Salam Damai Kristus,

Sebuah kontribusi para mantan frater, pastor, suster, bruder, dll bagi pembangunan kehidupan bersama yang lebih baik. Kirimkan artikel apa saja yang mau ditampilkan pada blog ini ke email: mantan.frater09@gmail.com Atas kunjungannya, terima kasih.

Minggu, 27 Maret 2016

PESANTREN BABAKAN CIWARINGIN: 300 Tahun Merawat Keindonesiaan (SUSI IVVATY)

Ratusan santri bersama para kiai dan warga setempat melantunkan tahlil secara berjemaah dalam acara tahlil akbar di Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin, Cirebon, Jumat (25/3). Ada yang bersuara merdu, ada pula yang fals, tetapi yakin dan lantang.
Para santriwati bersalawat di Pondok Raudlatul Banat Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon. Pesantren berulang tahun ke 300.
KOMPAS/SUSI IVVATYPara santriwati bersalawat di Pondok Raudlatul Banat Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon. Pesantren berulang tahun ke 300.

Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin, Cirebon, Jawa Barat, merayakan 300 tahun keberadaannya. Haul (ulang tahun) tiga abad menjadi momen untuk meneguhkan kontribusi pesantren pada pendidikan dan kebangsaan.

Suasana mengharukan terjadi ketika sejumlah santri dan alumnus Pondok Pesantren Babakan membacakan deklarasi pada puncak haul, Sabtu (26/3), yang dihadiri Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Said Aqil Siroj.

Ada enam butir deklarasi. "Kami santri dan alumni Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin, Cirebon, berikrar, berpegang teguh dan mengamalkan ajaran Islamahlus sunnah waljamaah dan Nahdlatul Ulama. Setia dan mengamalkan Pancasila, UUD 45, menghormati keberagaman bangsa Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika, serta bertekad menjadi keutuhan NKRI".

"Menolak segala bentuk paham dan ajaran radikal/ekstrem di seluruh NKRI. Mencintai, menghormati, dan patuh pada ulama serta masyayikh (para pengasuh/ketua) Ponpes Babakan Ciwaringin, Cirebon. Berkhidmat dan menjaga harkat martabat serta kebesaran pesantren untuk kejayaan umat dan kemajuan bangsa Indonesia".

Tidak hanya santri yang larut dalam kemeriahan acara yang digelar pada 20-26 Maret 2016 itu. Para alumnus, para wali santri dari sejumlah daerah, dan warga di sekitar pesantren pun turut berbahagia. Mereka tidak hanya mengikuti kegiatan haul, tetapi juga menikmati masakan khas Cirebon nan lezat dengan sambal pedas yang disajikan warga dan pengasuh pesantren. Suasananya guyub.

Haul pesantren sebetulnya jatuh pada 2015, tetapi perayaan tiga abad baru sempat dihelat tahun ini. Kompleks pesantren sesak dan riuh. Maklum, kompleks seluas lebih dari 47 hektar itu memiliki sekitar 50 pondok atau asrama dengan nama-nama berbeda. Nama paling masyhur adalah Raudlatuth Tholibin, pondok tertua di Babakan Ciwaringin yang didirikan KH Hasanuddin atau Kiai Jatira, pada 1715 Masehi. Nama lain di antaranya Mualimin Mualimat, Kebon Jambu, Al Hikamus Salafiyah, Al Kautsar, dan Raudlatul Banat. Kini, jumlah santri/santriwati mencapai 6.000 orang.

Ketua Panitia Haul 300 Tahun Pesantren Babakan Ciwaringin Ahmad Najiyullah Fauzi al-Azizi mengatakan, setelah 300 tahun berdiri, pesantren ingin terus berkontribusi pada keutuhan negara, sama seperti ketika sejumlah ulama pesantren turut berperang pada masa prakemerdekaan. "Menyikapi isu-isu radikalisme, pesantren tetap eksis dengan tetap memelihara nilai-nilai pesantren? dan kekhasan program kami, yaitu kajian kitab kuning," ujarnya.

Dalam buku Sejarah Babakan Ciwaringin dan Perang Nasional Kedongdong (2014) karya Zamzami Amin terdapat beberapa bukti mengenai umur pesantren yang didirikan pada  1715 Masehi ini. Salah satunya nasab atau tinjauan genealogi. Setelah Hasanuddin meninggal, pesantren diteruskan oleh menantunya, Nawawi, bersama karibnya, Adzro'i. Mulai 1916, pesantren diasuh Amien Sepuh yang merupakan keturunan Sunan Gunung Jati.?

Menjaga ritual

Ritual harian pesantren tetap berjalan seperti biasa, sementara sebagian santri sibuk menjadi panitia. Para santri dan santriwati membaca shalawat berjemaah seusai shalat Ashar. Sebagian santri membaca kitab kuning seusai Maghrib. Setelah Isya, para santri yang bersekolah di madrasah menyiapkan pelajaran buat esok hari. Tidak semua santri di Pesantren Babakan Ciwaringin bersekolah di madrasah karena memang hanya ingin mondok. Sebaliknya, madrasah tidak hanya diisi oleh santri-santri pesantren, tetapi juga masyarakat sekitar.

Rifka, siswi kelas dua Jurusan IPA di Madrasah Aliyah Negeri 2 Babakan Ciwaringin, termasuk seorang yang mondok sekaligus bersekolah di Babakan Ciwaringin. Begitu pula dengan Annida, siswa kelas satu aliyah jurusan bahasa yang asal Kabupaten Subang, Jabar. Kegiatannya padat sejak menjelang subuh. Membaca Al Quran, sekolah, shalat berjemaah, mengaji, dan belajar mata pelajaran umum. Hari libur ia gunakan untuk mencuci pakaian.

"Saya sejak SMP sudah mondokSMP di Kebumen, SMA di Babakan. Saya sendiri yang minta kepada orangtua untuk mondok. Selain mendapat pelajaran agama dan diajari membaca kitab,mondok itu manfaatnya banyak sekali," kata Rifka, asal Cilacap, Jateng.

Apa saja manfaatnya? "Kami jadi tahu? artinya kebersamaan. Saling berbagi, berkorban, dan toleransi. Ya, tidak mudah. Kami juga pernah saling marah, bahkan nangis. Tapi karena kami berada di satu kamar atau asrama, akhirnya semua terselesaikan," lanjut Rifka, yang tinggal di satu kamar bersama 23 teman lain di Raudlatul Banat.

Ritual khas pesantren menjadi sesuatu yang terus dijaga, seperti tahlil, sebagai cara untuk mendoakan mereka yang telah meninggal. Sebentuk cara menghormati para guru yang berjasa dan telah tiada. Tahlil juga sebagai pengingat mati, mengajarkan sikap rendah hati. Zikir adalah ritual mendekatkan diri kepada Tuhan pencipta alam semesta. Kajian kitab kuning juga menjadi andalan hampir di semua pesantren, termasuk di Babakan Ciwaringin.

Pengasuh Pondok Pesantren Dar al-Tauhid Arjawinangun, Cirebon, Husein Muhammad, berpendapat, pesantren-pesantren mempunyai satu hal yang sama yang terus dilakukan, yakni menjaga tradisi lokal. Tradisi sudah menjadi praktik kehidupan, seperti haul, tahlil, dan ziarah kubur. Bagaimana relasi antara guru dan santri sangat kuat hingga ke anak dan cucu. ??

Syakur Yasin, alumnus Pesantren Babakan Ciwaringin yang kini mengasuh Pesantren Candang Pinggan, Kabupaten Indramayu, punya jawaban untuk pertanyaan mengapa pesantren mampu menangkal radikalisme. Salah satunya, para santri dibekali ilmu yang komprehensif serta cara menempatkan ayat di dalam konteks.

Seorang anak kecil bilang kepada ibunya, "Saya bisa makan sendiri." Artinya, saya tidak perlu disuapi. Jika 30 tahun kemudian anak itu pulang dan bilang kepada ibunya, "Saya bisa makan sendiri," maksudnya adalah saya sudah bisa mencari uang sendiri.

"Kata-katanya sama, tapi konteks berbeda. Jadi menginterpretasikan sesuatu harus berdasarkan konteksnya, supaya tidak salah," ujar Syakur.

Mengapa ada sebagian orang yang lantas memberontak? "Mereka saya kira telah terpengaruh paham luar. Tak pernah ada cerita pesantren di Indonesia berperan dalam gerakan radikalisme," kata Husein.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Maret 2016, di halaman 1 dengan judul "300 Tahun Merawat Keindonesiaan".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan memberikan komentar