Paus disebut sebagai "penyelamat" karena telah menawarkan kepada mereka sebuah kehidupan baru di Vatikan. Ini merupakan gerakan simbolik yang bisa ditarik sebagai pelajaran dalam solidaritas untuk Eropa. Paus Fransiskus sendiri adalah anak dari keluarga Italia yang kemudian bermigrasi ke Argentina.
"Semua pengungsi adalah anak-anak Allah," kata Paus yang berusia 79 tahun itu saat terbang kembali ke Roma, Italia. Dalam wawancara dengan harian Italia,La Stampa, tiga keluarga pengungsi asal Suriah menyampaikan terima kasih kepada Paus.
Mereka menghabiskan malam pertama di asrama penampungan Katolik di Roma. Para pengungsi Suriah itu menyebut apa yang dilakukan oleh Paus adalah sebuah harapan.
"Kami melihat teman-teman dan keluarga yang meninggal. Kami mengungsi dari Suriah karena tak ada lagi harapan bagi kami di sana," kata Hasan, insinyur asal Damaskus yang mengungsi bersama istrinya, Nour, dan anak laki-laki mereka yang masih berusia dua tahun.
Ia lalu bercerita perjalanan keluarganya mengungsi dari Suriah. Setelah mengungsi ke Turki, Hasan dan keluarga bergabung dengan rombongan migran menuju Eropa, berjejalan dalam perahu karet berangkat dari pantai Turki menuju Yunani.
"Namun, perahu karet itu terlalu penuh penumpang," kenang Hasan. Saat malam hari, dalam kegelapan gulita di tengah laut, gelombang laut mengguncang perahu karet mereka.
Penjara di Lesbos
"Di Lesbos, kami tahu, kami terjebak di tempat di mana kami tak bisa pergi, itu sebuah penjara," kata Hasan. Ia menyebut Paus sebagai "penyelamat" karena telah membawa mereka keluar dari Pulau Lesbos.
Berdasarkan kesepakatan deportasi yang belum lama ini dicapai antara Uni Eropa dan Turki, ribuan migran berisiko dikirim kembali ke Turki.
Wafa, yang juga dibawa Paus ke Vatikan bersama suaminya, Obama; anak perempuan, Masa (9), serta anak laki-laki, Omar (6), menggambarkan rumahnya yang jadi target serangan.
"Sejak itu anak laki-laki saya jarang bicara. Ia sering terdiam," kata Wafa. Keluarga Wafa berasal dari Zamalka, wilayah pinggiran Damaskus. "Tetapi, kami tahu, kami telah mengambil keputusan yang tepat. Paus Fransiskus telah memberi kami kehidupan baru."
Ramy (51), guru di kota Deir Ezzor yang dikuasai milisi Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), mengungsi bersama istrinya, Suhila, serta tiga anak mereka: Rashid (18), Abdelmajid (16), dan anak perempuannya, Al Quds (7), setelah rumah mereka rusak akibat perang.
"Kami sangat berterima kasih kepada Paus. Kami akan membuktikan bahwa diri kami layak untuk kesempatan dan hadiah yang telah Paus berikan kepada kami," kata Ramy kepada La Stampa.
Tiga keluarga pengungsi Suriah, yang semula berencana untuk mencapai Jerman atau negara lain di Eropa, kini sedang menanti suaka di Italia. Kehadiran mereka menggenapi jumlah pengungsi sebanyak 20 orang di Vatikan. Tahun lalu, Paus Fransiskus mengimbau setiap keuskupan Katolik di Eropa menerima satu keluarga pengungsi.
Dalam kunjungan ke Pulau Lesbos, Sabtu, Paus bertemu dengan perwakilan pengungsi. Beberapa dari mereka berurai air mata saat Paus mendengar curahan hati mereka.
Beberapa migran lain memegang poster bertuliskan "Kami ingin kebebasan", "Biarkan orang kami pergi", dan "Paus, bebaskan kami".
"Kalian tidak sendirian. Jangan berputus asa," kata Paus.
Paus menekankan, masalah migran bukanlah soal angka-angka, melainkan orang dengan wajah, nama, dan cerita-cerita individu yang dimangsa "penjahat tak bermoral". Ia juga menyerukan tindakan tegas mengatasi perdagangan manusia.
"Dunia akan dinilai dari cara mereka memperlakukan kalian. Dan kami semua akan bertanggung jawab atas cara merespons krisis ini dan konflik di kawasan tempat asal kalian," ujar Paus.
(AFP/SAM/LOK)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 April 2016, di halaman 9 dengan judul "Paus Bawa 12 Pengungsi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberikan komentar