Salam Damai Kristus,

Sebuah kontribusi para mantan frater, pastor, suster, bruder, dll bagi pembangunan kehidupan bersama yang lebih baik. Kirimkan artikel apa saja yang mau ditampilkan pada blog ini ke email: mantan.frater09@gmail.com Atas kunjungannya, terima kasih.

Selasa, 25 Agustus 2015

SINODE KELUARGA DI ROMA 2015 SUDAH DIAMBANG PINTU (RP A. Sujoko MSC)

Tanggal 6 November 2014 saya pernah memposting "Keluhan Kardinal Manila Louis Tagle bahwa Pembahasan Persiapan Sinode Keluarga di Roma tidak "fair", tidak adil, tidak seimbang dan tidak representatif terhadap persoalan yang dihadiapi keluarga di dunia, khususnya di daerah Asia. Tema-tema yang dibahas hanya menyangkut seksualitas tentang perkawinan sejenis atau tidak sejenis; tentang sakramentalitas keluarga katolik yang telah bercerai dan nikah lagi bisa sambut atau tidak. Padahal masalah keluarga bukan hanya seksualitas dan sakramentalitas. Kini giliran para uskup di Benua Afrika yang menuntut supaya pembahasan Synode Keluarga Oktober 2015 nanti melakukan diskusi tentang keluarga dengan tema-tema yang lebih luas, lebih ekspansif dan juga memperhatian situasi Gereja di benua Afrika dengan iman kristiani yang baru bertobat dari kekafiran dan masih diwarnai oleh kebudayaan lokal termasuk dalam hal penghayatan tentang keluarga. Diskusi jangan hanya menyangkut masalah-masalah yang menjadi perhatian Gereja di Eropa dan Amerika Utara saja, katanya.
Joshua J McElwee dari Nairobi memberikan laporan kepada Vatican Insider sbb: "Sejumlah teolog dan Uskup dari seluruh benua Afrika berkumpul pada tgl 16 – 18 Juli 2015 lalu dan dengan terus terang meminta kepada Vatikan untuk memperluas tema-tema diskusi tentang keluarga dalam Synode bulan Oktober 2015 mendatang dengan memperhatikan keadaan keluarga-keluarga dalam budaya-budaya di seluruh dunia, termasuk di Afrika; bukan hanya memilih masalah yang menjadi perhatian Gereja Katolik versi Eropa dan Amerika Utara saja. Salah satu hal yang perlu disadari ialah bahwa Kekristenan versi Eropa itu telah mentobatkan budaya Eropa dan sekarang kekristenan di Eropa itu sendiri menghadapi masalah baru dengan tantangan zaman baru. Sedangkan budaya Afrika baru sampai pada tahap berkenalan dengan kekristenan dan umat masih berusaha untuk menyesuaikan iman kristianinya sambil tetap memelihara budaya tradisi leluhur mereka, termasuk dalam hal keluarga. Uskup Kenya menegaskan: "Jika kita sungguh-sugguh ingin menghargai keluarga-keluarga kristiani Afrika kita ini, maka kita membutuhkan kajian teologis yang serius dan mendalam tentang "Teologi Keluarga Kristiani Afrika. Kita tidak bisa hanya sekedar menerapkan model keluarga menurut ajaran kristiani yang sudah berabad-abad itu dalam situasi keluarga Afrika begitu saja". Teolog dari Uganda, Emmanuel Katongole, bahkan mengkritik Vatikan yang ia sebut sebagai " tirani yang memaksakan masalah-masalah moral"  dengan mereduksikan masalah dalam Gereja hanya menyangkut eksualitas dan kekuasaan." Nah,kalau Afrika menuntut Teologi Keluarga Kristiani Afrika" maka Asia juga membutuhkan yang sama, kerena konteks budaya dan penghayatan perkawinan di Asia, termasuk Indonesia (lebih masuk lagi dalam budaya-budaya lokal Indonesia) tidak bisa disamakan dengan orang-orang Eropa. Sedangkan model keluarga kristiani Gereja Katolik yang diberlakukan dalam Kitab Hukum Kanonik itu memang memakai "pengandaian - pengandaian" pemikiran orang Eropa, misalnya soal istilah teologis:consensus facit matrimonium (kesepakan membuat perkawinan) syarat-syarat sahnya konsensus; konsensus yang sudah sah tidak dapat ditarik kembali, dst, dst.
Pokonya, Synode Keluarga Oktober 2015 ini (mungkin) bakalan seru, panas, dinamis dan mungkin hanya bisa memberikan rambu-rambu umum, selebihnya terserah pada para uskup Gereja lokal yang mengetahui persis keadaan, kebiasaan, adat-istiadat dan budaya setempat yang menjadi darah-daging hidup umat kristiani setempat pula. Apalagi masalah keluarga adalah masalahpastoral, bukan masalah dogmatis, jadi pemecahannya juga perlu kebijaksaan pastoral yang bisa berartivariis modis bene fit. (caranya bervariasi, namun paling cocok dengan realitas).
Apalagi Paus Fransiskus telah memberikan rambu-rambu diskusinya: "Jangan takut untuk berbicara apa saja; dan harus rendah hati untuk mendengarkan dengan sungguh-sungguh pendapat para peserta Synode lain". Tidak boleh ada pemaksaan kehendak dan pendapat; yang ada adalah Cinta kasih Pastoral (Charitas et Cura Pastoralis) demi kebaikan keluarga-keluarga Kristiani. Mari kita doakan para peserta Synode dan Mari kita doakan semua keluarga di seluruh dunia.
 
Sujoko msc


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Minggu, 09 Agustus 2015

Sejarah Komunitas Katolik Kontemporer (AZYUMARDI AZRA)

Sejarah umat beragama di Indonesia masih langka, khususnya komunitas Katolik Indonesia. Kita beruntung mendapat sumbangan sangat penting dari Karel Steenbrink, Guru Besar (Emeritus) Universitas Utrecht, Belanda, yang dengan tekun dan cermat menuliskan sejarah umat Katolik di Indonesia secara komprehensif.

Karya cukup masif ini merupakan buku ketiga Steenbrink tentang subyek ini. Sebelumnya ia menulis Catholics in Indonesia 1808-1942. A Documented History, Vol I: A Modest Recovery 1808-1900 (2003) dan Catholics in Indonesia 1808-1942. A Documented History, Vol II: The Spectacular Growth of a Self-Confident Minority, 1903-1942 (2007). Meski menjadi bagian ketiga dari trilogi, buku Catholics in Independent Indonesiadapat dipandang dan dibaca sebagai buku independen, terlepas dari kedua buku terdahulu.

Buku yang komprehensif membahas umat "Katolik Indonesia" (terma yang digunakan Steenbrink secara bebas dengan "Katolik di Indonesia") ini dapat dikatakan ditulis "orang dalam" (from within). Steenbrink, penganut Katolik yang saleh, memang memulai karier akademisnya dengan melakukan penelitian disertasi doktor tentang pesantren, madrasah, dan sekolah (1970-74). Ia kemudian kembali ke Indonesia mengajar di IAIN Jakarta dan IAIN Yogyakarta (1981-1988).

Selama kurun waktu itu ia menyebut dirinya hanya "marjinal" di lingkungan Katolik. Baru pada pertengahan 1990-an, ia memulai persiapan riset dan penulisan sejarah Katolik di Indonesia. Kesempatan ini datang ketika ia mulai bertugas di IIMO, Institut Ekumene dan Misiologi, di Universitas Utrecht.

Meski begitu, Karel Steenbrink mengakui, karya-karyanya tentang sejarah Katolik Indonesia ditulis tidak dari lingkaran dalam gereja (insider) yang menentukan misi dan visi gereja. Sebaliknya, ditulis seorang pengamat luar yang menghabiskan karier aktifnya di Indonesia sebagai dosen di sejumlah perguruan tinggi Islam. Walau demikian, ia menegaskan, dari latar belakang [agamanya yang Katolik], Steenbrink merasa memiliki pengetahuan memadai, simpati dan empati pada komunitas Katolik untuk dapat otoritatif menulis tentang sejarah Katolik di Indonesia.

Karya Profesor (Emeritus) Steenbrink ini dalam banyak hal lebih daripada sekadar sejarah Gereja Katolik deskriptif. Buku ini juga bukan hanya menyangkut orang-orang Katolik di Indonesia. Namun, buku ini dapat dikatakan sebagai "sejarah sosial" (social history) komunitas Katolik di negeri ini dalam kaitan dengan lingkungan lebih luas yang mengitarinya. Kenyataan Indonesia adalah negara dengan penduduk Muslim, baik langsung maupun tidak, memengaruhi cara pandang, doktrin sosial gereja atau para fungsionaris Katolik (pastor misalnya) yang bukan tanpa perdebatan di lingkungan Gereja Katolik Indonesia.

Sejarah sosial

Dalam paradigma sejarah sosial dan lingkungan lebih luas, karya ini mencakup pembahasan, misalnya, tentang agama dalam politik Indonesia di antara Pancasila dan syariah [Islam], basis sekuler agama [Katolik] dalam pendidikan, pelayanan kesehatan, dan kesejahteraan; masalah internal gereja; spiritualitas clergy (pastor dan suster);social engagement dan spiritualitas penganut awam (lay); dan para pemikir kreatif, penulis, dan artis. Pembahasan juga mencakup wacana dan perdebatan teologis di lingkungan teolog dan intelektual Katolik.

Bagian besar yang kedua karya ini adalah survei wilayah yang mengungkapkan pergumulan komunitas Katolik di suatu tempat. Misalnya Flores, Timor dan Sumba, Papua, Maluku, Minahasa dan Toraja, Kalimantan, Jawa dan Bali, serta "diaspora" Sumatera. Komunitas Katolik di tiap wilayah ini menghadapi masalah tersendiri yang tidak selalu mudah diselesaikan Gereja.

Sebagai sejarah sosial, bagian yang absen dari karya ini antara lain kehidupan sehari-hari (history of daily life) orang Katolik, baik fungsionaris maupun awam. Jika sejarah sehari-hari ini tercakup, pasti lebih menambah pengetahuan kita tentang bagaimana seorang warga Katolik menjalani kehidupan sehari-hari dalam berbagai segi. Walau begitu, ada sejumlah kepingan anekdot yang diberikan Steenbrink, terutama tentang "konflik" di antara pimpinan Gereja (clergy) dengan kalangan awam dalam isu tertentu sehingga karya ini tidak menjadi semacam institutional historyGereja Katolik di Indonesia.

Pergumulan kontemporer

Tujuan utama buku ini, menurut Steenbrink, adalah untuk memperlihatkan bagaimana Gereja Katolik bisa bertahan sepanjang masa rezim Presiden Soekarno (1945-1965). Selanjutnya tentang bagaimana Gereja memperoleh kembali dinamika baru selama masa "kebangkitan agama" (religious revival) yang merupakan bagian penting dalam perjalanan sejarah agama di Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.

Beberapa kebijakan Presiden Soeharto menimbulkan perdebatan dan pergumulan di lingkungan gereja dan komunitas Katolik. Hal ini mencakup misalnya tentang Pancasila sebagai "asas tunggal" (UU N0 8 Tahun 1985) dan ketentuan pengajaran agama oleh guru seagama dengan murid (UU No 2 Tahun 1989, kemudian juga No 23, 2003). Menghadapi UU semacam itu, tidak jarang Gereja Katolik terpaksa bersikap defensif.

Gereja Katolik antara 1985-1998 kian berada dalam posisi defensif. Menurut Steenbrink, sikap ini terkait dengan "kebangkitan kepercayaan diri kaum Muslim' pada satu pihak dan "lenyapnya signifikansi komunitas Katolik" pada pihak lain. Perkembangan ini kemudian juga terkait dengan "rekonsiliasi" Presiden Soeharto dengan masyarakat Muslim yang antara lain ditandai dengan restu Soeharto pada pendirian ICMI di bawah kepemimpinan BJ Habibie yang kala itu menjabat posisi Menteri Riset dan Teknologi dalam kabinet.

Steenbrink juga mencatat, sepanjang masa Soeharto, sejumlah besar SD dan SMP Katolik harus ditutup karena Pemerintah Orde Baru sangat ekspansif mengembangkan sekolah-sekolah negeri. Komunitas Katolik sendiri juga tidak mampu lagi mendanai semua sekolahnya.

Pergumulan Gereja dan umat Katolik terus berlanjut sejak masa reformasi. Konflik komunal berbau agama meletup di beberapa tempat menimbulkan gangguan kerukunan umat beragama. Steenbrink juga mencatat, perda-perda yang mencoba menerapkan syariah secara parsial juga menjadi pembicaraan hangat di lingkungan gereja.

Sementara pergumulan Gereja Katolik berlanjut, karya Steenbrink sangat layak dan penting diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Dengan begitu, masyarakat lintas agama Indonesia dapat memahami Gereja Katolik secara komprehensif dan lebih akurat.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 Agustus 2015, di halaman 12 dengan judul "Sejarah Komunitas Katolik Kontemporer".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.