Salam Damai Kristus,

Sebuah kontribusi para mantan frater, pastor, suster, bruder, dll bagi pembangunan kehidupan bersama yang lebih baik. Kirimkan artikel apa saja yang mau ditampilkan pada blog ini ke email: mantan.frater09@gmail.com Atas kunjungannya, terima kasih.

Selasa, 01 Oktober 2013

Penunjuk Arah ke Depan (tentang Paus Fransiskus)

THE TABLET
THE INTERNATIONAL CATHOLIC WEEKLY
Founded in 1840
 
SIGNPOSTS TO THE FUTURE
 
(Panunjuk Arah ke Depan)
 
Belum pernah seorang Paus baru memaparkan di hadapan seluruh umat katolik tentang dirinya sendiri dan tentang harapan-harapannya seperti yang dilakukan oleh Paus Fransiskus ini, dan membiarkan dirinya untuk dinilai kekuatan dan kelemahannya.
 
Ini merupakan salah satu strategi Paus untuk membuat reformasi (reform) dan pembaruan (renewal), ketika Paus menjelaskan secara panjang lebar dalam wawancara dengan editor majalan Jesuit La Civiltà Cattolica yang dipublikasikan minggu lalu secara simultan dalam pelbagai publikasi Jesuit di seluruh dunia dan melalui media on-line.
 
Paus mengajar dengan memberi contoh. Paus mengatakan kepada Pastor Antonio Spadaro SJ bahwa yang pertama harus diperbarui adalah "sikap" (attitude). Reformasi struktural menyusul kemudian, menunggu sampai sikap berubah menjadi baru. Paus sangat terus terang mengenai perubahan sikap yang diperlukan itu. "Para pelayan Injil haruslah orang-orang yang dapat menghangatkan hati umat...Umat Allah membutuhkan pastores (gembala-gembala) bukan klerus yang bertindak sebagai birokrat atau pejabat pemerintah."
 
Hal itu sangat jelas dari pernyataan yang banyak dikutip tentang prioritas Gereja: "Kita tidak bisa menekankan masalah-masalah yang berkaitan dengan abortus, perkawinan homo, dan penggunaan kontrasepsi...Ajaran Gereja mengenai hal-hal itu sudah jelas, dan saya adalah putera Gereja, namun tidak perlu untuk selalu bicara tentang hal-hal itu sepanjang waktu."
 
Tetapi ada banyak bagian umat katolik di dunia – khususnya di Amerika – di mana banyak uskup telah diangkat dengan alasan memiliki keutamaan dalam membela hal-hal itu, dan mereka menempatkan issue-issue tersebut dalam pusat pewartaan mereka dan dalam dialog dengan pemerintah. Dengan singkat dapat dikatakan, Paus Fransiskus telah menekan tombol reset (Francis, in a phrase, has pressed the reset button).
 
Dan hasilnya ialah bahwa strategi itu mengakibatkan seluruh generasi pemimpin katolik di banyak tempat di dunia ini menjadi obsolete (kedaluwarsa/tidak berguna) – dan generasi para pemimpin itu terkenal karena keengganan mereka untuk mengambil resiko demi kesetiaan mereka untuk mengikuti garis Vatikan. Sungguh, barangkali tidak akan ada lagi garis semacam itu di masa depan.
 
Paus menegaskan berulang kali dalam interview itu bahwa ia menginginkan devaluasi kekuasaan secara substansial mulai dari pusat Gereja, dan bahwa ajaran Gereja tidak boleh lagi dirumuskan tanpa memperhitungkan konteksnya, yang berarti harus memperhitungkan situasi personal dan budaya lokal ( and that teaching should no longer be formulated without regard to its context, which must mean personal circumstances and local culture)
 
Sebagai Jesuit yang terbiasa dengan "latihan rohani" discerment adalah sangat penting bagi Paus, dan discernment itu menuntut perlunya konsultasi luas. Sebagai Paus yang memiliki spiritualitas Ignatian, ia melihat seluruh dunia bukan sebagai hal jahat (hostile), seolah-olah menjadi musuh yang membahayakan iman dan terhadap dunia itu iman katolik harus dilindungi.
 
 Paus mengatakan, "Dalam usaha untuk mencari dan berjumpa dengan Allah di dalam segala-sesuatu, masih ada wilayah ketidakpastian...Kita harus masuk ke dalam pengembaraan/petualangan itu (the adventure) pencarian untuk menjumpai Allah,  atau lebih tepat: kita perlu membiarkan Allah mencari dan menemukan kita."
 
Penegasan Paus itu bukan infallibilis ( tak dapat sesat). Paus mau menegaskan bahwa untuk mengakui adanya suatu perubahan internal dalam kultur katolik, suatu spiritualitas baru, sungguh diperlukan suaru reformasi struktural, jika pembaruan itu akan efektif dan tahan lama.
 
Secara historis sulitnya perubahan itu menjelaskan mengapa reformasi yang digulirkan oleh Konsili Vatikan II segera dihadang (stymied) oleh bentuk baru kekuasaan Paus disebabkan oleh kepanikan bahwa segala-sesuatu akan berubah secara lepas kendali (kebablasan).
 
Prioritas pada perubahan sikap itu mungkin menjelaskan mengapa Paus tidak memilih topik dalam interview itu mengenai tema-tema yang begitu mendesak dalam reformasi Gereja, seperti misalnya perlunya review dan revisi independent tentang prosedur Vatikan mengenai perlindungan anak baik menyangkut klerus yang dianggap bertanggungjawab, maupun bagaimana penanganannya menyangkut kasus-kasus yang terjadi di mana saja.
 
Atau tentang ajaran-ajaran Gereja atau tentang korupsi di Vatikan. Masalah-masalah itu tetap ada di sana (They are still there). Jelaskah bahwa diperlukan konsultasi lebih luas dan discerment lebih mendalam sebelum Paus melaksanakan pembaruan menyangkut masalah-masalah itu.
 

Namun tanda-tanda unik yang menyiratkan pikiran Paus telah membangkitkan kepercayaan bahwa Paus tahu apa yang sedang ia lakukan, dan bahwa Injil ada di dalam pusat pembaruan itu. Tetapi apakah para kardinal mengerti apa yang akan mereka kerjakan ketika mereka ditunjuk oleh Paus secara mengejutkan enam bulan lalu. Pertanyaan itu ditanyakan oleh para kardinal itu sendiri kepada diri mereka masing-masing.

Sumber: milis Mitra Hukum
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan memberikan komentar