Oleh:
Eduardus B. Sihaloho, S.Ag*
Sampai
dekade 90-an umum diketahui bahwa ada dua nama yang populer yang berkaitan
dengan penyuluh yakni Penyuluh Keluarga Berencana dan Penyuluh Pertanian. Hampir kebanyakan
anggota masyarakat tahu dan kenal dengan sebutan nama tersebut. Namun beberapa
tahun belakangan ini muncul beberapa jenis penyuluh. Salah satu berkaitan
dengan agama yakni penyuluh agama. Untuk kalangan Katolik nama itu disebut
Penyuluh Agama Katolik di bawah naungan Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Katolik (Ditjen Bimas Katolik- Kementerian Agama), yang termuat dalam
Keputusan MENKOWASBANGPAN, Nomor: 54/KEP/MK.WASPAN/9/1999. Tulisan ini
didasarkan pada keprihatinan bahwa kehadiran para penyuluh tersebut kurang
dapat diterima di kalangan Gereja, terutama di antara para imam dan Uskup.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa para penyuluh ini rata-rata adalah
bekas-bekas calon imam (frater), bekas bruder dan suster, bahkan ada yang bekas
diakon dan imam. Dari informasi yang kami rekam dalam dua kali pertemuan
nasional para penyuluh yang datang dari 33 provinsi di Indonesia pada tanggal
15-18 April 2010 di Bogor dan pada tanggal 7-10 Oktober 2010 di Batam situasi
kurang penerimaan itulah yang sedang terjadi. Situasi tersebut membuat
pelaksanaan tugas para Penyuluh Agama Katolik tidak bisa berjalan efektif,
karena kurang mendapat sambutan yang baik dari para Pimpinan Gereja, padahal
tugas mereka sangat membantu tugas-tugas pastoral di tengah umat.
Dari
Kumpulan “Terbuang” Kini Menjadi Pengajar Iman
Lewat
jarring informasi dan sharing pengalaman para Penyuluh Agama Katolik yang ikut
dalam kedua pertemuan di atas bahwa kehadiran mereka kurang diterima di
kalangan Gereja, terutama para imam dan Uskup. Memang nyata bahwa mayoritas
para Penyuluh Agama Katolik tersebut adalah bekas calon imam (frater), bekas
bruder dan suster, bahkan ada bekas diakon dan imam. Sangat sedikit dari antara
penyuluh tadi para awam yang berasal dari tamatan pendidikan tinggi Agama
Katolik. Kalau boleh dibuat persentasinya antara 90%:10%. Inilah gambarannya. Karena
kebanyakan penyuluh tersebut adalah “bekas-bekas” kaum berjubah, maka kami
menyebutnya “Kumpulan Terbuang”. Sebab memang terbuang dari ordo, serikat,
kongregasi atau keuskupan, tempat mereka dahulu menginkardinasikan dirinya. Mereka
terbuang, sebab tidak sampai pada tahap jenjang imamat, kaul kekal, atau bahkan
melepaskan diri dari kolegialitas imamat. Dalam arti tertentu, para penyuluh
tersebut telah mendapat cap yang tidak baik dan tidak bersih dalam komunitas
umat beriman. Bahkan mereka kerapkali dituduh penghianat, dibenci, dimaki,
dicueki, dikata-katai, dicemooh, disumpah serapahi, dan lain-lain, akibat dari
mereka telah terbuang dari komunitas kaum berjubah.
Apapun
cap atau tuduhan juga gelar yang ditujukan kepada para bekas-bekas kaum
berjubah tadi, namun situasi dan kondisi hidup mereka sekarang telah berbeda.
Di kalangan Gereja mereka telah memperoleh cap atau gelar yang kurang baik,
tetapi Negara saat ini telah memperlakukan dan menempatkan mereka terhormat di
tengah masyarakat menjadi Pegawai Negeri Sipil. Penyuluh Agama Katolik yang
berstatus PNS menerima tugas, tanggungjawab, dan wewenang yang penuh dari Negara RI
untuk melakukan kegiatan bimbingan keagamaan dan penyuluhan pembangunan melalui
bahasa agama. Selama ini pegawai negeri sipil yang memakai bahasa agama dalam
pelaksanaan tugasnya adalah guru agama. Namun kelompok sasaran yang dituju
secara spesifik adalah anak-anak didik di sekolah. Sementara kelompok sasaran
penyuluh agama adalah umat beriman yang secara teritorial dan kategorial adalah
wilayah domain pimpinan Gereja.
Berdasarkan
uraian tugasnya, Penyuluh Agama Katolik melakukan penyuluhan terhadap kelompok
binaan: masyarakat pedesaan, masyarakat transmigrasi, masyarakat perkotaan:
kompleks perumahan, real estate,
asrama, daerah pemukiman baru, masyarakat pasar, masyarakat daerah rawan,
karyawan instansi pemerintah/ swasta, masyarakat industri, masyarakat khusus: cendekiawan
(pegawai instansi pemerintah), kelompok profesi, kampus/akademis, generasi muda
(Orang Muda Katolik, Karang Taruna, Pramuka), Lembaga Pendidikan Masyarakat
(komuni pertama, katekumen, sekolah minggu/bina iman anak, WKRI, seminari,
postulat, novisiat), binaan khusus (Panti Rehabilitasi/ Pondok Sosial, Rumah
Sakit, gelandangan/pengemis, Pekerja Seks Komersial (PSK), Lembaga
Pemasyarakatan, dan masyarakat daerah terpencil dan suku terasing.
Disinilah
letak permasalahannya, bagaimana mensinkronkan keinginan pimpinan Gereja dan
pelaksanaan tugas yang diembankan Negara kepada para Penyuluh Agama Katolik
tersebut? Sebab apapun tuduhan yang diterima Penyuluh Agama Katolik, namum
kehadiran mereka sangat membantu Gereja Katolik. Karena dengan latar belakang
pendidikannya (S1) filsafat agama, teologi, kateketik, pastoral, orang-orang
dari kumpulan terbuang tersebut, dengan kegiatan bimbingan keagamaan dan
penyuluhan pembangunan melalui bahasa agama, sekarang telah diposisikan menjadi
Pengajar Iman. Tugasnya sangat membantu pengembangan dan pembangunan Gereja,
tetapi secara finansial Gereja tidak mengeluarkan dana untuk tugas yang dilaksanakan
Penyuluh Agama Katolik. Maka saat ini kami melihat dan berharap bahwa para
pimpinan Gereja di seluruh Nusantara mesti membuka mata dan merangkul Penyuluh
Agama Katolik demi pengembangan pembinaan iman kita, sekaligus memberdayakan
secara maksimal tugas dan peran Penyuluh Agama Katolik yang notabene PNS untuk pelaksanaan berbagai
pembinaan di lingkungan Gereja. Di pihak lain, para Penyuluh Agama Katolik harus
bersikap rendah hati untuk tetap taat dan mendekatkan diri kepada pimpinan
Gereja dimana dia ditugaskan. Itulah kami pikir spiritualitas kasih dan ketaatan
yang senantiasa kita bangun sebagaimana diwartakan dan dihidupi Yesus Kristus
sebagai Teladan Hidup Beriman kita. Artinya, pimpinan Gereja bersedia merangkul
para Penyuluh Agama Katolik, demikian juga sebaliknya para Penyuluh Agama Katolik
mau mendekatkan diri sekaligus taat pada gembalanya.
Seratus
Persen Katolik, Seratus Persen Indonesia
Posisi
Penyuluh Agama Katolik boleh dikatakan sebagai jembatan – yang menghubungkan
dan menyatukan antara Gereja dan Negara. Kami berpendapat bahwa posisi tersebut
bisa diberdayakan secara maksimal untuk mewujudnyatakan apa yang pernah
dikatakan oleh Mgr. Albertus Soegiopranata, SJ,: “Seratus Persen Katolik, Seratus Persen Warga Negara Indonesia”.
Kalau
Injil mengatakan bahwa tidak bisa seseorang mengabdi kepada tuan, tetapi
kenyataannya posisi Penyuluh Agama Katolik membuktikan bahwa mereka harus
mengabdi pada dua tuan: Gereja dan Negara. Kami pikir bahwa dalam posisi itulah
peranan dan tugas Penyuluh Agama Katolik mesti dipertegas dan dikembangkan,
agar mereka tidak melulu menyampaikan tugas dan program Negara, tetapi juga
harus memperhatikan situasi Gereja dan terutama bagaimana pengembangan iman
mesti dilestarikan. Dengan demikian tugas dan tanggungjawab Penyuluh Agama
Katolik bisa sinkron, karena berada di wilayah domain yang berbeda. Artinya, adagium kita: Seratus Persen Katolik,
Seratus Persen Warga Negara, bisa diwujudnyatakan. Jabatan Fungsioanal Penyuluh
Agama Katolik berbeda dengan pejabat dan pegawai kantor dan guru agama yang
selama ini berada pada naungan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik
– Kementerian Agama. Dua posisi di atas amat sangat sedikit interaksi,
pertemuan, komunikasi, pergesekannya dengan pihak Gereja. Padahal Penyuluh
Agama Katolik justru di dua wilayah (Gereja dan Negara) itulah harus memainkan
peran dan tugasnya dengan baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberikan komentar