Salam Damai Kristus,

Sebuah kontribusi para mantan frater, pastor, suster, bruder, dll bagi pembangunan kehidupan bersama yang lebih baik. Kirimkan artikel apa saja yang mau ditampilkan pada blog ini ke email: mantan.frater09@gmail.com Atas kunjungannya, terima kasih.

Rabu, 20 April 2016

PANDANGAN GEREJA KATOLIK TENTANG KESETARAAN ANTARA PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI (Ignatius L. Madya Utama)

Oleh : Ignatius L. Madya Utama, S.J.[1]

Kerap dikatakan bahwa di hadapan Allah baik perempuan maupun laki-laki adalah setara, namun di dalam institusi-institusi manusiawi kesetaraan tersebut hanyalah sebuah wacana. Benarkah demikian? Untuk mencari jawab atas pertanyaan tersebut –atau lebih tepat, untuk mewujudkan cita-cita kesetaraan tersebut– mungkin ada manfaatnya untuk melihat apakah yang diajarkan oleh Gereja Katolik mengenai hal ini.

Pada bagian pertama dari tulisan ini, Anda kami ajak untuk melihat apakah yang dimaksudkan dengan kesetaraan dalam pandangan Gereja Katolik. Pada bagian kedua, akan kami sajikan "tindakan-tindakan" yang dapat merusak kesetaraan tersebut dan bagaimana –menurut Gereja Katolik– hal itu harus diatasi. Beberapa bahan bacaan pilihan akan kami sajikan pada akhir tulisan ini bagi Anda semua yang masih ingin memperdalam persoalan ini.

I. KESETARAAN ANTARA PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI

Untuk mengerti apa yang diajarkan oleh Gereja Katolik tentang keseta-raan antara perempuan dan laki-laki, paling sedikit ada tiga dokumen penting yang perlu kita lihat: Alkitab, dokumen Konsili Vatikan II dan beberapa dokumen yang ditulis oleh almarhum Paus Yohanes Paulus II.

1. Pemahaman Alkitabiah

Kitab Suci pertama yang berbicara tentang kesetaraan antara perempuan dan laki-laki adalah kitab Kejadian, dalam kisah penciptaan. Dalam Kitab Kejadian bab 1 (yang ditulis sekitar abad ke-5 seb. Mas.) diungkapkan bahwa manusia –laki-laki dan perempuan– diciptakan oleh Allah sebagai "gambar dan rupa-Nya" sendiri (Kej 1:27). Karena perempuan dan laki-laki diciptakan dalam "keserupaan" dengan Allah, maka mereka memiliki martabat yang sama dalam segala aspeknya. Versi lain dari kisah penciptaan manusia terdapat dalam bab 2 dari kitab yang sama (yang ditulis sekitar 3 abad lebih awal dari pada bab 1). Dikisahkan bahwa laki-laki diciptakan oleh Allah lebih dahulu dan diambil dari tanah ('adamah); sedangkan perempuan diciptakan setelah laki-laki dan diambil dari tulang rusuk laki-laki, agar perempuan menjadi "penolong" yang sepadan dengan laki-laki. Menyadari bahwa perempuan yang dibawa oleh Allah ke hadapannya, ternyata setara dengan dirinya, maka laki-laki meninggalkan ayahnya dan ibunya untuk dapat bersatu dengan perempuan.

Mengikuti pendapat Stefania Cantore, dari kedua kisah tersebut dapat disimpulkan bahwa selain menciptakan manusia sebagai laki-laki dan perempu-an dengan martabat yang sama, Allah juga membuat mereka mampu untuk berelasi dalam kesetaraan, kesalingan dan ketimbal-balikan, serta dalam suasana yang harmonis (bdk. Kej 2:8-25) (Cantore, 1992: 35). Sedangkan Susan Niditch mengatakan bahwa dengan menciptakan manusia sebagai perempuan dan laki-laki sebagai cermin bagi dirinya sendiri, Allah tidak membuat pembedaan martabat maupun derajat di antara keduanya. Dengan kata lain, kendati perempuan diciptakan sesudah laki-laki, tidak ada maksud untuk menempatkan perempuan sebagai makhluk ciptaan kelas dua atau lebih rendah derajatnya dari pada laki-laki (Niditch, 1995: 16).

Impian Allah seperti diungkapkan dalam Kitab Kejadian tersebut dalam perjalanan waktu –khususnya karena pola hidup patriarkal baik dalam keluarga, agama maupun masyarakat– mengalami kehancuran. AdalahYesus –sebagai wujud kehadiran Allah yang membebaskan (di tengah) umat-Nya– mencoba memulihkan dan mewujudkan impian tersebut dalam hidup dan karya-Nya. Di kala tradisi Yudaisme hanya memperbolehkan orang laki-laki dewasa menjadi murid seorang Rabbi untuk mempelajari Kitab Taurat, Yesus juga memberi hak yang sama kepada para perempuan untuk menjadi murid-murid-Nya (bdk.Injil Lukas 10:38-42). Dan ketika masyarakat menganggap bahwa kaum perempuan tidak dapat berpikir jernih, dan karenanya suara mereka tidak perlu didengar-kan, Yesus justru belajar dari seorang perempuan "kafir" sehingga Ia mamahami bahwa tugas pengutusan-Nya untuk mewartakan karya keselamatan Allah diperuntukkan bagi semua orang (bdk.Injil Matius 15:21-28; Injil Markus7:24-30). Dan di dalam masyarakat di mana kaum perempuan tidak diperbolehkan memberikan kesaksian di muka pengadilan (karena, katanya, mereka itu tidak dapat dipercaya!), setelah kebangkitan-Nya, Yesus justru mempercayakan kepada para perempuan untuk mewartakan dan memberikan kesaksian akan peristiwa agung dan sangat penting dalam sejarah keselamatan kepada para murid lainnya: kebangkitan-Nya dari kematian (bdk. Mt 28:7-10; Mk 16:7-8; Lk 23:9-10; Yoh 20:17-18).

Apa yang dicita-citakan oleh Allah dan diwujudkan oleh Yesus menjadi keyakinan dasar para pengikut Yesus. Hal ini nampak dalam kidung upacara pembaptisan yang mengungkapkan identitas mereka sebagai para pengikut Kristus. Dalam surat Santo Paulus kepada jemaat diGalatiatertulis:

Sebab kamu semua adalah anak-anak Allah karena iman di dalam Yesus Kristus. Karena kamu semua, yang dibaptis dalam Kristus telah mengenakan Kristus. Dalam hal initidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki danperempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Yesus Kristus(Galatia 3:26-28).

Apa yang terungkap dalam kutipan di atas merupakan pola hidup dan pola berelasi alternatif, yang sangat kontras dengan praktik-praktik dalam masyarakat Yahudi, Romawi, maupun Yunani yang begitu patriarkal. Di dalam jemaat-jemaat Kristiani semua praktik patriarkal –entah itu pembedaan berdasarkan previlese religius, status sosial maupun gender– tidak dapat diterima lagi. Ungkapan "tidak ada lagi laki-laki danperempuan" (Galatia 3:28) juga mengacu pada Kitab Kejadian 1:27 yang mengatakan: "Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-lakidanperempuan diciptakan-Nya mereka." Hal ini penting, sebab pada zaman Paulus –selain sudah ada praktik-praktik ketidakadilan berdasarkan previlese religius, status sosial dangender– juga ada seorang teolog besar, Philo dari Alexandria, yang mulai menafsirkan ungkapan dalam Kitab Kejadian 1:27 itu dalam kerangka pemikiran helenistik. Menurut Philo, kisah penciptaan itu merupakan metafor tentang adanya dua unsur di dalam diri manusia: rasionali-tas (yang digambarkan dengan figur laki-laki) dan rasa-perasaan (yang dilam-bangkan dengan figur perempuan). Tafsir ini segera menimbulkan perpecahan di kalangan jemaat Kristiani. Dengan latar belakang seperti ini, bagian dari pernyataan baptisan "tidak ada laki-laki danperempuan" merupakan ungkapan iman bahwa segala macam konflik, keterpecahan dan pembedaan dapat disem-buhkan dan diatasi dalam Yesus Kristus.

2. Ajaran Konsili Vatikan II

Konsili Vatikan II, dalam dokumennyaKonstitusi Pastoral Tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini –atau lebih dikenal dengan Gaudium et Spes (=GS)– mengatakan bahwa semua orang diciptakan dalam citra Allah. Mereka memiliki kodrat dan asal-usul yang sama. Mereka memiliki kesetaraan dasariah. Kesetaraan tersebut harus semakin diakui. Oleh karenanya, "segala bentuk diskriminasi yang me-nyangkut hak-hak asasi manusia, entah yang bersifat sosial atau budaya, berdasarkan jenis kelamin, suku, warna kulit, kondisi sosial, bahasa atau agama, harus diatasi dan disingkirkan, karena bertentangan dengan rencana Allah" (GS, 29).

Lebih lanjut Konsili Vatikan II mengatakan bahwa kendati terdapat perbedaan-perbedaan yang wajar antara laki-laki dan perempuan, namun martabat mereka yang sama sebagai pribadi menuntut agar kita berusaha untuk mewujudkan kondisi hidup yang lebih fair dan lebih manusiawi (GS, 29). Akibatnya, Konsili Vatikan II memandang "kesenjangan ekonomi dan sosial yang berlebihan antara individu dan bangsa-bangsa merupakan sumber skandal dan bertentangan dengan keadilan sosial, keadilan, martabat manusia, serta perdamaian sosial dan internasional" (GS, 29).

Selanjutnya Konsili Vatikan II menegaskan bahwa bila kaum perempuan masih belum diakui wewenangnya untuk dengan bebas memilih suaminya, menentukan jalan hidupnya, atau untuk menempuh pendidikan dan meraih kebudayaan seperti yang mereka inginkan (GS, 29), wajarlah kalau "Kaum perempuan menuntut kesetaraan dengan kaum laki-laki berdasarkan hukum dan keadilan (equity) maupun dalam kenyataan, bila kesetaraan itu belum mereka peroleh" (GS, 9).

3. Ajaran Almarhum Paus Yohanes Paulus II

Almarhum Paus Yohanes Paulus II (selanjutnya disingkat JP II) sungguh meyakini bahwa perempuan memiliki martabat yang sederajat dengan laki-laki. Kesetaraan martabat antara laki-laki dan perempuan ini dilandaskan pada kenyataan bahwa mereka diciptakan oleh Allah sendiri menurut citra dan keserupaan dengan diri-Nya (bdk. Kej 1:26-27). Apa yang ditandaskan oleh JP II ini sangat penting, sebab selama berabad-abad Gereja mengikuti pandangan Thomas Aquinas (1225-1274) dalam melihat perempuan. Dengan mengadopsi pandangan Aristoteles (384/3-322 seb. Mas.), Aquinas meyakini bahwa perem-puan adalah seorang "misbegotten male" yang keberadaannya hanya dibutuh-kan demi membantu laki-laki untuk melahirkan anak-anak.

Berdasarkan kesetaraan martabat sebagai citra Allah ini, baik perempuan maupun laki-laki memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut hidup berkeluarga, menggereja, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Sekaligus JP II mengingatkan bahwa "kesetaraan martabat" tidak identik dengan "kesamaan dengan" laki-laki. Kesetaraan martabat ini akan mencapai kepenuhannya ketika perempuan dan laki-laki mampu untuk hidup dalamkomunio dengan satu sama lain, dengan saling menerima dan saling memberikan diri, dengan saling membantu dan bekerjasama untuk mewujudkan kesejah-teraan bersama bagi seluruh ciptaan Allah. JP II mengatakan bahwa dengan diciptakan sebagai laki-laki dan perempuan menurut citra dan keserupaan dengan Allah mereka dipanggil untuk hidup bagi satu sama lain secara timbal balik. Lebih lajut JP II mengatakan bahwa dalam diri perempuan, laki-laki memperoleh mitra, dengannya ia dapat berdialog dalam kesetaraan yang lengkap.

JP II juga menandaskan bahwa kesetaraan ini harus benar-benar diusaha-kan menjadi sebuah pengalaman nyata dalam segala bidang kehidupan; antara lain, mendapatkan gaji sama untuk pekerjaan yang sama, perlindungan bagi para ibu yang bekerja, fairnessdalam hal kenaikan jenjang karier, kesetaraan suami-istri menyangkut hak-hak dalam hidup keluarga, serta pengakuan terhadap segala sesuatu yang menyangkut hak dan kuajiban warga negara dalam negara yang demokratis, mempunyai akses untuk memiliki harta serta mengelola aset-aset yang dimilikinya, dan dapat ikut ambil bagian dalam pengambilan keputusan berkaitan dengan proses-proses untuk mengarahkan kehidupan masyarakat.

II. PENGRUSAKAN MARTABAT KAUM PEREMPUAN

Almarhum Yohanes Paulus II juga mengakui bahwa dalam kenyataannya martabat kaum perempuan kerap tidak diakui dan bahkan diinjak-injak. Sebagai akibat dari pengkondisian sosial dan kultural, banyak perempuan tidak dapat menya-dari sepenuhnya martabat mereka. Tidak jarang kaum perempuan justru dipinggirkan dari kehidupan masyarakat dan bahkan direduksikan kedalam perbudakan. Kerapkali mereka tidak mendapatkan kesempatan yang sama (dengan laki-laki) untuk memperoleh pendidikan, direndahkan, dan sumbangan intelektual mereka tidak dipedulikan atau tidak dihargai. Martabat perempuan juga dilanggar oleh mentalitas yang memandang mereka bukan sebagai pribadi melainkan sebagai barang, sebagai objek perdagangan. Demikian pula berbagai macam bentuk diskriminasi terhadap parempuan –khususnya diskriminasi terhadap para istri yang tidak mempunyai anak, para janda, para perempuan yang diceraikan oleh suami mereka, serta para ibu yang tidak dinikahi– sungguh merendahkan martabat perempuan. Mereka juga masih mengalami banyak diskriminasi di bidang pendidikan, pelayanan kesehatan maupun pekerjaan. Martabat perempuan juga direndahkan ketika perempuan (dewasa maupun anak-anak) dipaksa untuk bekerja hanya dengan upah kecil atau bahkan tanpa upah sama sekali, tanpa hak-hak perburuhan, tanpa jaminan keamanan. Martabat mereka juga direndahkan ketika para perempuan hanya dihargai karena penampilan fisik mereka dan bukan karena skill, profesionalisme, kemampuan intelektual maupun kepekaan hati mereka yang sangat dalam. Demikian pula martabat mereka direndahkan lewat eksploitasi seksual, dan ketika mereka –karena kengawuran dan tidak adanya tanggungjawab seksual– dipaksa untuk mengakhiri hidup janin yang tidak mereka kehendaki. Martabat mereka juga direndahkan ketika para perempuan (khususnya yang masih muda) dipaksa atau "ditarik" oleh organisasi-organisasi yang tidak bertanggungjawab kedalam emigrasi klasdestin, sehingga tidak sedikit dari mereka yang terdampar dalam situasi yang sungguh merendahkan martabat: pelacuran.

Berhadapan dengan seluruh situasi seperti ini, almarhum mengatakan bahwa tidaklah mudah untuk menunjuk siapa yang paling bertanggungjawab dalam hal ini, sebab sudah berabad-abad berbagai macam pengkondisian sosio-kultural telah membentuk cara berpikir dan bertindak secara demikian. Namun, kalau dalam konteks historis tertentu ternyata tidak sedikit anggota Gereja yang terlibat dalam tindakan ini, dengan tulus hati JP II mohon maaf.

Mengalami kondisi dan perlakuan seperti itu, menurut JP II, kaum perempuan memiliki hak untuk mendesak agar martabat mereka dihormati. Dan dalam waktu yang bersamaan mereka juga mempunyai kuajiban untuk memper-juangkan agar martabat semua orang, baik laki-laki maupun perempuan, ditegakkan. Sekaligus JP II mengingatkan kaum perempuan agar dalam mengusahakan pembebasan diri dari semuanya itu, jangan sampai mereka membiarkan diri mengalami "maskulinisasi terhadap perempuan"; sebaliknya mereka perlu menegakkan "feminisme baru" dengan menolak model dominasi yang selama ini dilakukan oleh kaum laki-laki dan tidak menjadikannya sebagai cara bertindak mereka.

Selanjutnya JP II meminta agar pemerintah dan organisasi-organisasi lainnya bekerja lebih efektif untuk memberikan jaminan legal bagi terwujudnya martabat dan hak-hak perempuan. Demikian pula negara-negara perlu mengatasi berbagai macam situasi yang merintangi dilakukannya pengakuan, penghormatan serta penghargaan terhadap martabat serta kompetensi kaum perempuan. Beliau juga mengimbau agar semua negara serta institusi-institusi internasional mengusahakan semua cara agar kaum perempuan memperoleh kembali perhargaan yang penuh atas martabat dan peran mereka. Imbauan juga ditujukan kepada komunitas-komunitas gerejawi agar para migran beserta dengan keluarga mereka mendapatkan tempat sebagai rumah mereka.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa JP II sungguh meyakini bahwa martabat [dan panggilan] perempuan –maupun laki-laki– berakar pada hati Allah sendiri, dan dalam kondisi keberadaan manusia martabat tersebut erat terkait dengan "kesatuan dari dua pribadi." Sebagai konsekuensinya, setiap laki-laki mesti bertanya diri apakah setiap perempuan telah diperlakukan sebagaico-subjectdari keberadaannya di dunia ini dan tidak dijadikan objekbagi kenikmat-an dan eksploitasi. Demikian pula dominasi tidak dibenarkan karena merupa-kan ancaman yang dapat menghancurkan baik kesetaraan martabat antara perempuan dan laki-laki maupun martabat mereka masing-masing. Khususnya dalam hidup perkawinan, JP II mengatakan bahwa perempuan tidak dapat menjadi 'objek' dari 'dominasi' dan 'milik' laki-laki.

BUKAN KATA AKHIR

Mewujudkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan memang tidak mudah; juga –dan mungkin lebih-lebih– dalam Gereja. "Tempat" yang paling tepat untuk memulainya adalah diri kita sendiri serta lingkungan di mana kita hidup. Di "tempat-tempat" itulah kita perlu membuang semua bentuk ketidak-setaraan dan mulai membangun kesetaraan. Dan karena kesetaraan antara perempuan dan laki-laki memiliki banyak segi, maka perwujudannyapun menuntut kerjasama dari berbagai macam pihak dan bidang; oleh karenanya kerjasama dalam jejaring merupakan suatu keharusan.

DAFTAR BACAAN PILIHAN

Børresen, Kari Elisabeth. 1995.Subdordination and Equivalence. The Nature and Role of Woman in Augustine and Thomas Aquinas. Kampen: Kok Pharos Publishing House.

Cantore, Stefania. 1992. "Women in Christianity. A Biblical Approach." Dalam NN. Women In Society According to Islam dan Christianity. Acts of a Muslim-Christian Colloquium Organized jointly by The Pontifical Council for Interreligious Dialogue (Vatican City) and The Royal Academy for Islamic Civilization Research Al Albait Foundation (Amman). Rome, Italy: 24-26 June 1992, pp. 33-47.

John Paul II. 1994. Amanat Apostolis Familiaris Consortio Paus Yohanes Paulus II tentang Keluarga Kristiani Dalam Dunia Modern. Yogyakarta: Penerbit Kanisius & Komisi Pendampingan Keluarga Keuskupan Agung Semarang.

_________. 1988. "Apostolic Letter on the Dignity and Vocation of Women,Mulieris Dignitatem." Origins18 (October 6, 1988): 261, 163-283.

_________. 1988. Post-synodal Apostolic Exhortation on the Vocation and the Mission of the Lay Faithful in the Church and in the World,Christifideles Laici.Washington, D.C.: USCC.

Konferensi Waligereja Indonesia. 1996. Pedoman Gereja Katolik Indonesia. Sidang Agung KWI–Umat Katolik 1995. Cetakan Ketiga. Jakarta: Konferensi Waligereja Indonesia.

_________. 2004. Surat Gembala Konferensi Waligereja Indonesia 2004 tentang "Kesetaraan Perempuan dan Laki-laki sebagai Citra Allah." Jakarta: Sekretariat Jenderal Konferensi Waligreja Indonesia.

Konsili Vatikan II. 1993. Dokumen Konsili Vatikan II. Terjemahan: R. Hardawiryana. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI & Obor.

Madya Utama, Ignatius L. 2003. "Memahami Salib dan Keselamatan dari Perspektif Orang Tertindas."Hidup 57 (20 April 2003): 20-21.

_________. 2005. "Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif Agama Kristiani."Diskursus 4 (April 2005): 59-80.

Marucci, Carl J., ed. 1997. Serving the Human Family. The Holy See at the Major United Nations Conferences.New York City: The Path to Peace Foundation.

Miller, J. Michael, ed. 1996. The Encyclicals of John Paul II. Huntington, Indiana: Our Sunday Visitor Publishing Division Our Sunday Visitor, Inc.

Newsom, Carol A. and Sharon H. Ringe, eds. 1998.Women's Bible Commentary. Expanded Edition with Apocrypha. Louisville: Westminster John Knox Press.

Radford Ruether, Rosemary. 1993.Sexism and God-Talk. Toward a Feminist Theology. With a New Introduction. Boston: Beacon Press.

Schüssler Fiorenza, Elizabeth. 1993.Discipleship of Equals. A Critical Feminist Ekklesia-logy of Liberation. New York: Crossroad.

Schüssler Fiorenza, Elizabeth and Mary Shawn Copeland, eds. 1994. Violence Against Women. Concilium 1994/1. London/Maruknoll, N.J.: SCM Press/Orbis Books.

Niditch, Susan. "Genesis." Dalam Renita J. Weems. 1995.Battered Love. Marriage, Sex, and Violence in the Hebrew Prophets. Minneapolis: Fortress Press.


[1] Penulis adalah Ketua Program Studi Ilmu Teologi, Sekolah Tinggi Filsafat Driyaraka, Jakarta.


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

SURAT GEMBALA PAUS FRANSISKUS PADA HARI KOMUNIKASI SOSIAL SEDUNIA KE 50 TAHUN 2016: KOMUNIKASI DAN KERAHIMAN

Saudara dan saudari terkasih,

TAHUN SUCI Kerahiman mengajak kita semua untuk merefleksikan keterkaitan antara komunikasi dan kerahiman. Gereja, dalam kesatuan dengan Kristus sebagai penjelmaan yang hidup dari Bapa Yang Maha Rahim, dipanggil untuk mewujudkan kerahiman sebagai ciri khas dari seluruh diri dan perbuatannya. Apa yang kita katakan dan cara kita mengatakannya, setiap kata dan sikap kita, harus mengungkapkan kemurahan, kelembutan dan pengampunan Allah bagi semua orang. Kasih, pada hakikatnya, adalah komunikasi; kasih mengarah kepada keterbukaan dan kesediaan untuk berbagi. Jika hati dan tindakan kita diilhami oleh kasih insani, kasih ilahi, maka komunikasi kita akan disentuh oleh kuasa Allah sendiri.

Sebagai putra dan putri Allah, kita dipanggil untuk berkomunikasi dengan semua orang, tanpa kecuali. Dengan caranya yang khusus, perkataan dan perbuatan Gereja dimaksudkan seluruhnya untuk menyampaikan kerahiman, menjamah hati orang-orang dan mendukung perjalanan manusia menuju kepenuhan hidup seperti yang dimaksudkan Bapa ketika mengutus Yesus Kristus ke dunia. Ini berarti bahwa kita sendiri haruslah bersedia menerima kehangatan Bunda Gereja dan berbagi kehangatan itu dengan orang lain, sehingga Yesus dapat dikenal dan dikasihi. Kehangatan itulah yang memberi hakikat kepada sabda iman; melalui pewartaan dan kesaksian kita, sabda iman itu menyalakan "percikan api" yang memberi mereka kehidupan.

Komunikasi memiliki kekuatan untuk mempertemukan, menciptakan perjumpaan dan penyertaan, dan dengan demikian memperkaya manusia. Betapa indahnya ketika orang-orang memilih kata-kata dan melakukan perbuatan dengan penuh kepekaan, agar bisa terhindar dari kesalahpahaman, untuk menyembuhkan kenangan-kenangan yang terluka dan membangun perdamaian dan keharmonisan. Kata-kata dapat mempertemukan pribadi-pribadi, antar anggota keluarga, kelompok-kelompok sosial dan bangsa-bangsa. Hal ini bisa terjadi di dunia nyata maupun dunia digital. Perkataan dan perbuatan kita seharusnya diungkapkan dan dilakukan untuk membantu kita semua agar terbebas dari lingkaran setan untuk selalu menyalahkan dan membalas dendam yang terus menerus menghantui manusia baik secara pribadi maupun dalam komunitasnya, yang pada akhirnya memicu ungkapan-ungkapan kebencian. Perkataan orang-orang Kristen haruslah menjadi sebuah dukungan terus menerus bagi komunitas dan bahkan dalam hal di mana manusia harus mengutuk kejahatan dengan tegas, hal ini seharusnya tidak sampai memutus relasi dan komunikasi.
Karena alasan inilah, saya ingin mengajak semua orang yang berkehendak baik untuk menemukan kembali daya kuasa kerahiman guna menyembuhkan relasi yang terluka dan memulihkan perdamaian dan kerukunan dalam keluarga-keluarga dan komunitas-komunitas. Kita semua mengetahui bagaimana luka-luka lama dan dendam kesumat dapat menjerat manusia dalam menghalangi komunikasi dan rekonsiliasi. Hal yang sama terjadi juga dalam relasi antar bangsa-bangsa. Di setiap situasi, kerahiman selalu mampu menciptakan cara baru untuk berbicara dan berdialog. Shakespeare merumuskannya dengan elok ketika ia berujar: "Kualitas kerahiman tak terkekang. Ia turun bagai hujan lembut yang menetes dari langit di atas ke bumi di bawah. Kerahiman membawa berkat ganda: ia memberkati dia yang memberi dan dia yang menerima" (Saudagar Venisia, Lakon IV, Adegan I).
Bahasa politik dan diplomatik kita akan berhasil dengan baik jika terinspirasi oleh kerahiman, yang tidak pernah kehilangan harapan. Saya meminta mereka yang mengemban tanggung jawab kelembagaan dan politik dan mereka yang diberi amanat untuk membentuk pendapat publik, untuk tetap memperhatikan secara khusus cara berkomunikasi kepada orang-orang yang berpikir atau bertindak secara berbeda, atau orang-orang yang mungkin telah melakukan kesalahan. Sangatlah mudah menyerah pada godaan untuk mengeksploitasi situasi-situasi seperti itu yang‎ dapat menyulut api kecurigaan, ketakutan dan kebencian. Sebaliknya, diperlukan keberanian untuk membimbing orang-orang menuju proses rekonsiliasi. Keberanian positif dan kreatif seperti itulah yang sebenarnya menawarkan penyelesaian nyata atas berbagai perseteruan yang mengesumat serta membuka peluang untuk membangun perdamaian abadi. "Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan" (Mat. 5:7), "Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah" (Mat 5:9).

Saya sangat berharap agar cara berkomunikasi kita, seperti juga pelayanan kita sebagai gembala Gereja, jangan sampai memberi kesan kekuasaan yang angkuh nan jaya atas seorang musuh, atau menistakan orang-orang yang dianggap sebagai pecundang yang mudah dicampakkan. Kerahiman dapat membantu meringankan berbagai kesulitan hidup dan memberi kehangatan kepada mereka yang hanya mengenal dinginnya penghakiman. Semoga cara kita berkomunikasi membantu mengatasi pola pikir yang dengan tegas memisahkan orang-orang berdosa dari orang-orang benar. Kita bisa dan harus menilai aneka situasi keberdosaan - seperti tindak kekerasan, korupsi dan eksploitasi - akan tetapi kita tidak boleh menghakimi pribadi-pribadi, karena hanya Allahlah yang mampu melihat ke kedalaman hati manusia. Menjadi tugas kita untuk memperingatkan dan menegur mereka yang berbuat salah serta mengecam kejahatan dan ketidakadilan dari tindakan-tindakan tertentu, untuk membebaskan para korban dan membangkitkan mereka yang telah jatuh. lnjil Yohanes mengatakan kepada kita bahwa "kebenaran itu akan memerdekakan kamu" (Yoh 8:32). Kebenaran itu pada akhirnya ialah Kristus sendiri, kerahiman-Nya yang lembut menjadi tolok ukur untuk menakar cara kita menyatakan kebenaran dan mencela ketidakadilan. Tugas utama kita adalah menegakkan kebenaran di dalam kasih (bdk. Ef 4:15). Hanya perkataan yang diucapkan dengan kasih yang disertai dengan kelembutan dan kerahiman mampu menjamah hati kita yang sarat dosa. Kata-kata dan tindakan-tindakan yang keras dan moralistik cenderung semakin mengasingkan orang-orang yang ingin kita tuntun kepada pertobatan dan kebebasan, sehingga semakin memperkuat rasa penolakan dan sikap bertahan mereka.

Sebagian pihak merasa bahwa visi tentang sebuah masyarakat yang berakar pada kerahiman adalah idealisme tanpa harapan atau kebaikan yang berlebihan. Tetapi marilah kita mencoba dan mengingat kembali pengalaman kita yang pertama tentang relasi, di dalam keluarga kita. Orangtua kita mengasihi kita dan menghargai kita karena siapa kita dan bukan karena kemampuan dan pencapaian kita. Para orangtua secara alamiah menginginkan yang terbaik bagi anak-anak mereka, namun kasih itu tidak pernah bergantung pada pemenuhan atas syarat-syarat tertentu. Rumah keluarga adalah salah satu tempat di mana kita selalu diterima (bdk. Luk 15:11-32). Saya ingin mendorong setiap orang untuk melihat masyarakat bukan sebagai sebuah forum di mana orang-orang yang tidak saling mengenal bersaing dan berupaya tampil di puncak, tetapi terlebih sebagai sebuah rumah atau sebuah keluarga, di mana pintu selalu terbuka dan setiap orang merasa diterima.

Untuk mewujudkan hal itu, maka pertama-tama kita harus mendengarkan. Berkomunikasi berarti berbagi, dan berbagi menuntut sikap mendengarkan dan menerima. Mendengarkan bermakna lebih dalam dari sekedar mendengar. Mendengar adalah tentang menerima informasi, sedangkan mendengarkan adalah tentang komunikasi yang mensyaratkan kedekatan dan keakraban. Mendengarkan memungkinkan kita melakukan hal-hal yang benar, dan tidak sekadar menjadi penonton, pengguna atau pemakai yang pasif. Mendengarkan juga berarti mampu berbagi aneka persoalan dan keraguan, berjalan beriringan, membuang semua tuntutan akan kekuasaan mutlak serta mendayagunakan berbagai kemampuan dan karunia kita demi melayani kesejahteraan umum.

Mendengarkan bukanlah hal yang mudah. Acapkali lebih mudah untuk berpura-pura tuli. Mendengarkan berarti mengindahkan, kerelaan untuk memahami, menghargai, menghormati dan merenungkan apa yang orang lain katakan. Mendengarkan melibatkan semacam kemartiran atau pengorbanan diri, tatkala kita berusaha untuk meneladan Musa di hadapan semak bernyala: kita harus menanggalkan kasut kita ketika berdiri di "tanah yang kudus" perjumpaan kita dengan orang yang berbicara kepadaku (bdk. Kel 3:5). Memahami cara untuk mendengarkan adalah sebuah karunia yang besar, maka karunia itulah yang perlu kita mohonkan dan kemudian dengan segenap daya dan tenaga kita coba melaksanakannya.
Surat elektronik, pesan teks singkat, jejaring sosial dan percakapan daring (dalam jaringan, online) dapat juga menjadi bentuk-bentuk komunikasi insani seutuhnya. Bukanlah teknologi yang menentukan apakah komunikasi itu asli atau tidak, melainkan hati dan kemampuan manusia untuk secara bijak memanfaatkan sarana-sarana yang dimiliki. Pelbagai jejaring sosial dapat memperlancar relasi dan memajukan kesejahteraan masyarakat, namun jejaring sosial itu juga dapat menyebabkan pertentangan dan perpecahan yang lebih dalam di antara pribadi-pribadi dan kelompok-kelompok. Dunia digital adalah ruang umum terbuka, sebuah tempat pertemuan di mana kita bisa saling mendukung atau menjatuhkan, terlibat dalam diskusi sarat makna atau melakukan serangan yang tidak jujur. Saya berdoa agar Tahun Yubileum ini, yang dihayati dalam kerahiman, "dapat membuka diri kita kepada dialog yang lebih bersungguh-sungguh sehingga kita bisa mengenal dan memahami satu sama lain dengan lebih baik: dan ini bisa melenyapkan berbagai bentuk kepicikan dan sikap kurang hormat, dan menghilangkan setiap bentuk kekerasan dan diskriminasi" (Misericordiae Vultus, 23). Internet dapat membantu kita untuk menjadi warga negara yang lebih baik. Akses ke jaringan digital membawa sebuah tanggung jawab atas sesama kita yang tidak kita lihat namun benar-benar nyata, dan yang memiliki martabat yang mesti dihormati. Internet dapat digunakan secara bijak untuk membangun sebuah masyarakat yang sehat dan terbuka untuk berbagi.

Komunikasi, di mana pun dan bagaimana pun bentuknya, telah membuka aneka cakrawala yang lebih luas bagi banyak orang. Komunikasi adalah sebuah karunia Allah yang menuntut sebuah tanggung jawab besar. Saya ingin merujuk pada kekuatan komunikasi ini sebagai "kedekatan". Perjumpaan antara komunikasi dan kerahiman akan sangat bermanfaat ketika sampai pada tahap di mana perjumpaan itu menghasilkan sebuah kedekatan yang peduli, memberi rasa nyaman, menyembuhkan, menyertai dan merayakan. Dalam sebuah dunia yang hancur, terbelah, dan bertentangan, berkomunikasi dengan kerahiman berarti membantu menciptakan sebuah kedekatan yang sehat, bebas dan bersaudara di antara anak-anak Allah dengan segenap saudara dan saudari kita dalam satu keluarga umat manusia.

Diberikan di Vatikan, 24 Januari 2016

Paus Fransiskus

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Minggu, 17 April 2016

Paus Bawa 12 Pengungsi (Gerakan Simbolik bagi Dunia sebagai Solidaritas terhadap Pengungsi)

Paus Fransiskus dalam kunjungan ke kamp pengungsi di Pulau Lesbos, Yunani, Sabtu (16/4), membawa 12 pengungsi Suriah untuk tinggal di Vatikan. Ke-12 pengungsi dari tiga keluarga yang semuanya Muslim tersebut menerima tawaran Paus untuk tinggal di Vatikan. Mereka menyebut Paus Fransiskus sebagai "penyelamat".
Paus Fransiskus (kanan) menyambut sekelompok pengungsi Suriah setelah mendarat di bandar udara Ciampino, Roma, menyusul kunjungannya ke kamp pengungsi di Moria, Pulau Lesbos, Yunani, Sabtu (16/4). Sebanyak 12 pengungsi asal Suriah ikut dalam penerbangan Paus kembali ke Roma selepas kunjungan tersebut. Para pengungsi itu akan tinggal di Vatikan.
AFP/FILIPPO MONTEFORTEPaus Fransiskus (kanan) menyambut sekelompok pengungsi Suriah setelah mendarat di bandar udara Ciampino, Roma, menyusul kunjungannya ke kamp pengungsi di Moria, Pulau Lesbos, Yunani, Sabtu (16/4). Sebanyak 12 pengungsi asal Suriah ikut dalam penerbangan Paus kembali ke Roma selepas kunjungan tersebut. Para pengungsi itu akan tinggal di Vatikan.

Paus disebut sebagai "penyelamat" karena telah menawarkan kepada mereka sebuah kehidupan baru di Vatikan. Ini merupakan gerakan simbolik yang bisa ditarik sebagai pelajaran dalam solidaritas untuk Eropa. Paus Fransiskus sendiri adalah anak dari keluarga Italia yang kemudian bermigrasi ke Argentina.

"Semua pengungsi adalah anak-anak Allah," kata Paus yang berusia 79 tahun itu saat terbang kembali ke Roma, Italia. Dalam wawancara dengan harian Italia,La Stampa, tiga keluarga pengungsi asal Suriah menyampaikan terima kasih kepada Paus.

Mereka menghabiskan malam pertama di asrama penampungan Katolik di Roma. Para pengungsi Suriah itu menyebut apa yang dilakukan oleh Paus adalah sebuah harapan.

"Kami melihat teman-teman dan keluarga yang meninggal. Kami mengungsi dari Suriah karena tak ada lagi harapan bagi kami di sana," kata Hasan, insinyur asal Damaskus yang mengungsi bersama istrinya, Nour, dan anak laki-laki mereka yang masih berusia dua tahun.

Ia lalu bercerita perjalanan keluarganya mengungsi dari Suriah. Setelah mengungsi ke Turki, Hasan dan keluarga bergabung dengan rombongan migran menuju Eropa, berjejalan dalam perahu karet berangkat dari pantai Turki menuju Yunani.

"Namun, perahu karet itu terlalu penuh penumpang," kenang Hasan. Saat malam hari, dalam kegelapan gulita di tengah laut, gelombang laut mengguncang perahu karet mereka.

Penjara di Lesbos

"Di Lesbos, kami tahu, kami terjebak di tempat di mana kami tak bisa pergi, itu sebuah penjara," kata Hasan. Ia menyebut Paus sebagai "penyelamat" karena telah membawa mereka keluar dari Pulau Lesbos.

Berdasarkan kesepakatan deportasi yang belum lama ini dicapai antara Uni Eropa dan Turki, ribuan migran berisiko dikirim kembali ke Turki.

Wafa, yang juga dibawa Paus ke Vatikan bersama suaminya, Obama; anak perempuan, Masa (9), serta anak laki-laki, Omar (6), menggambarkan rumahnya yang jadi target serangan.

"Sejak itu anak laki-laki saya jarang bicara. Ia sering terdiam," kata Wafa. Keluarga Wafa berasal dari Zamalka, wilayah pinggiran Damaskus. "Tetapi, kami tahu, kami telah mengambil keputusan yang tepat. Paus Fransiskus telah memberi kami kehidupan baru."

Ramy (51), guru di kota Deir Ezzor yang dikuasai milisi Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), mengungsi bersama istrinya, Suhila, serta tiga anak mereka: Rashid (18), Abdelmajid (16), dan anak perempuannya, Al Quds (7), setelah rumah mereka rusak akibat perang.

"Kami sangat berterima kasih kepada Paus. Kami akan membuktikan bahwa diri kami layak untuk kesempatan dan hadiah yang telah Paus berikan kepada kami," kata Ramy kepada La Stampa.

Tiga keluarga pengungsi Suriah, yang semula berencana untuk mencapai Jerman atau negara lain di Eropa, kini sedang menanti suaka di Italia. Kehadiran mereka menggenapi jumlah pengungsi sebanyak 20 orang di Vatikan. Tahun lalu, Paus Fransiskus mengimbau setiap keuskupan Katolik di Eropa menerima satu keluarga pengungsi.

Dalam kunjungan ke Pulau Lesbos, Sabtu, Paus bertemu dengan perwakilan pengungsi. Beberapa dari mereka berurai air mata saat Paus mendengar curahan hati mereka.

Beberapa migran lain memegang poster bertuliskan "Kami ingin kebebasan", "Biarkan orang kami pergi", dan "Paus, bebaskan kami".

"Kalian tidak sendirian. Jangan berputus asa," kata Paus.

Paus menekankan, masalah migran bukanlah soal angka-angka, melainkan orang dengan wajah, nama, dan cerita-cerita individu yang dimangsa "penjahat tak bermoral". Ia juga menyerukan tindakan tegas mengatasi perdagangan manusia.

"Dunia akan dinilai dari cara mereka memperlakukan kalian. Dan kami semua akan bertanggung jawab atas cara merespons krisis ini dan konflik di kawasan tempat asal kalian," ujar Paus.

(AFP/SAM/LOK)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 April 2016, di halaman 9 dengan judul "Paus Bawa 12 Pengungsi".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Jumat, 15 April 2016

AHOK DILINDUNGI YESUS : URAT TAKUT YANG SUDAH PUTUS! JIHAD PAK AHOK (Catatan Buya Syafii Maarif)


Catatan Buya Syafii Maarif (Tokoh Muslim) thd Ahok.

AHOK DILINDUNGI YESUS : URAT TAKUT YANG SUDAH PUTUS! JIHAD PAK AHOK

Bacalah pengakuan Buya Syafii Maarif tentang Pak Ahok di foto terlampir.

Kini hampir 400 pakar hukum sedang bersatu kerubuti Pak Ahok untuk membuktikan Pak Ahok telah korupsi terkait lahan rumah sakit Sumber Waras, Jakarta. Luar biasa! Kerubutan muncul di saat menjelang Pilgub DKI Jaya 2017. Ini bukan hanya politik, tapi juga psywar.

Pak Ahok bersikap positif. Kata beliau, saya serahkan KPK untuk menyelidikinya tuntas. Pada pihak lain, Pak Ahok menegaskan bahwa dia akan melawan seluruh republik ini jika dia dijadikan tersangka. 

Apa pendapat dan keyakinan anda atas soal ini? 

Kalau saya misalnya jadi Gubernur Ahok, saya sudah pasti sekarang ini akan stres berat walaupun saya tahu saya tak bersalah apapun. Lalu saya memutuskan untuk masuk ke dalam hutan perawan yang sunyi untuk berduaan saja dengan Sang Sunyi mahasunyi. 

Tetapi Pak Ahok bukan saya. Saya sekarang hanya bisa tercenung dalam dan meneteskan air mata kesunyian.

Pak Ahok saya yakin dilindungi oleh Yesus yang dia percayai. Bersama Yesus, mati adalah keuntungan. Itu katanya. Beliau minta, kalau dia harus datang menghadap panggilan Tuhan, pada batu nisannya beliau minta dituliskan kata-kata itu, "Mati bagiku adakah keuntungan!"

Pak Ahok sudah dipanggil untuk menghadap DPR terkait pembebasan lahan hijau milik negara yang sebelumnya jadi perkampungan Kalijodo. Pak Ahok dengan tenang menjawab, "Jangankan menghadap DPR. Menghadap panggilan Tuhan saja saya sudah siap!"

Itulah jihad Pak Ahok, gubernur DKI yang China dan Kristen, sekaligus orang Indonesia yang tulen. 

Air mata saya pun menetes makin banyak dalam kesunyian yang makin dalam.

Majulah terus Pak Ahok. Ada puluhan juta malaikat yang telah diutus Sang Sunyi untuk melindungi Pak Ahok. Tak sehelai rambutpun akan rontok dari kepala Bapak.

Jakarta, 10 Maret 2016
ioanes rakhmat

N.B. Silahkan share seluasnya lewat FB. Lalu copypaste ke WA dan teruskan ke orang lain sebanyak-banyaknya. Ini sisi spiritual membela Pak Ahok.

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Kamis, 07 April 2016

Segera berdiri, PTN Katolik pertama di Indonesia

Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik, Kementerian Agama dalam beberapa waktu ke depan, mempersiapkan lahirnya Perguruan Tinggi Katolik Negeri pertama di Indonesia, yakni Sekolah Tinggi Pastoral (STP) St. Agustinus Pontianak, Kalimantan Barat.

Untuk menunjang maksud tersebut, Kementerian Agama dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi melakukan visitasi ke STP tersebut, Senin (4/4/2016), seperti dilansir Netralnews.com.

Tim peninjau kesiapan lembaga pendidikan ini adalah Asisten Deputi Asesmen dan Koordinasi Pelaksanaan Kelembagaan bersama Kepala Bidang Asesmen Kelembagaan III Kemenpan RB serta Kepala Biro Ortala Setjen Kemenag RI.

Hadir pula dalam kesempatan tersebut Uskup Agung (Emeritus) Keuskupan Pontianak Mgr Hieronymus Herculanus Bumbun OFMCap, Ketua STP St. Agustinus Dr. Andreas Muhrotien dan Kepala Sub Direktorat Pendidikan Tinggi Ditjen Bimas Katolik Dr. Aloma Sarumaha.

Sekolah Tinggi Katolik ini didirikan oleh Uskup Agung Pontianak tanggal 26 Mei 2006 dan bernaung di bawah Departemen Agama Republik Indonesia dengan Izin Operasional Dirjen Bimas Katolik tanggal 12 Juli 2006.

Dalam perkembangannya, lembaga pendidikan yang terakreditasi menurut Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat (Ditjen Bimas) Katolik ini, berniat memperluas akses dan jangkauan serta mutu pendidikan tinggi keagamaan dengan melakukan perubahan.

Langkah ini sesuai dengan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 15 Tahun 2014 tentang Perubahan Bentuk Perguruan Tinggi Keagamaan Swasta (PTAKS) menjadi Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri (PTKN).

Sebelumnya, sesuai dengan mekanisme perubahan menurut regulasi itu pula, dilakukan pengusulan perubahan bentuk perguruan oleh pimpinan setempat, dilanjutkan penilaian usulan perubahan bentuk Perguruan Tinggi Keagamaan (PTK) oleh Dirjen Bimas Katolik.

Pada tahap ini Dirjen melakukan penilaian dan verifikasi usul pendirian PTKN dan menyampaikannya kepada Menteri Agama. Menag kemudian menyampaikan usulan tersebut pada menteri yang bertanggungjawab di bidang Pendayagunaan Aparatur Negara dan RB (Menpan) untuk selanjutnya diusulkan menjadi PTKN kepada Presiden.

Dalam rangkaian tahap itu, dilakukan peninjauan kesiapan lembaga oleh tim dari masing-masing kementerian, ke STP St. Agustinus Pontianak. Visitasi diawali dengan penyampaian maksud tim kepada STP.

Kepada tim, Ketua STP menyampaikan bahwa lembaga ini ingin mengoptimalkan pelayanan pendidikan tinggi kepada masyarakat tercakup di dalamnya sarana, prasarana dan peningkatan kemampuan tenaga pengajar.

"Dengan perubahan status ini, kami dapat melayani animo masyarakat mengenyam pendidikan keagamaan dengan fasilitas yang memadai sesuai standar mutu perguruan tinggi yang kian hari makin bertambah," tutur Dr. Adreas.

Ditambahkan Kasubdit Pendidikan Tinggi DITJENBIMAS Katolik, momen perubahan lembaga juga dimaknai sebagai kehadiran negara di setiap lini kehidupan masyarakat, khususnya di bidang pendidikan.

"Sebagai umat Katolik sekaligus pemerintah, peristiwa ini menunjukan bahwa negara bersikap adil dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dan lembaga pun terbuka untuk bersama-sama pemerintah mewujudkan harapan tersebut; memperoleh pendidikan yang berkualitas. Inilah antara lain makna kehadiran negara yang tertuang dalam salah satu agenda prioritas Pemerintahan Jokowi-JK," ujar Dr. Aloma Sarumaha.

Ditanggapi oleh Asdep Kemenpan RB, bahwa pada prinsipnya Pemerintah mendukung rencana perubahan tersebut. Prosedur yang dijalani oleh pihak STP pun dinilai memenuhi unsur kelayakan untuk selanjutnya diusulkan ke tingkat yang lebih tinggi.

"Karena suport inilah, kami datang untuk melakukan peninjauan lapangan berupa visitasi, yang hasilnya nanti akan kami laporkan pada Menpan sebagai bagian dari persyaratan pendirian perguruan tinggi negeri," ungkap Nanik Murwati S.E., M.A.

Sesuai Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 17 Tahun 2014 tentang Pendirian Perguruan Tinggi Negeri disebutkan bahwa pembentukan perguruan tinggi baru harus memenuhi persyaratan, yakni tersedianya lahan yang bersertifikat yang disediakan oleh Pemda setempat, tersedianya dosen dan tenaga pengajar, tersedianya sarana dan prasarana pendukung penyelenggaraan perguruan tinggi sesuai dengan standar nasional perguruan tinggi, serta mendapat rekomendasi pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota.

Untuk tahap ini, dijelaskan oleh ketua STP, Gubernur Kalimantan Barat menyanggupi penyediaan lahan yang dibutuhkan untuk pembangunan STP St. Agustinus Pontianak dan mendukung penyelenggaraan lembaga tersebut bila nanti ditetapkan sebagai PTKN.

Dalam visitasi tersebut, tim beraudiensi dengan Gubernur Kalimantan Barat, yang bertujuan mengetahui sikap Gubernur terhadap layanan pendidikan keagamaan yang berkualitas. Audiensi yang berlangsung di ruang kerja Gubernur Cornelis M.H. ini dihadiri seluruh tim visitasi, termasuk Pembimas Katolik Kanwil Kementerian Agama RI Provinsi Kalimantan Barat berserta pengelola STP.

"Kami mendukung upaya perubahan ini sebagai peningkatan layanan pendidikan agama Katolik kepada para siswa Katolik di Provinsi Kalimantan Barat. Bila lembaga ini berubah menjadi negeri, kan memudahkan pengangkatan pengajar agama Katolik bagi sekolah-sekolah maupun perguruan tinggi di Kalimantan Barat," ujar Gubernur seperti disampaikan Sub Bagian Sistem Informasi, Ditjen Bimas Katolik Kementerian Agama kepada Netralnews.com di Jakarta, Rabu (6/4/2016).

Sumber: ‎http://indonesia.ucanews.com/2016/04/08/segera-berdiri-ptn-katolik-pertama-di-indonesia/?utm_source=dlvr.it&utm_medium=facebook 
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.