, kemampuan manajerial dan citarasa bekerja rapi dalam organisasi besar adalah Pius XII dan Paulus VI.

Selebihnya Paus di abad modern ini bercorak kharismatis: Yohanes Paulus II
bahkan mendunia sebagai pribadi hingga sedemikian identik dengan
kekatolikan. Ia layak disebut "Penginjil Dunia', karena aktivitas personalnya sedemikian luar biasa, memancarkan kharisma yang sangat kuat.

Dalam hal ini Yohanes XXIII satu tipe dengan Yohanes Paulus II. Selebihnya,
Benediktus XVI lebih mirip dengan Pius XI - pemikir yang tekun, mendalam
dan jenius. Keduanya lebih cocok sebagai pengajar, peneliti, ataupun
mahaguru.

Sedangkan Gereja Katolik diterpa berbagai isu yang sensitif: kasus
pelecehan seksual, korupsi di pusaran kekuasaan Vatikan, sekularisme, dan
beberapa hal lain. Seringkali terasa Vatikan terlambat merespon isu hingga
berkembang liar dan sangat merugikan. JP II dan Benediktus XVI lah yang menghadapi hal ini, dan agaknya keduanya tak memiliki "kabinet" yang baik.

Manajemen tak berjalan sebagaimana mestinya. Kolegialitas Uskup perlu
ditekankan kembali dan manajemen Vatikan harus dirombak, disegarkan, dan dijalankan layaknya CEO memimpin perusahaan besar.

Maka, kini kita memiliki tiga kriteria yang harus dicari irisannya.
Pertama, tentu saja kita membutuhkan pemimpin yang kharismatik, yang mampu menjadi simbol, perekat, disegani dan otoritatif. JP II dan Yohanes XXIII layak dijadikan model. Kedua, kita butuh paus yang paham soal tata kelola (governance). Menilik begitu berantakan manajemen Gereja, kegagalan membangun komunikasi dan koordinasi yang baik, dan ketiadaan pola baku yang
terdesentralisasi, menjadikan kebutuhan akan "ahli governance" mutlak. Ini menjadi kriteria yang harus dipertimbangkan. Dan terakhir adalah apa yang dalam ilmu Manajemen mutakhir disebut "global fluency".
Dalam "dunia yang makin datar dan mampat" ini, relasi menjadi sangat plastis, encer, dan rumit. Dibutuhkan sosok yang memiliki kualifikasi global, mendunia, menguasai kelenturan relasi ruang-waktu. Atau dengan kata lain, ia adalah sosok yang sangat mobile, memiliki dukungan fisik prima, luwes bergaul, dan paham pernak pernik dan seluk beluk bisnis, teknologi, dan hal-hal remeh temeh yang kerapkali dibidik para ahli pemasaran.

Akhirnya, jika dalam tiga lingkaran KHARISMA, GOVERNANCE, dan GLOBAL
FLUENCY ini maka irisannya jelas. Sosok yang berkharisma dalam taraf
tertentu, memiliki kemampuan manajerial yang cukup baik, dan kelenturan bertemu berbagai budaya. Di sini pentingnya mempersiapkan pribadi-pribadi unggul dengan 3 kualifikasi itu. Jam terbang di lapangan yang cukup, kepribadian yang baik, relatif muda dan prima, serta lentur-luwes. Konklaf menjadi menarik dan strategis. Apakah kerisauan para pakar juga menjadi bagian pergumulan para Kardinal? Semoga. Kita boleh saja membuat hitung-hitungan. Ada beberapa Kardinal yang layak mengisi irisan itu, misalnya Christoph Sconborn dari Austria, Angelo Scola dari Milan Italia, dan Marc Ouellet dari Quebec Kanada. Ini bukan berarti yang lain tak
berpeluang. Jika mengikuti betapa dramatis Konklaf 1958 yang memilih Angelo Roncalli dan 1978 yang memilih Karol Wojtyla, semua bisa terjadi. Kita bisa menyebut faktor pemeliharaan Roh Kudus, tapi boleh saja orang lain menyebutnya sebagai kejeniusan para pemilih itu sendiri. Intuisi menjadi penting.

Kita berdoa untuk mendapatkan yang terbaik bagi Gereja dan dunia. Bagi saya yang lebih mendesak adalah bagaimana sejak sekarang kita menyiapkan generasi yang memiliki tiga kualifikasi itu - baik klerus maupun awam.

salam

Justinus Prastowo

Powered by Telkomsel BlackBerry®

Pemilihan Paus Digelar 12 Maret 2013

Kongregasi Umum Kolegium Kardinal pada Jumat (8/3/2013) malam waktu Roma menetapkan waktu pelaksanaan konklaf (pemilihan paus baru).

Dewan Kardinal menentukan, konklaf untuk memilih pengganti Paus Benediktus XVI yang turun takhta pada 28 Februari lalu akan digelar pada Selasa (12/3/2013) mendatang.

Konklaf akan dibuka dengan misa di Basilika Santo Petrus, Selasa (12/3/2013) pagi. Sore harinya, sebanyak 115 kardinal pemilih akan berkumpul di Kapel Pauline untuk berkumpul dan berdoa.

Juru Bicara Vatikan Pastor Federico Lombardi SJ mengatakan, dari sana, sebanyak 115 kardinal pemilih akan melakukan proses pemilihan dengan meminta bimbingan Roh Kudus di Kapel Sistina.

Di Kapel Sistina ini pula, para kardinal pemilih akan mengambil keputusan untuk memilih penerus ke-265 takhta Santo Petrus.

Para kardinal juga akan bersumpah untuk melaksanakan aturan selama konklaf berlangsung, termasuk mempertahankan kesetiaan dengan menjaga kerahasian pemilihan paus.

Kardinal Angelo Sodano Dean akan bertugas membacakan rumusan sumpah. Setelah semua kardinal mengambil sumpah, Pimpinan Upacara Kepausan, Bapa Uskup Mgr Guido Marini, akan memerintahkan semua individu selain pemilih kardinal dan peserta konklaf untuk meninggalkan Kapel Sistina.

Guido akan berdiri di pintu dan mengucapkan kalimat "Omnes ekstra" untuk mempersilakan orang yang tidak berkepentingan keluar, kemudian pintu akan ditutup.

Menurut Konstitusi Apostolik, pemungutan suara dapat digelar pada sore di hari pertama. Jika di hari pertama tidak seorang pun yang terpilih, pemungutan suara akan dilanjutkan pada hari berikutnya.

Jika tidak ada hasil yang diperoleh setelah tiga hari, proses konklaf ditangguhkan, untuk berdoa, bermeditasi, dan merefleksi diri, hingga paus baru terpilih.

Dari 115 kardinal pemilih, lebih dari separuhnya berasal dari Eropa. Rinciannya, 60 kardinal berasal dari Eropa, 19 dari Amerika Latin, 14 dari Amerika Utara, 11 dari Afrika, 10 dari Asia, dan 1 dari Oseania. Rata-rata, usia para kardinal pemilih adalah 71 tahun.

Berdasarkan catatan sejarah, terdapat delapan konklaf yang digelar di abad ke-20 dan hanya tiga di antaranya berlangsung lebih dari tiga hari.

Konklaf terpanjang dalam 200 tahun terakhir terjadi pada 1830-1831. Kala itu, konklaf berlangsung selama 50 hari untuk total 83 suara yang dihasilkan dalam pemilihan Paus Gregory XVI. Sementara konklaf terpendek di abad ke-20 terjadi pada 1939. Saat itu, Eugenio Pacelli terpilih sebagai Paus Pius XII. (Kompas.com - 9 Maret 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Selasa, 05 Maret 2013

Dari "Roma locuta est", ke "ite missa est" (Prastowo Justinus)

"Ite missa est" ...itu adalah perutusan di akhir Perayaan Ekaristi yang
sering kita dengar sebagai "pergilah, kita diutus". Perayaan Ekaristi adalah sumber kehidupan bagi orang Katolik karena di dalamnya kita memperoleh inspirasi, energi, dan kebaruan. Ia adalah metafor kehidupan kristen yang penuh, pendramaan hidup itu sendiri.
Bersatu dalam kurban Kristus sebagai puncak iman Kristen, diinspirasi oleh
sabda Tuhan, dan dibarui dalam persatuan dengan 'tubuh dan darah" bersama saudara seiman dlm *communio*.

Altar adalah oase, mata air kehidupan tempat kita menimba tenaga. Dan
persis di akhir kita "diutus untuk pergi", mewartakan sukacita dan kasih
Allah kepada semua orang.
Inilah perutusan khas awam, karena dunia (*saeculum*) adalah medan
pewartaan bagi awam, ladang rohani yang menanti: disiangi, ditanami,
disiram, dipupuk dan dinanti buahnya.
Maka, kita jadi paham apa maksud kerasulan awam ketika Konsili Vatikan II menegaskan itu dalam dokumen Apostolicam Actuositatem dan Paus Yohanes Paulus II menegaskannya kembali dalam Christifideles Laici.

Metafor Gereja sebagai "misteri" memampukan kita membedakan "yang ideal" dan "yang riil", atau "yang tak kelihatan" dan "yang tampak". Kita adalah komunitas orang beriman yang kelihatan sekaligus bagian dari komunitas orang beriman yang tak tampak - dalam persatuan dengan Kristus sebagai Kepala dan para kudus di sorga. Distingsi penting yang dirintis Paus Pius IX dan menemukan formulasi brilian di Lumen Gentium dan ekspesi matang di Gaudium et Spes ini adalah bukti nyata dari teori perkembangan doktrin (*doctrine development*) yang mula-mula dikembangkan John Henri Newman - mantan Anglikan yang berpindah ke Katolik Roma, lalu dielaborasi dua Jesuit AS - John Courtney Murray,SJ dan Bernard Lonergan,SJ dan secara saintifik
mendapatkan legitimasi dari teori evolusi-teistik-metafisik Pierre Teilhard
de Chardin,SJ.

Adalah Paus Pius IX yang merintis, lalu Paus Pius XII mengeksplisitkannya
dalam menulis ensiklik yang berpengaruh Mystici Corporis Christi (Tubuh Mistik Kristus). Awalnya adalah suatu pada petang menjelang malam Natal tahun 1944 ketika Paus memberikan siaran radio, mewartakan nada optimisme bahwa fajar kehidupan baru bagi Gereja Katolik menyingsing. Usai Perang Dunia II yang melelahkan itu. Eropa tercabik. Jerman dan Italia kalah. 'Negara-negara" Katolik yang tadinya ikut merasa remuk kini menemukan harapan pada demokrasi. Catholic Action, sebuah gerakan awam di Eropa adalah kuncinya, juga tumbuhnya Kristen Demokrat yang melahirkan Charles de Gaulle dan Robert Schuman di Prancis dan puncaknya adalah John Kennedy di
AS, dan Gereja Katolik menjadi 'World-Church", menyebar ke penjuru dunia.
Tak ada alasan Gereja tak memeluk dunia, tak menjadikannya ladang tempat rahmat bekerja.

Kini, 50 Tahun Konsili Vatikan II berlalu. Hanya sayup-sayup suara terdengar, itupun seringkali sumbang. Tak banyak lagi yang paham tentang apa dan mengapa itu terjadi. Konteks historis-teologis Vatikan II praktis meredup dan hanya jatuh dalam nostalgia. KV II jadi mantra - baik bagi yang setuju maupun yang tidak. Spirit besarnya, yang jelas merupakan ilham Roh
Kudus di tengah pesimisme terhadap Angelo Roncalli, kardinal tua, tambun,
dan tak gemilang prestasinya. Ya, justru melalui Yohanes XXIII inilah
gerbang baru Gereja Katolik menapaki dunia modern dibuka. Gereja Katolik
menegaskan kembali dimensi inkarnatorisnya: jika Sabda harus menjadi daging demi keselamatan manusia, maka dunia pastilah bukan situs kutuk melainkan medan rahmat. Tak ada ada pilihan selain: "per mundum ad coelum", memeluk
dunia untuk menggapai sorga. Yohanes XXIII seringkali disebut "progresif" karena berani mengambil keputusan di luar dugaan dan alur tradisi yang selama ini ada.

Maka, kerja Roh Kudus seringkali menjadi penentu aneka pertanyaan yang muncul. Termasuk ketika Paus Benediktus XVI yang seringkali dicap
"konservatif" itu memutuskan untuk mengundurkan diri. Bahkan selama empat abad terakhir "tradisi" Katolik yang ada adalah Paus itu bertahta sampai wafat, bukan mengundurkan diri. Tapi justru keputusan Benediktus XVI di luar dugaan. Jauh dari anggapan bahwa kaum tradisionalis-konservatif akan menggenggam kuasa hingga akhir hayat, ia menanggalkannya. Untuk menjadi pendoa. Tak pernah terbayangkan bagi kepemimpinan modern di mana umumnya
kuasa dipeluk selama mungkin, direkayasa hingga bisa lestari meski penuh kepalsuan dan dusta.

Kita jadi paham, Yohanes XXIII dan Benediktus XVI berada dalam jalur yang sama. Keduanya adalah perwujudan dari karya Roh Kudus yang setia. Anomali, ketakterdugaan, bahkan ketidakmungkinan itu menjadi nyata. Keduanya menjadi teladan iman sejati: ketika sadar dirinya lemah, Yohanes XXIII merasa lemah karena sadar bukanlah siapa-siapa di hadapan kardinal lain yang lebih hebat, dan Benediktus XVI yang sadar dirinya lemah: tubuh yang menua di
tengah badai dan harapan besar terhadap Gereja. Keduanya hadir dan lahir sebagai "pencetak" tradisi baru, sekaligus merawat Tradisi lama. Bahwa
kesetiaan iman itulah yang utama, bukan kemegahan, kekuasaan, dan puja puji yang berpusat pada diri. Keduanya hendak menegaskan bahwa Kristuslah kepala, dan Roh Kuduslah pemelihara. Yohanes XXIII dan Benediktus XVI adalah "konservatif" karena menjaga kesinambungan Tradisi,sekaligus "progresif" karena membuat keputusan radikal dan mendasar.

Jika demikian halnya, dalam arus seperti ini bagaimana kita bisa menimba inspirasi? Agaknya KV II tak boleh dibiarkan menjadi fosil dan disapu angin sejarah. Bukan sebuah kebetulan jika Benediktus XVI mengundurkan diri pada 11 Februari 2013. Sejarah kelak akan mencatat, tak mustahil 50 tahun lagi peristiwa 11 Februari 2013 ini akan menjadi momen spesial yang menjadi batu penjuru bagi pembaruan. Sebagaimana kini, 50 tahun ketika KV II berlalu - semangat untuk tetap merawat warisan dan meneruskan cita-cita luhur itu tak
padam, bahkan dikobarkan kembali oleh Benediktus XVI sebagai Tahun Iman.

Dan kini, Benediktus XVI, mengikuti pendahulunya Yohanes XXIII meletakkan pondasi kokoh bagi masa depan Gereja Katolik. Kita dihentak oleh kesadaran bahwa kesementaraan ini harus terus dimaknai dalam semangat iman.

Kini saatnya seluruh umat beriman bersama para Kardinal, berjalan dalam
jejak kaki Yohanes XXIII dan Benediktus XVI, berdoa dalam semangat kesatuan
dan harapan bahwa pondasi yang diletakkan itu memampukan kita menatap masa depan dengan gemilang. Yakni semangat melibati denyut nadi dunia, berikut cacat-derita-kelemahannya. Itulah oase Perayaan Ekaristi sebagai ekspresi
iman yang penuh, yang mempersenjatai kita menuju perutusan sejati.

Mari bersekutu dalam iman dan kasih di seputar Altar Kristus, dan mari
pergi ke Pasar, tempat rahmat menemukan lahannya, kita diutus. Itulah semangat Kekatolikan, semangat pembaruan KV II dalam "membaca tanda-tanda
zaman", semangat pembaruan (*renewal*) melalui penyesuaian dengan kekinian (*aggiornamento*) dan selalu bersumber pada kekayaan Tradisi *(ressoursement*).

Kita berayun dalam pendulum: "dari Roma locuta est, causa finita est" ke
"ite missa est". Roma bicara perkara selesai, tapi kini kitalah yang diutus
mengabarkannya. Roma telah memberi contoh, marilah kita menirunya.

Kita bersyukur pada Tuhan yang telah mengirimkan Yohanes XXIII dan
Benediktus XVI bagi kita, bagi dunia, dan bagi masa depan. Melalui keduanya
kita belajar memaknai panggilan hidup dan menjadi alat-Nya.

Bukan kebetulan belaka jika Konsili Vatikan II dibuka dengan mengesahkan
Konstitusi tentang Liturgi Suci (Sacrosanctum Consilium) dan ditutup dengan
dokumen tentang kiprah Gereja di dunia dalam Kegembiraan dan Harapan
(Gaudium et Spes). Mari beriman dan berwarta tentang harapan dengan gembira!

Saya bangga menjadi Katolik, semoga demikian juga dengan Anda.

salam hangat

Prastowo Justinus - milis APIKatolik
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Senin, 04 Maret 2013

Penyuluh Agama Katolik: Dari Kumpulan yang Terbuang Kini Menjadi Pengajar Iman

Oleh: Eduardus B. Sihaloho, S.Ag*

Sampai dekade 90-an umum diketahui bahwa ada dua nama yang populer yang berkaitan dengan penyuluh yakni  Penyuluh Keluarga Berencana dan Penyuluh Pertanian. Hampir kebanyakan anggota masyarakat tahu dan kenal dengan sebutan nama tersebut. Namun beberapa tahun belakangan ini muncul beberapa jenis penyuluh. Salah satu berkaitan dengan agama yakni penyuluh agama. Untuk kalangan Katolik nama itu disebut Penyuluh Agama Katolik di bawah naungan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik (Ditjen Bimas Katolik- Kementerian Agama), yang termuat dalam Keputusan MENKOWASBANGPAN, Nomor: 54/KEP/MK.WASPAN/9/1999. Tulisan ini didasarkan pada keprihatinan bahwa kehadiran para penyuluh tersebut kurang dapat diterima di kalangan Gereja, terutama di antara para imam dan Uskup. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa para penyuluh ini rata-rata adalah bekas-bekas calon imam (frater), bekas bruder dan suster, bahkan ada yang bekas diakon dan imam. Dari informasi yang kami rekam dalam dua kali pertemuan nasional para penyuluh yang datang dari 33 provinsi di Indonesia pada tanggal 15-18 April 2010 di Bogor dan pada tanggal 7-10 Oktober 2010 di Batam situasi kurang penerimaan itulah yang sedang terjadi. Situasi tersebut membuat pelaksanaan tugas para Penyuluh Agama Katolik tidak bisa berjalan efektif, karena kurang mendapat sambutan yang baik dari para Pimpinan Gereja, padahal tugas mereka sangat membantu tugas-tugas pastoral di tengah umat.   

Dari Kumpulan “Terbuang” Kini Menjadi Pengajar Iman
              Lewat jarring informasi dan sharing pengalaman para Penyuluh Agama Katolik yang ikut dalam kedua pertemuan di atas bahwa kehadiran mereka kurang diterima di kalangan Gereja, terutama para imam dan Uskup. Memang nyata bahwa mayoritas para Penyuluh Agama Katolik tersebut adalah bekas calon imam (frater), bekas bruder dan suster, bahkan ada bekas diakon dan imam. Sangat sedikit dari antara penyuluh tadi para awam yang berasal dari tamatan pendidikan tinggi Agama Katolik. Kalau boleh dibuat persentasinya antara 90%:10%. Inilah gambarannya. Karena kebanyakan penyuluh tersebut adalah “bekas-bekas” kaum berjubah, maka kami menyebutnya “Kumpulan Terbuang”. Sebab memang terbuang dari ordo, serikat, kongregasi atau keuskupan, tempat mereka dahulu menginkardinasikan dirinya. Mereka terbuang, sebab tidak sampai pada tahap jenjang imamat, kaul kekal, atau bahkan melepaskan diri dari kolegialitas imamat. Dalam arti tertentu, para penyuluh tersebut telah mendapat cap yang tidak baik dan tidak bersih dalam komunitas umat beriman. Bahkan mereka kerapkali dituduh penghianat, dibenci, dimaki, dicueki, dikata-katai, dicemooh, disumpah serapahi, dan lain-lain, akibat dari mereka telah terbuang dari komunitas kaum berjubah.
            Apapun cap atau tuduhan juga gelar yang ditujukan kepada para bekas-bekas kaum berjubah tadi, namun situasi dan kondisi hidup mereka sekarang telah berbeda. Di kalangan Gereja mereka telah memperoleh cap atau gelar yang kurang baik, tetapi Negara saat ini telah memperlakukan dan menempatkan mereka terhormat di tengah masyarakat menjadi Pegawai Negeri Sipil. Penyuluh Agama Katolik yang berstatus PNS menerima tugas, tanggungjawab, dan wewenang yang penuh dari Negara RI untuk melakukan kegiatan bimbingan keagamaan dan penyuluhan pembangunan melalui bahasa agama. Selama ini pegawai negeri sipil yang memakai bahasa agama dalam pelaksanaan tugasnya adalah guru agama. Namun kelompok sasaran yang dituju secara spesifik adalah anak-anak didik di sekolah. Sementara kelompok sasaran penyuluh agama adalah umat beriman yang secara teritorial dan kategorial adalah wilayah domain pimpinan Gereja.
            Berdasarkan uraian tugasnya, Penyuluh Agama Katolik melakukan penyuluhan terhadap kelompok binaan: masyarakat pedesaan, masyarakat transmigrasi, masyarakat perkotaan: kompleks perumahan, real estate, asrama, daerah pemukiman baru, masyarakat pasar, masyarakat daerah rawan, karyawan instansi pemerintah/ swasta, masyarakat industri, masyarakat khusus: cendekiawan (pegawai instansi pemerintah), kelompok profesi, kampus/akademis, generasi muda (Orang Muda Katolik, Karang Taruna, Pramuka), Lembaga Pendidikan Masyarakat (komuni pertama, katekumen, sekolah minggu/bina iman anak, WKRI, seminari, postulat, novisiat), binaan khusus (Panti Rehabilitasi/ Pondok Sosial, Rumah Sakit, gelandangan/pengemis, Pekerja Seks Komersial (PSK), Lembaga Pemasyarakatan, dan masyarakat daerah terpencil dan suku terasing.
            Disinilah letak permasalahannya, bagaimana mensinkronkan keinginan pimpinan Gereja dan pelaksanaan tugas yang diembankan Negara kepada para Penyuluh Agama Katolik tersebut? Sebab apapun tuduhan yang diterima Penyuluh Agama Katolik, namum kehadiran mereka sangat membantu Gereja Katolik. Karena dengan latar belakang pendidikannya (S1) filsafat agama, teologi, kateketik, pastoral, orang-orang dari kumpulan terbuang tersebut, dengan kegiatan bimbingan keagamaan dan penyuluhan pembangunan melalui bahasa agama, sekarang telah diposisikan menjadi Pengajar Iman. Tugasnya sangat membantu pengembangan dan pembangunan Gereja, tetapi secara finansial Gereja tidak mengeluarkan dana untuk tugas yang dilaksanakan Penyuluh Agama Katolik. Maka saat ini kami melihat dan berharap bahwa para pimpinan Gereja di seluruh Nusantara mesti membuka mata dan merangkul Penyuluh Agama Katolik demi pengembangan pembinaan iman kita, sekaligus memberdayakan secara maksimal tugas dan peran Penyuluh Agama Katolik yang notabene PNS untuk pelaksanaan berbagai pembinaan di lingkungan Gereja. Di pihak lain, para Penyuluh Agama Katolik harus bersikap rendah hati untuk tetap taat dan mendekatkan diri kepada pimpinan Gereja dimana dia ditugaskan. Itulah kami pikir spiritualitas kasih dan ketaatan yang senantiasa kita bangun sebagaimana diwartakan dan dihidupi Yesus Kristus sebagai Teladan Hidup Beriman kita. Artinya, pimpinan Gereja bersedia merangkul para Penyuluh Agama Katolik, demikian juga sebaliknya para Penyuluh Agama Katolik mau mendekatkan diri sekaligus taat pada gembalanya.
              
Seratus Persen Katolik, Seratus Persen Indonesia
            Posisi Penyuluh Agama Katolik boleh dikatakan sebagai jembatan – yang menghubungkan dan menyatukan antara Gereja dan Negara. Kami berpendapat bahwa posisi tersebut bisa diberdayakan secara maksimal untuk mewujudnyatakan apa yang pernah dikatakan oleh Mgr. Albertus Soegiopranata, SJ,: “Seratus Persen Katolik, Seratus Persen Warga Negara Indonesia”.
            Kalau Injil mengatakan bahwa tidak bisa seseorang mengabdi kepada tuan, tetapi kenyataannya posisi Penyuluh Agama Katolik membuktikan bahwa mereka harus mengabdi pada dua tuan: Gereja dan Negara. Kami pikir bahwa dalam posisi itulah peranan dan tugas Penyuluh Agama Katolik mesti dipertegas dan dikembangkan, agar mereka tidak melulu menyampaikan tugas dan program Negara, tetapi juga harus memperhatikan situasi Gereja dan terutama bagaimana pengembangan iman mesti dilestarikan. Dengan demikian tugas dan tanggungjawab Penyuluh Agama Katolik bisa sinkron, karena berada di wilayah domain yang berbeda. Artinya, adagium kita: Seratus Persen Katolik, Seratus Persen Warga Negara, bisa diwujudnyatakan. Jabatan Fungsioanal Penyuluh Agama Katolik berbeda dengan pejabat dan pegawai kantor dan guru agama yang selama ini berada pada naungan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik – Kementerian Agama. Dua posisi di atas amat sangat sedikit interaksi, pertemuan, komunikasi, pergesekannya dengan pihak Gereja. Padahal Penyuluh Agama Katolik justru di dua wilayah (Gereja dan Negara) itulah harus memainkan peran dan tugasnya dengan baik.    


*Penulis adalah seorang Penyuluh Agama Katolik pada Kantor Kementerian Agama Kota Tanjungbalai-Asahan – Sumatera Utara. Email: eduardusihaloho@gmail.com