Salam Damai Kristus,

Sebuah kontribusi para mantan frater, pastor, suster, bruder, dll bagi pembangunan kehidupan bersama yang lebih baik. Kirimkan artikel apa saja yang mau ditampilkan pada blog ini ke email: mantan.frater09@gmail.com Atas kunjungannya, terima kasih.

Senin, 01 April 2013

Hari Minggu di Vatikan (Trias Kuncahyono)

Trias Kuncahyono

Dengan suara penuh perasaan, pertanyaan itu disampaikan kepada sekitar 250.000 orang yang berkumpul di Lapangan Santo Petrus, Vatikan, hari Minggu (31/3). Sebenarnya, ketika disiarkan oleh televisi jaringan internasional, oleh radio, kantor berita, dan jejaring media sosial lainnya, pertanyaan itu tersebar ke seluruh dunia, didengar, dibaca oleh begitu banyak orang.

"Berapa banyak darah lagi yang harus ditumpahkan sampai akhirnya solusi politik dapat dicapai? Dan, seberapa berat lagi penderitaan harus disandang sampai solusi politik terhadap krisis itu ditemukan?"

Dua pertanyaan itu dikemukakan Paus Fransiskus dalam pesan Paskah-nya ketika menyinggung soal krisis Suriah. Namun, siapa yang bisa menjawab pertanyaan Fransiskus itu? PBB tak berdaya. Usaha Dewan Keamanan PBB untuk menjatuhkan sanksi dihadang veto Rusia dan China. Dua utusan khusus PBB urusan Suriah—Kofi Annan dan Lakhdar Braihimi—tak berdaya pula menghadapi kokohnya sikap Presiden Bashar al-Assad.

Liga Arab—Suriah salah satu negara anggotanya—yang sudah menskors Suriah dan bahkan mendukung kelompok oposisi bersenjata, juga tak mampu menghentikan pertumpahan darah. Langkah Liga Arab bahkan dihadang Rusia dan Iran, dianggap terlalu tergesa-gesa mengakui kelompok oposisi.

AS dan NATO pun setengah-setengah mendukung Turki memperkuat diri untuk menghadapi kemungkinan rudal Suriah nyasar dan menangani pengungsi. Seruan agar Assad turun sudah banyak dilakukan berbagai pihak. Namun, mana ada seorang penguasa disuruh mundur begitu saja.

Ketika masyarakat dunia masih sibuk berdiskusi, berdebat, dan bersidang, jumlah korban tewas terus bertambah. Pada akhir 2011 (perang saudara pecah bulan Maret 2011), jumlah korban tewas "baru" 4.000 orang. Akan tetapi, saat ini, setelah 25 bulan, korban tewas sudah mencapai 70.000 orang. Sementara ribuan orang lainnya mengungsi, kehilangan tempat tinggal, dan tercerai-berai.

Lalu, apa arti seruan Paus Fransiskus itu kalau teriakan dan ancaman negara-negara yang punya kuasa dan kekuatan pun tidak diambil pusing? Paus sebagai pemimpin agama berkewajiban untuk terus mengingatkan betapa penting perdamaian itu.

Ia memiliki tanggung jawab bagi ditegakkannya keadilan dan menentang segala bentuk upaya kesewenang-wenangan kekuasaan. Ia punya peran agar kebenaran tidak diabaikan, pembelaan akan kemanusiaan tidak dilalaikan—karena itu mengingatkan betapa banyaknya pengungsi yang membutuhkan bantuan—dalam percaturan politik sehingga segala bentuk anarki dan tirani disingkirkan, termasuk anarki dan tirani kekuasaan.

Baginya, perdamaian bukanlah sekadar berarti tiadanya konflik bersenjata, melainkan terciptanya situasi saat akhirnya kebenaran akan kemanusiaan sejati dihargai dan diwujudkan. Itulah sebabnya ia menyerukan "ubahlah kebencian menjadi cinta, balas dendam menjadi pengampunan, perang menjadi damai". Apakah mereka yang bertikai, bermusuhan, mendengarkan semua itu? Hanya mereka yang tahu.

(Kompas cetak, 2 April 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan memberikan komentar