Salam Damai Kristus,

Sebuah kontribusi para mantan frater, pastor, suster, bruder, dll bagi pembangunan kehidupan bersama yang lebih baik. Kirimkan artikel apa saja yang mau ditampilkan pada blog ini ke email: mantan.frater09@gmail.com Atas kunjungannya, terima kasih.

Senin, 11 Maret 2013

Konklaf dan Relativisme Jarak (Justinus Prastowo)

Tak hanya umat Katolik tapi juga sebagian besar warga dunia kini penasaran dengan apa yang terjadi di Vatikan yaitu konklaf. Saya sendiri yakin bahwa perhatian yang sedemikian besar bukan lantaran magnet Vatikan atau Gereja Katolik dalam konstelasi tata hubungan internasional. Diakui, pengaruh
Gereja dalam kehidupan sehari-hari semakin memudar apalagi di Barat. Makin sedikit umat yang datang ke misa mingguan. Tak ada lagi keagungan pesta agama yang dirayakan dengan sakral. Natal yang meriah pun lebih lantaran tradisi yang berabad-abad lekat dengan kehidupan masyarakat Barat. Jika masih tersisa, kristianitas tentu saja masih hidup di beberapa partai Kristen di Eropa.

Amerika Serikat mungkin kekecualian. Negara ini memang tak pernah memiliki sejarah memusuhi agama, meski tegangan agama dan moral
publik tak jarang muncul. Kehadiran umat pada ibadat mingguan cukup tinggi dan agama kerap kali hadir sebagai bagian dari diskursus publik jika terkait isu-isu sensitif: kontrasepsi, aborsi, teknologisasi genetika, moralitas perkawinan dan intervensi negara.


Lalu apa yang membedakan konklaf kali ini dengan konklaf sebelumnya? Jika sedikit kembali ke belakang, konklaf 2005 sejatinya tak begitu meriah.

Penyebabnya barangkali dua hal. Pertama, suasana perkabungan pascawafat Paus Yohanes Paulus II yang agung itu dan kedua besar kemungkinan kandidat pengganti Paus tak jauh dari lingkaran dalam JP II yang mengerucut pada Kardinal Ratzinger.

Ini tentu agak berbeda dengan konklaf kali ini. Paus Benediktus XVI mengundurkan diri, di luar dugaan banyak pihak karena sangat jarang
terjadi. Spekulasi pun merebak terkait penyebab Paus mundur. Faktor
kesehatan, rasa malu dan bersalah karena berbagai penyimpangan di Gereja, atau lantaran ingin menjadi kingmaker bagi penerusnya agar bisa dipastikan ideologi Gereja beberapa waktu mendatang tetap pada jalur yang dipilihnya?

Munculnya berbagai dugaan spekulatif di luar alasan resmi Paus sendiri
memang hal yang lumrah. Kita lalu patut menilik pembeda lain konklaf 2013 dan 2005.

Satu hal penting adalah social media. Facebook, jejaring sosial terbesar baru berdiri 2004 dan pada 2005 praktis masih sangat baru, tak sebesar beberapa tahun terakhir. Kini facebook memiliki pengguna lebih dari satu milyar atau 20 persen dari penduduk dunia. Twitter, jejaring sosial terbesar kedua baru didirikan 2006. Dari sini saja kita lalu paham betapa faktor pembiakan informasi termasuk pengkondisian "trending topic" sangat
efektif dilakukan situs jejaring sosial ini. Kini berlaku hukum "apa yang
digemari adalah apa yang paling banyak diberitakan".

Adakah yang salah dengan Facebook dan twitter? Tentu tidak. Catatan ini
ingin menjauhkan dari anasir benar-salah yang dikotomis dan seringkali
menipu. Tapi satu hal patut kita perhatikan: relativitas jarak akibat
revolusi teknologi. Jika pada fase konvensional kategori ruang-waktu itu
dipahami linier dan menyatu, kini agaknya perlu dipikir ulang. Apabila dulu jarak antara Jakarta-Semarang bisa diukur dengan waktu tempuh bus malam, kereta cepat atau pesawat udara, kini bahkan jarak Jakarta-New York dapat dihitung dalam kejapan seper sekian detik tanpa perpindahan fisik.

Transaksi finansial ribuan trilyun Jakarta-New York-London bisa dilakukan
dengan mudah dan cepat melebihi kecepatan pengiriman uang melalui transfer atau wesel pos ke Semarang atau Wonogiri.

Lantas apa persoalannya? Jangan-jangan perubahan cara berinteraksi yang bergeser dari kesatuan ruang-waktu menjadi tercabutnya waktu dari ruang ini juga berdampak pada "jarak" atau intimitas manusia-manusianya. Atau dengan kata lain, mungkinkah jarak antara SBY dan Obama atau Merkel memang lebih dekat dibandingkan jarak SBY dengan Bupati Wonogiri atau Walikota Jayapura?

Atau jika diambil contoh dari praktik agama, mungkinkah jarak Jakarta-Mekah atau Jakarta-Vatikan memang lebih dekat dibandingkan Jakarta-Palangkaraya atau Jakarta-Atambua? Atau bahkan interaksi antarbenua itu lebih cepat daripada kinerja panitia APP sekalipun dalam satu lingkungan atau paroki? Atau sepasang kekasih yang sedang mengikuti kanonik dan kursus perkawinan?

Lebih sederhana lagi: khotbah minggu pastor Paroki sudah banyak dimengerti
umatnya pada hari Kamis atau Jumat, saat mereka mengakses berbagai sumber di internet.


Daya virtual itu sungguh luar biasa bekerja. Jika demikian halnya, jangan-jangan memang istilah konklaf itu sendiri menjadi sedemikian akrab
di telinga dan benak kita bukan lantaran kita paham atau peduli, melainkan karena kita diserbu setiap detik melalui social media, internet, dan itulah satu-satunya hal penting bagi kita. Pada titik ini muncul persoalan serius. Ketika waktu dicabut dari ruang, saat roh dipisahkan dari tubuh, apa sejatinya realitas itu? Jika ia manusia, masihkan ia layak disebut manusia? Tanpa "materialitas", apakah realitas itu?

Itulah kegundahan saya akhir-akhir ini. Inflasi pemberitaan yang sedemikian
membuncah, tak jarang dangkal, tendensius bahkan acapkali memusuhi itu sangat mudah ditelan dan dicerna sebagai asupan kebenaran. Relativitas
jarak berujung pada relativisme kebenaran. Tapi lagi-lagi ini hanya
kekhawatiran. Pokok gagasan yang ingin saya ajukan adalah: bagaimana kita menyikapi arus dan corak interaksi yang seperti ini? Masihkah akan berharap pada model tradisional-konvensional? Bisa diperdebatkan.

Akhirnya saya hanya ingin meminjam analogi Inkarnasi itu sendiri. Allah
ketika ingin berbela rasa dengan manusia tidak sekedar duduk manis di sorga tetapi Ia harus menjadi manusia. Sabda itu harus menjadi daging. Apa yang imaterial itu menjadi material. Kemanusiaan atau realitas lantas dipahami dalam kesatuan tubuh-roh atau daging-spirit. Bila dianalogikan, aneka hantaman berita virtual yang menerpa kita harus disikapi dengan apa? Tentu saja dengan cara mematerialkannya, memberi "daging" agar bermakna. Itulah refleksi dan kontekstualisasi. Dua hal yang menjadi makin asing dalam khasanah spiritualitas kita.


Jika kedangkalan adalah hal yang ingin ditolak iman Kristen persis karena
ia menipu, menjadi klenik, ideologi semu, maka tugas kitalah melawannya. Tak justru surut mundur menyendiri, tapi maju ke gelanggang pertarungan ide dan perebutan pengaruh. Di situlah kita diuji, sungguhkah iman itu berisi ataukah sekedar tong kosong belaka?

Karenanya iman Kristen selalu
mengandaikan pengajaran. Butuh ketekunan untuk itu. Iman bukanlah perkara instan yang bisa dibeli secara online, digoogling atau disubkontrakkan. Iman adalah pertalian dengan perbuatan, "mendaging".


Saat ini kita diuji. Dalam magnet perhatian dunia yang begitu luas kepada konklaf dan Vatikan akibat massifnya teknologisasi komunikasi lewat social media – mampukan kita menghadirkan makna yang berbeda? Ataukah kita sekedar ikut bertaruh siapa paus terpilih, berapa putaran, pada hari ke berapa, atau dari benua mana.

'Isu di balik isu" itulah sejatinya harta karun yang harus diungkap dan dimengerti. Semoga masih cukup waktu untuk menimbang
atau memang jarak Jakarta-Vatikan sudah sangat dekat dan nyata melebihi jarak antara Jakarta-Cilincing atau Jakarta-Bantargebang, tempat begitu banyak sahabat Yesus meregang nyawa karena ditelantarkan begitu banyak tetangganya yang soleh dan beriman itu? Itulah kejeniusan Kristiani memilah "ilalang-gandum" dan "kambing-domba".

Walahualam.

salam

Justinus Prastowo
(Milis APIKatolik)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan memberikan komentar