Salam Damai Kristus,

Sebuah kontribusi para mantan frater, pastor, suster, bruder, dll bagi pembangunan kehidupan bersama yang lebih baik. Kirimkan artikel apa saja yang mau ditampilkan pada blog ini ke email: mantan.frater09@gmail.com Atas kunjungannya, terima kasih.

Minggu, 17 Februari 2013

Gereja

Minggu, 17 Februari 2013
Jemaat makin tak terlihat di negeri kelahiran Paus Benediktus XVI yang
mengundurkan diri.
Peribadatan lengang. Gereja-gereja jadi gedung menganggur yang harus
dibongkar. Majalah *Der Spiegel* 14 Februari yang lalu mencatat: di Jerman,
selain di wilayah Protestan, juga di Bavaria yang Katolik, misa tak ramai
lagi.
Di Börssum, di Niedersachsen, cuma 5% penduduk yang datang ke misa di
Gereja Santo Bernward tiap Minggu (sementara biaya perawatan mencapai €
134.500). Kesimpulan: gereja yang hanya makan ongkos itu harus dirobohkan.
Lain lagi biara St. Maximin di Trier: jadi tempat olahraga sekolah.
Herz-Jesu-Kirche di Kaltenberg: tempat latihan dansa dan pilates. Di Essen,
ada 83 rumah peribadatan Katolik yang harus diratakan dengan tanah.
Pastor Michael Kemper ingat ia memimpin misa Corpus Christi terakhir di
Duisburg. Dengan sayu ia mengenang bagaimana dulu ia berjalan di bawah
kanopi altar, dengan jubahnya yang berwarna pucat, melewati barisan umat
yang makin muram. "Menutup gereja ini membuat saya sakit," ia berkata.
Tapi barangkali telah tiba suatu tanda, bukan tentang akhir zaman,
melainkan tentang satu "pandangan dunia yang punah, sebuah kebudayaan yang
melenyap", untuk meminjam kata-kata Octavio Paz. Penyair ini berbicara
tentang satu bagian sejarah Meksiko, negerinya, dan bukan tentang nasib
Gereja Katolikâ€"tapi di sana juga, gereja itu kini terasa jadi satu *visión
del mundo* yang sedang kehilangan daya hidup.
Roberto Blancarte, seorang sosiolog dan sejarawan, (dikutip *Latin American
Herald Tribune* 15 Februari) mencatat bahwa lebih dari 1.000 orang di
Meksiko meninggalkan Gereja tiap hari selama dasawarsa terakhir.
Tentu, di tempat lain, di Asia misalnya, Gereja Katolik masih kukuh dan
penuh. Tapi tahun ini di mana-mana seakan-akan ditandai seorang Paus yang
tua dan kelelahan hingga mengundurkan diri. Di abad macam ini, seberapa
kuatkah Gereja sebenarnya? "Paus, berapa batalion dia punya?"
Pada 1944, itu pertanyaan Stalin, seorang komunis yang menganggap agama
hanya takhayul. Agaknya ia hendak mencemooh, atau ia heran, bahwa
negara-negara pemenang Perang Dunia II macam Inggris sangat memperhitungkan
sikap sebuah negeri seluas 44 hektare yang cuma didiami 800 manusia yang
tak punya tentara: Vatikan.
Dengan kata lain, Stalin mungkin tak paham makna "ikonik" kota kecil Italia
itu. Sang pemimpin Kremlin hidup di masa ketika bedil dan batalion
pasukanâ€"yang begitu fisik dan begitu langsung efektifâ€"menentukan
kekuasaan.
Tapi bukan salah dia agaknya. Sejarah posisi Paus adalah sejarah yang rumit
tentang silih-bergantinya yang fisik dengan yang "ikonik".
Pada mulanya adalah sebuah ketegangan. Yesus berpesan bahwa para murid
adalah sesama saudara. Jangan memanggil siapa pun "Rabi" atau "Bapa",
katanya, karena "hanya satu Bapamu, yaitu Bapa yang di Surga". Tapi selama
tiga abad pertama Masehi, ada sekitar seratus aliran kepercayaan
Kristenâ€"dan pelan-pelan diperlukan "bapa" yang mengelola perbedaan.
Perbedaan itu makin kompleks terutama setelah Paulus menyatakan bahwa hukum
Taurat tak memadai. Baginya, ajaran Yesusâ€"yang berakar pada
Yudaismeâ€"terbuka meliputi Yahudi maupun Yunani, budak maupun tuan, pria
ataupun wanita.
Universalitas yang dikumandangkan Paulus (di zaman ini ditirukan bahkan
oleh seorang atheis seperti Alain Badiou) menggugah. Tapi keanekaragaman
yang tercakup bisa membingungkan. Tak jarang aliran yang satu mengutuk
aliran yang lainâ€"satu hal yang juga terjadi dalam agama lain, Islam
ataupun Buddhisme. Apalagi di masa itu belum ada pusat yang menentukan.
Menurut Will Durant dalam *The Story of Civilization,* yang disebut papa
(kemudian jadi *pope,* "paus") adalah tiap uskup di sebuah wilayah. Belum
ada yang berkuasa atas yang lain.
Tapi berangsur-angsur, ada kebutuhan rupanya. Berangsur-angsur, uskup dari
Roma didengar dan dipandang. Roma punya makna "ikonik" sebelum fisik. Di
sanalah Rasul Petrus dulu membangun gereja. Memang tak serta-merta makna
"ikonik" itu efektif. Pada 218, ketika Callistus ditunjuk jadi pemimpin
Gereja Roma, perpecahan terjadi.
Tapi sejarah berpihak kepadanya. Roma, di mana bangunan politik yang kukuh
beberapa abad berdiri, mengajarkan kepada Gereja gabungan antara yang
"ikonik" dan kekuatan fisik: organisasi. Ketika penguasa politik Romawi
merosot peran dan wibawanya, Gereja Roma mengambil alih perannya.
Salah satu momen yang menentukan di abad ke-8, ketika Roma terancam
serangan dari Lombardia dan Charlemagne, raja bangsa Franka,
menyelamatkannya. Di malam Natal 800, sang raja mendapat imbalan: berkah
Tuhan. Ia berlutut di depan Paus Leo III. Di atas kepalanya, uskup Roma itu
memasang mahkota Imperium Eropa Barat.
Tradisi ini berlangsung sampai berabad-abad kemudian. Tapi gabungan yang
"ikonik" dan yang fisik mencapai puncaknya ketika sebuah dokumen palsu
dibuat: di situ dicantumkan bahwa kepada Paus dihibahkan otoritas,
kekayaan, dan wilayah kemaharajaan Roma oleh Raja Konstantin. Bahwa dokumen
palsu tentang hibah itu dibuat di abad ke-8, sekian abad setelah Konstantin
mangkat, menunjukkan: kekuasaan fisik memerlukan sesuatu yang
lainâ€"pengesahan dari masa lalu yang gemilang.
Kekuasaan fisik itu kemudian menciut ketika abad ke-20 yang nasionalistis
datang. Yang tinggal, dan dicoba dikukuhkan, adalah makna "ikonik".
Makna ini dibentuk mithos dan ingatan orang ramai tentang mithos itu. Tapi
ia juga dikekalkan oleh panggilan yang di awal sejarah agama Kristen sangat
kuat: panggilan keadilan dan kebebasan. Ketika panggilan itu mengalami
distorsi, di abad ke-21 tak banyak gembala yang datang lagi.
*Goenawan Mohamad*

Powered by Telkomsel BlackBerry®


















Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan memberikan komentar