Salam Damai Kristus,

Sebuah kontribusi para mantan frater, pastor, suster, bruder, dll bagi pembangunan kehidupan bersama yang lebih baik. Kirimkan artikel apa saja yang mau ditampilkan pada blog ini ke email: mantan.frater09@gmail.com Atas kunjungannya, terima kasih.

Minggu, 21 April 2013

Pesan  Bapa Suci untuk Hari Komsos Sedunia ke-47 12 Mei 2013: Jejaring Sosial: Pintu  kepada Kebenaran dan Iman, Ruang Baru untuk Evangelisasi

Pesan  Bapa Suci untuk Hari Komsos Sedunia ke-47 - 12 Mei 2013

Jejaring Sosial: Pintu  kepada Kebenaran dan Iman, Ruang Baru untuk Evangelisasi


Menjelang Hari Komunikasi Sosial Sedunia tahun 2013 ,saya ingin menyampaikan beberapa permenungan mengenai suatu kenyataan  yang  semakin penting tentang cara  manusia sezaman berkomunikasi di antara mereka. Saya ingin mencermati perkembangan jejaring sosial digital yang membantu menciptakan "agora" baru, suatu alun-alun publik tempat manusia berbagi gagasan, informasi dan pendapat, dan yang dalamnya  relasi-relasi dan bentuk-bentuk komunitas baru dapat terwujud.

Ruang-ruang tersebut - bila dimanfaatkan secara  bijak dan berimbang- membantu memajukan berbagai bentuk dialog dan debat yang, bila dilakukan dengan penuh hormat dan memerhatikan privasi, bertanggungjawab dan jujur, dapat memperkuat ikatan kesatuan di antara individu-individu dan memajukan kerukunan keluarga manusiawi secara berdaya-guna. Pertukaran informasi dapat menjadi komunikasi yang benar, relasi-relasi dapat mematangkan pertemanan, koneksi-koneksi dapat mempermudah  persekutuan.  Bila jejaring sosia terpanggil untuk mewujudkan potensi besar ini, orang-orang yang  terlibat di dalamnya harus berupaya menjadi otentik , karena di dalam ruang itu,  orang tidak hanya berbagi gagasan dan informasi, tetapi pada akhirnya orang mengkomunikasikan dirinya sendiri.
Perkembangan jejaring sosial menuntut komitmen:  orang melibatkan diri di dalamnya untuk membangun relasi dan menjalin persahabatan, mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dan  mencari hiburan, tetapi juga dalam menemukan dorongan intelektual serta berbagi pengetahuan dan keterampilan. Jejaring sosial semakin menjadi bagian dari tatanan masyarakat sejauh menyatukan orang dengan berpijak pada kebutuhan dasar. Jejaring sosial dengan demikian terpelihara oleh aspirasi yang  tertanam dalam hati manusia.
Budaya jejaring sosial dan perubahan dalam sarana  dan gaya berkomunikasi membawa tantangan bagi mereka yang ingin berbicara tentang kebenaran dan nilai. Seringkali, sama halnya dengan sarana-sarana komunikasi sosial yang lain, makna dan efektifitas berbagai bentuk ekspresi nampaknya lebih ditentukan oleh popularitasnya ketimbang kepentingan hakiki dan nilainya. Pada gilirannya, popularitas seringkali lebih melekat pada ketenaran ataupun strategi persuasi  daripada  logika argumentasi. Kadangkala suara lembut dari pikiran dikalahkan oleh membludaknya informasi yang berlebihan dan gagal menarik perhatian pada apa yang disampaikan kepada orang yang mengungkapkan diri secara lebih persuasif. Dengan demikian, media sosial membutuhkan  komitmen dari semua orang yang menyadari nilai dialog, debat rasional dan argumentasi logis dari orang-orang yang berusaha keras membudidayakan bentuk-bentuk wacana dan pengungkapan  yang menggerakkan aspirasi luhur dari orang-orang yang terlibat dalam proses komunikasi. Dialog dan debat dapat juga berkembang dan bertumbuh ketika kita berbicara  dengan dan sungguh-sungguh  menghargai orang-orang yang gagasan-gagasannya berbeda dengan  kita. "Mengingat kenyataan keragaman budaya, perlulah memastikan bahwa  manusia  bukan saja mengakui keberadaan budaya orang lain tetapi juga bercita-cita diperkaya olehnya dan menghargai segala yang baik, benar dan indah"( Pidato pada Pertemuan dengan Dunia Budaya, Belem, Lisabon, 12 Mei 2010).

Tantangan yang dihadapi oleh jejaring sosial adalah bagaimana benar-benar menjadi inklusif: dengan demikian mereka memperoleh manfaat dari peran serta  penuh dari orang-orang beriman yang ingin berbagi amanat Yesus dan nilai martabat manusia yang dikemukakan melalui pengajaran-Nya. Kaum beriman semakin menyadari bahwa  kalau Kabar Baik tidak diperkenalkan juga di dalam dunia digital, ia akan hilang dalam pengalaman banyak orang yang menganggap ruang eksistensial ini penting. Lingkungan digital bukanlah sebuah dunia paralel  atau murni virtual, tetapi merupakan bagian dari pengalaman keseharian banyak orang teristimewa kaum muda. Jejaring sosial adalah hasil  interaksi manusia akan tetapi pada gilirannya, ia memberikan bentuk baru terhadap dinamika komunikasi yang membangun relasi: oleh karena itu pemahaman yang mendalam tentang lingkungan ini merupakan prasyarat untuk suatu kehadiran yang bermakna.
Kemampuan untuk menggunakan bahasa baru dituntut,  bukan terutama untuk menyesuaikan diri dengan gaya hidup sezaman, tetapi justru untuk memampukan kekayaan tak terbatas dari Injil menemukan bentuk-bentuk pengungkapan yang mampu menjangkau pikiran dan hati semua orang.  Di dalam lingkungan digital, perkataan tertulis sering disertai dengan gambar dan suara. Komunikasi yang efektif seperti yang terungkap dalam perumpamaan Yesus memerlukan pelibatan imaginasi dan kepekaan emosional  mereka yang ingin kita ajak untuk berjumpa dengan misteri kasih Allah.  Disamping itu kita mengetahui bahwa tradisi Kristiani selalu kaya akan tanda dan simbol: Saya berpikir, misalnya, salib, ikon, Patung Perawan Maria, kandang natal, jendela kaca berwarna-warni dan lukisan-lukisan di dalam gereja kita. Suatu bagian bernilai dari khazanah artistik umat manusia telah diciptakan oleh para seniman  dan musisi yang berupaya untuk mengungkapkan kebenaran iman.
Dalam jejaring sosial,  orang beriman menunjukkan kesejatiannya dengan berbagi sumber terdalam dari harapan dan kegembiraan mereka: iman kepada Allah pengasih dan penyayang yang terungkap dalam Kristus Yesus.  Wujud berbagi ini tidak hanya terdiri dari ungkapan iman yang eksplisit, tetapi juga dalam kesaksian mereka, dalam cara  mereka mengkomnikasikan "pilihan, preferensi, penilaian yang sungguh sesuai dengan Injil, bahkan bila tidak disampaikan secara ekspisit" (Pesan untuk Hari Komunikasi Sedunia 2011).

Suatu cara yang secara khusus bermakna dengan memberikan kesaksian  serupa terjadi melalui kerelaan untuk mengorbankan diri kepada orang lain seraya menanggapi pertanyaan dan keraguan  mereka dengan sabar dan penuh hormat tatkala mereka mencari  kebenaran dan makna eksistensi manusia. Dialog yang berkembang dalam jejaring sosial tentang iman dan kepercayaan menegaskan penting dan relevannya agama di dalam debat publik dan dalam kehidupan masyarakat. Bagi mereka yang telah menerima  karunia iman dengan hati yang terbuka, jawaban yang paling radikal akan pertanyaan manusia tentang kasih, kebenaran dan makna hidup- pertanyaan - pertanyan serupa yang tentu tidak absen dari jejaring sosial - ditemukan dalam pribadi Yesus Kristus. Wajar  bahwa mereka yang memiliki iman  ingin berbagi dengan orang yang mereka jumpai dalam forum digital dengan rasa hormat dan bijaksana. Namun pada akhirnya, jika upaya kita untuk berbagi Injil menghasilkan buah yang baik,  hal itu selalu dikarenakan oleh kekuatan sabda Allah itu sendiri yang menyentuh hati banyak orang mendahului segala usaha dari pihak kita. Percaya pada kekuatan karya Allah harus selalu lebih besar daripada kerpecayaan apa saja yang kita letakan pada  sarana-sarana manusia.  Dalam ruang lingkup digital, juga, dimana suara yang tajam dan memecahbelah dibesar-besarkan  dan  dimana sensasionalisme menang,  kita diundang untuk berlaku arif, penuh kehati-hatian. Dalam hal ini hendaklah kita ingat bahwa Eliyah mengenal suara Allah tidak dalam angin yang besar dan kuat, tidak melalui gempa bumi dan api tetapi dalam hembusan angin  sepoi-sepoi" (1 Raj 19:11-12).

Kita perlu percaya bahwa  kerinduan mendasar manusia untuk mengasihi dan dikasihi  dan untuk menemukan makna dan kebenaran -sebuah kerinduan yang Allah sendiri tanamkan dalam hati setiap laki-laki dan perempuan-  menetap di zaman kita ini,   selalu dan setidak-tidaknya terbuka kepada apa yang Beato Kardinal Newmann sebut ' cahaya ramah' dari iman.
Jejaring sosial, dengan menjadi sarana  Evangelisasi dapat juga menjadi faktor dalam pembangunan manusia. Sebagai contoh, dalam konteks geografis dan budaya dimana orang Kristiani merasa terisolasi,  jejaring sosial dapat memperkuat  rasa kesatuan nyata dengan komunitas kaum beriman di seluruh dunia. Jejaring sosial mempermudah orang berbagi sumber-sumber rohani dan liturgi, menolong orang untuk berdoa dengan perasaan kedekatan  bersama mereka yang mengaku iman yang sama. Suatu keterlibatan yang sejati dan interaktif dengan pertanyaan dan keraguan dari mereka yang berada  jauh dari iman seharusnya membuat kita merasa perlu untuk memelihara iman kita  melalui doa dan permenungan, iman akan Allah serta amal kasih kita: " Walaupun saya berbicara dengan bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi apabila aku tidak mempunyai kasih, aku adalah gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing". (1 Kor 13:1)

Di dalam dunia digital terdapat jejaring-jejaring sosial yang memberikan peluang-peluang sezaman untuk berdoa, meditasi, dan berbagi firman Allah. Akan tetapi jejaring sosial itu dapat juga membuka pintu terhadap dimensi lain dari iman. Banyak orang benar-benar menemukan, tepatnya berkat kontak awalnya di internet, pentingnya pertemuan langsung, pengalaman komunitas-komunitas dan  bahkan peziarahan, unsur-unsur yang  senantiasa penting dalam perjalanan iman. Dalam upaya untuk membuat Injil hadir dalam dunia digital, kita dapat mengundang orang untuk datang bersama-sama untuk berdoa dan perayaan liturgi di tempat-tempat tertentu seperti gereja dan kapel. Seharusnya tidak  kekurang kobersamaan atau kesatuan dalam pengungkapan iman kita dan dalam memberikan kesaksian tentang Injil di dalam realitas apa saja dimana kita hidup entah itu fisik atau digital. Kita  kita berada bersama orang lain, selalu dan dengan cara apapun, kita dipanggil untuk memperkenalkan kasih Allah hingga ujung  bumi.
Saya berdoa agar Roh Allah mendampingi dan senantiasa menerangi kamu, dan dengan seggenap hati saya memberkati kamu sekalian, agar kamu benar-benar mampu menjadi bentara-bentara  dan saksi-saksi Injil." Pergilah ke seluruh dunia, beritakan Injil kepada segala mahkluk" (Mrk 16:15)

Vatikan, 24 Januari 2013
Pesta Santo Frasiskus de Sales
BENEDICTUS XVI

Powered by Telkomsel BlackBerry®

Kamis, 18 April 2013

Katekese Paus Fransiskus tentang Kenaikan Yesus dalam Audiensi 17 April

Melanjutkan Katekese tentang Credo/Aku Percaya di dalam Tahun Iman yang dicanangkan oleh Benediktus XVI, Paus Fransiskus pada Audiensi Umum tanggal 17 April telah mengomentari pengukuhan bahwa Yesus "naik ke Surga dan duduk di sebelah Kanan
Allah Bapa", mengikuti Injil dari Santo Lukas dan berulang kali ia menyatakan
sebuah tema yang amat disukai oleh Benediktus XVI – bahwa peristiwa Yesus naik ke Surga bukan hanya suatu simbol belaka, tetapi sebuah FAKTA yang sungguh-sungguh terjadi di dalam sejarah dan yang mana para Rasul merupakan saksi-saksi langsung dari peristiwa itu.

WEJANGAN PAUS FRANSISKUS DALAM AUDIENSI UMUM - 17 April 2013
 
Saudara dan saudari terkasih,

Dalam Syahadat, kita menemukan penegasan bahwa Yesus "naik ke surga dan duduk di sebelah kanan Bapa". Kehidupan duniawi Yesus memuncak dalam peristiwa Kenaikan, yaitu ketika Ia berlalu dari dunia ini kepada Bapa, dan diangkat ke sisi kanan-Nya.

Apa pentingnya peristiwa ini? Apa konsekuensinya bagi hidup kita? Apa artinya merenungkan Yesus duduk di sebelah kanan Bapa? Marilah kita dipandu oleh Penginjil Lukas.
 
 
Kita mulai dari saat Yesus memutuskan
untuk memulai peziarahan-Nya yang terakhir ke Yerusalem. Santo Lukas mencatat: "Ketika hampir genap waktunya Yesus diangkat ke sorga, Ia mengarahkan pandangan-Nya untuk pergi ke Yerusalem" (Luk 9:51).

Sementara ia "naik" ke Kota Suci, di mana "keluaran"-Nya dari kehidupan ini akan tercapai, Yesus sudah melihat tujuan, Surga, tapi Ia tahu bahwa jalan yang membawa-Nya kembali kepada kemuliaan Allah melalui Salib, melalui ketaatan terhadap rencana kasih ilahi
bagi umat manusia. Katekismus Gereja Katolik menyatakan bahwa "peninggian Yesus pada kayu salib menandakan dan memaklumkan peninggian-Nya oleh kenaikan-Nya
ke surga, dan itulah permulaannya" (no. 662).

Kita juga harus jelas dalam kehidupan Kristiani kita, karena untuk masuk ke dalam kemuliaan Allah membutuhkan
kesetiaan setiap hari terhadap kehendak-Nya, bahkan ketika kesetiaan itu membutuhkan pengorbanan, ketika pada saat-saat tertentu kesetiaan itu mengharuskan kita untuk mengubah rencana kita. Kenaikan Yesus benar-benar terjadi di Bukit Zaitun, dekat tempat di mana Ia telah mengundurkan diri dalam doa sebelum sengsara-Nya untuk berada
dalam persatuan yang mendalam dengan Allah Bapa; sekali lagi kita melihat bahwa doa memberi kita kasih karunia untuk hidup dengan setia terhadap rancangan Allah.

Pada akhir Injilnya, Santo Lukas menceritakan Kenaikan dalam cara yang sangat dibuat-buat. Yesus membawa murid-murid "[ke luar kota] sampai dekat Betania. Di situ Ia
mengangkat tangan-Nya dan memberkati mereka. Dan ketika Ia sedang memberkati mereka, Ia berpisah dari mereka dan terangkat ke surga. Mereka sujud menyembah
kepada-Nya, lalu mereka pulang ke Yerusalem dengan sangat bersukacita. Mereka senantiasa berada di dalam Bait Allah dan memuliakan Allah"(24:50-53).

Saya ingin mencatat dua unsur dari perikop tersebut. Pertama, selama Kenaikan tersebut Yesus menggenapi gerakan berkat imamat dan tentu saja para murid mengungkapkan iman mereka dengan sujud, mereka berlutut dan menundukkan kepala mereka. Ini adalah pokok penting yang pertama: Yesus adalah Imam tunggal dan abadi, yang dengan melewati kematian dan kubur-Nya serta bangkit kembali dan
naik ke surga; Ia bersama Allah Bapa, di mana Ia selalu menjadi pengantara dalam kepentingan kita (bdk. Ibr 9:24). Seperti dituliskan oleh Santo Yohanes dalam suratnya yang pertama, Dia adalah pembela kita, Pembela kita bersama Bapa (bdk. 2:1-2).
 
Sangat menyenangkan mendengar hal ini. Hal pertama yang kita
lakukan ketika kita dipanggil oleh hakim atau dipanggil ke pengadilan, hal pertama yang kita lakukan adalah mencari pengacara untuk membela kita. Kitamemiliki Dia selalu membela kita. Dia membela kita dari akal busuk Iblis, Ia membela kita dari diri kita sendiri, dari dosa-dosa kita. Tetapi, saudara dan saudari terkasih, kita memiliki pembela tersebut. Kita tidak harus takut untuk berbalik kepada-Nya, untuk berbalik kepada-Nya dengan ketakutan kita, untuk
meminta berkat dan kerahiman-Nya. Ia selalu mengampuni kita, Iia adalah pembela kita, Ia selalu membela kita. Kita tidak boleh melupakan hal ini.

Kenaikan Tuhan Yesus ke surga kemudian mengungkapkan kepada kita kenyataan yang begitu menghibur bagi perjalanan kita: dalam Kristus, Allah sejati dan manusia sejati,
kemanusiaan kita dibawa kepada Allah; Ia telah membuka lintasan itu untuk kita, Ia seperti seorang pemimpin di hulu tali ketika Anda mendaki gunung, yang telah mencapai puncak dan menarik kita kepada-Nya menuntun kita kepada Allah. Jika kita mempercayakan hidup kita kepada-Nya, jika kita membiarkan diri dibimbing oleh-Nya kita yakin berada dalam tangan yang aman. Di tangan Penyelamat kita, pembela kita.
 
Unsur kedua: Santo Lukas menyebutkan bahwa para rasul, setelah melihat Yesus naik ke surga, kembali ke Yerusalem "dengan
sukacita". Hal ini tampaknya sedikit aneh. Biasanya ketika kita terpisah
dari keluarga kita, teman-teman kita, dalam sebuah keterpisahan terakhir, terutama sekali karena kematian, kita secara alami sedih, karena kita tidak lagi akan melihat wajah mereka, atau mendengar suara mereka, kita tidak akan lagi bisa menikmati kasih sayang mereka, kehadiran mereka.

Sebaliknya, Penginjil menekankan sukacita mendalam dari para Rasul. Bagaimana bisa? Karena, dengan mata iman, mereka memahami bahwa
meskipun diambil dari mata mereka, Yesus tetap bersama mereka selamanya, Ia tidak meninggalkan mereka, dan dalam kemuliaan Bapa, mendukung mereka, membimbing mereka dan menjadi perantara bagi mereka.

Santo Lukas menceritakan fakta Kenaikan pada awal Kisah Para Rasul, untuk menekankan bahwa peristiwa ini adalah seperti cincin yang melibatkan dan menghubungkan kehidupan Yesus dengan kehidupan Gereja.

Di sini Santo Lukas juga menyebutkan awan yang membawa Yesus keluar dari
pandangan para murid, yang tetap menatap Kristus naik kepada Allah (bdk. Kis 1:9-10).

Kemudian dua orang berjubah putih datang di tengah-tengah, mendesak mereka untuk jangan tetap melihat ke langit, tetapi untuk memelihara hidup mereka dan kesaksian mereka dari kepastian bahwa Yesus akan datang kembali dengan cara yang sama seperti mereka melihat Dia naik ke surga (Kis 1:10-11).

Ini merupakan sebuah undangan untuk mengawali dari permenungan ke-Tuhan-an Yesus, untuk menerima dari-Nya kekuatan untuk membawa dan menjadi saksi Injil dalam kehidupan sehari-hari: permenungan dan tindakan, ora et labora yang diajarkan Santo Benediktus, keduanya diperlukan dalam hidup kita sebagai orang Kristiani.
 
Saudaradan saudari terkasih, Kenaikan tidak menunjukkan ketiadaanYesus, tetapi mengatakan kepada kita bahwa Ia hidup di antara kita dengan cara baru; Ia tidak lagi berada di tempat tertentu di dunia sepertiIa berada sebelum Kenaikan;Ia sekarang berada dalam keilahianAllah, hadir dalam semua ruang dan waktu, di samping kita masing-masing. Kita tidak pernah sendirian dalam hidup kita: Kita memiliki pembela yang menunggu kita tersebut, kita tidak pernah sendirian, Tuhan yang disalibkan dan bangkit menuntun kita, dan bersama kita ada banyak saudara dan saudari yang
dalam keheningan dan ketidakterkenalan, dalam hidup dan karya keluarga mereka, dalam
masalah dan kesulitan mereka, sukacita dan harapan mereka, menghayati iman mereka setiap hari dan, bersama-sama dengan kita, membawa ke dunia ke kasih ilahi Allah.
 
Saya memberikan sambutan ramah bagi para anggota Konferensi Waligereja Inggris dan Wales, dan saya meyakinkan mereka akan doa-doa saya bagi pelayanan episkopal mereka. Saya juga menyambut para imam dari Institut Pendidikan Teologi Lanjut pada Pontifical North American College. Kepada semua pengunjung berbahasa Inggris yang hadir pada Audiensi
hari ini, termasuk mereka yang berasal dari Inggris, Denmark, Swedia, Australia, India, Singapura, Sri Lanka, Filipina, Kanada dan Amerika Serikat, saya memohonkan sukacita dan damai dari Tuhan yang Bangkit.
 
(Sumber: http://katekesekatolik.blogspot.it)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Minggu, 07 April 2013

Paus Fransiskus: Iman tidak bisa dinegosiasikan; Gereja Kita adalah Gereja Martir

Oleh:
Shirley Hadisandjaja

6 April 2013.

Memberikan kesaksian keterpaduan iman dengan berani: adalah sebuah ajakan dari Paus Fransiskus selama Misa yang dipimpinnya di Kapel Casa Santa Marta.

Dalam homilinya yang singkat, Paus mengomentari bacaan-bacaan Alkitab pada hari Sabtu masa Oktaf Paskah: yang pertama merujuk kepada Petrus dan Yohanes yang memberikan kesaksian iman dengan berani di hadapan para imam kepala Yahudi
meskipun menghadapi ancaman-ancaman, kemudian dalam bacaan Injil, Yesus yang Bangkit menegur para rasul yang tidak mempercayai banyak orang yang telah meyakini melihatNya hidup.  

Sri Paus bertanya: "Bagaimana dengan iman kita sendiri? Kuatkah? Atau kerap kali seperti air mawar yang keruh?". Ketika kesulitan-kesulitan hidup datang "apakah kita berani seperti Petrus atau merasa segan?". Paus mengamati bahwa Petrus tidak kehilangan iman, ia tidak jatuh kepada kompromi-kompromi, karena "iman
tidak bisa dinegosiasikan". Paus juga meyakini bahwa "dalam sejarah umat Allah, telah ada pencobaan ini: menyurutkan iman sebagian, pencobaan menjadi sedikit 'seperti
yang dilakukan semua orang', yaitu 'tidak menjadi sangat, sangat tegar".

Tetapi saat kita mulai menyurutkan iman, mulai mengkompromi iman, sedikit menjualnya kepada penawar tertinggi – kata Paus menggarisbawahi – maka kita memulai jalan apostasi, yaitu jalan ketidaksetiaan kepada Tuhan".

 "Contoh iman dari Petrus dan Yohanes membantu kita, memberikan kita kekuatan, tetapi, dalam sejarah Gereja ada banyak martir sampai sekarang, karena untuk menemukan martir-martir tidak perlu mengunjungi kuburan atau ke Koloseum: martir-martir hidup saat ini, di banyak Negara. Umat Kristen– kata Paus – mengalami penganiayaan atas iman mereka. Di beberapa Negara banyak dari mereka tidak boleh membawa salib: mereka dihukum apabila melakukannya. Saat ini, pada abad XXI, Gereja kita merupakan Gereja para martir,  yaitu orang-orang yang berbicara seperti Petrus dan Yohanes: "Kami tidak dapat berdiam terhadap apa yang telah kami saksikan dan dengarkan". Paus melanjutkan, "Dan hal ini memberikan kekuatan kepada kita, yang kerap kali memiliki iman yang agak lemah.  Memberikan kita kekuatan untuk bersaksi dengan
hidup, iman yang telah kita terima, yang merupakan rahmat dari Tuhan kepada semua bangsa".

Sri Paus kemudian menutup homilinya: "Tetapi, kita tidak dapat melakukannya sendiri: itu adalah sebuah rahmat. Yaitu rahmat iman, yang harus kita mohon setiap hari:  'Tuhan …
peliharalah imanku, tambahlah imanku, agar selalu kuat, pemberani, dan bantulah aku di dalam saat-saat di mana – seperti Petrus dan Yohanes – aku harus memberikan kesaksian iman di hadapan banyak orang. Berikanlah aku keberanian'. Ini akan menjadi sebuah doa yang indah pada hari ini: semoga Tuhan membantu kita untuk memelihara iman, membawanya maju, dan untuk menjadi, kita, wanita dan pria yang beriman. Amin".

(Sumber: Radio Vatikan)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Kamis, 04 April 2013

MGR SUHARYO MINTA UMAT KATOLIK UNTUK PERBAIKI KECENDERUNGAN JELEK DALAM MASYARAKAT

Uskup Agung Jakarta Mgr Ignatius Suharyo mengajak umat Katolik untuk
menjadi manusia-manusia Paskah, yang berarti "mengambil bagian atau ikut berperan dalammemperbaiki 'arus berlawanan' di tengah kecenderungan jelek yang berkembang di tengah-tengah masyarakat."

Permintaan itu diungkapkan oleh Mgr Suharyo di hadapan puluhan jurnalis
dalam acara konferensi pers tentang Pesan Paskah di pelataran Wisma
Keuskupan, Katedral Jakarta, tanggal 31 Maret 2013, seusai memimpin Misa
Paskah.

Di tengah suasana di mana kekerasan semakin merebak, Mgr Suharyo berharap agar umat Katolik menghadirkan arus kesetiakawanan,
"sehingga keadaan damai bisa tercipta di tengah masyarakat," dan agar
umat Katolik "mengalirkan arus kebaikan bersama di tengah derasnya arus kecenderungan buruk di tengah masyarakat."

Kekerasan yang semakin menjamur di berbagai wilayah negara Indonesia, kata Uskup Agung Jakarta yang juga Administrator Apostolik Keuskupan Bandung itu, "menandakan bahwa martabat manusia semakin dilecehkan, kebaikan bersama semakin diabaikan, kepentingan kelompok menggilas kepentingan umum."

Selanjutnya Ketua Konferensi Waligereja Indonesia itu mengajak umat Katolik yang merayakan Paskah agar melakukan kebaikan bersama menjadi keseharian hidup mereka. "Jika berpikir melakukan sesuatu di level nasional terlalu berlebihan, mulailah melakukan hal yang paling
sederhana di tingkat RT, RW dan kampung-kampung. Inilah wujud menjadi manusia Paskah pada zaman ini," kata Mgr Suharyo.

Menjawab pertanyaan seorang wartawan media cetak dari Surabaya tentang fenomena kekerasan yang semakin merajalela, Mgr Suharyo menjelaskan bahwa sedikitnya ada tiga faktor yang memicu kekerasan di berbagai tempat yakni pendidikan, aliran fundamentalis agama dan masalah kesenjangan ekonomi.

Dijelaskan bahwa begitu banyak hal yang terkait di balik kekacauan yang terjadi di tengah masyarakat. "Yang paling penting dari semua itu adalah penegakan hukum bagi yang melanggar hukum, karena sepanjang pelanggar hukum atau undang-undang tidak diberikan sanksi
semestinya, maka dipastikan kekerasan akan terus dilakukan oleh
oknum-oknum tertentu," tegas mantan Uskup Agung Semarang itu.

Mgr Suharyo juga menyampaikan terima kasih kepada para jurnalis yang
mewartakan pesan Paskah kepada seluruh umat Katolik. "Saya berterima
kasih karena tugas Anda ikut mengembangkan budaya damai dengan melakukan tugas peliputan Paskah," ungkap Mgr Suharyo.

Sebelumnya pada pukul 09.00 WIB, Mgr Suharyo memimpin Misa Paskah meriah di Katedral Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga, Jakarta, didampingi Vikaris Jenderal Pastor Yohanes Subagyo Pr, Sekretaris Keuskupan Pastor Yohanes Purbo Tamtomo Pr, Kepala Paroki Katedral Pastor Stephanus Bratakartana SJ, dan Pastor Rekan Katedral Pastor Antonio Antoro Pr.

Dalam kotbahnya Uskup menceritakan sosok manusia Paskah seperti Ibu Teresa dari Calcuta. "Walaupun pernah mengalami kegelapan spiritualitas, toh
sosok ini menjadi panutan bagi umat Katolik, melakukan kebaikan dengan
mengembangkan cara-cara yang semakin kreatif." ***

Sumber: Pen@ Indonesia.

Powered by Telkomsel BlackBerry®

Senin, 01 April 2013

Hari Minggu di Vatikan (Trias Kuncahyono)

Trias Kuncahyono

Dengan suara penuh perasaan, pertanyaan itu disampaikan kepada sekitar 250.000 orang yang berkumpul di Lapangan Santo Petrus, Vatikan, hari Minggu (31/3). Sebenarnya, ketika disiarkan oleh televisi jaringan internasional, oleh radio, kantor berita, dan jejaring media sosial lainnya, pertanyaan itu tersebar ke seluruh dunia, didengar, dibaca oleh begitu banyak orang.

"Berapa banyak darah lagi yang harus ditumpahkan sampai akhirnya solusi politik dapat dicapai? Dan, seberapa berat lagi penderitaan harus disandang sampai solusi politik terhadap krisis itu ditemukan?"

Dua pertanyaan itu dikemukakan Paus Fransiskus dalam pesan Paskah-nya ketika menyinggung soal krisis Suriah. Namun, siapa yang bisa menjawab pertanyaan Fransiskus itu? PBB tak berdaya. Usaha Dewan Keamanan PBB untuk menjatuhkan sanksi dihadang veto Rusia dan China. Dua utusan khusus PBB urusan Suriah—Kofi Annan dan Lakhdar Braihimi—tak berdaya pula menghadapi kokohnya sikap Presiden Bashar al-Assad.

Liga Arab—Suriah salah satu negara anggotanya—yang sudah menskors Suriah dan bahkan mendukung kelompok oposisi bersenjata, juga tak mampu menghentikan pertumpahan darah. Langkah Liga Arab bahkan dihadang Rusia dan Iran, dianggap terlalu tergesa-gesa mengakui kelompok oposisi.

AS dan NATO pun setengah-setengah mendukung Turki memperkuat diri untuk menghadapi kemungkinan rudal Suriah nyasar dan menangani pengungsi. Seruan agar Assad turun sudah banyak dilakukan berbagai pihak. Namun, mana ada seorang penguasa disuruh mundur begitu saja.

Ketika masyarakat dunia masih sibuk berdiskusi, berdebat, dan bersidang, jumlah korban tewas terus bertambah. Pada akhir 2011 (perang saudara pecah bulan Maret 2011), jumlah korban tewas "baru" 4.000 orang. Akan tetapi, saat ini, setelah 25 bulan, korban tewas sudah mencapai 70.000 orang. Sementara ribuan orang lainnya mengungsi, kehilangan tempat tinggal, dan tercerai-berai.

Lalu, apa arti seruan Paus Fransiskus itu kalau teriakan dan ancaman negara-negara yang punya kuasa dan kekuatan pun tidak diambil pusing? Paus sebagai pemimpin agama berkewajiban untuk terus mengingatkan betapa penting perdamaian itu.

Ia memiliki tanggung jawab bagi ditegakkannya keadilan dan menentang segala bentuk upaya kesewenang-wenangan kekuasaan. Ia punya peran agar kebenaran tidak diabaikan, pembelaan akan kemanusiaan tidak dilalaikan—karena itu mengingatkan betapa banyaknya pengungsi yang membutuhkan bantuan—dalam percaturan politik sehingga segala bentuk anarki dan tirani disingkirkan, termasuk anarki dan tirani kekuasaan.

Baginya, perdamaian bukanlah sekadar berarti tiadanya konflik bersenjata, melainkan terciptanya situasi saat akhirnya kebenaran akan kemanusiaan sejati dihargai dan diwujudkan. Itulah sebabnya ia menyerukan "ubahlah kebencian menjadi cinta, balas dendam menjadi pengampunan, perang menjadi damai". Apakah mereka yang bertikai, bermusuhan, mendengarkan semua itu? Hanya mereka yang tahu.

(Kompas cetak, 2 April 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®