Salam Damai Kristus,

Sebuah kontribusi para mantan frater, pastor, suster, bruder, dll bagi pembangunan kehidupan bersama yang lebih baik. Kirimkan artikel apa saja yang mau ditampilkan pada blog ini ke email: mantan.frater09@gmail.com Atas kunjungannya, terima kasih.

Jumat, 08 Maret 2013

Menilik Konklaf dari Perspektif Manajemen (Justinus Prastowo)

Konklaf kali ini sungguh menarik disimak. Berbagai sudut pandang sudah dipaparkan dan banyak analisis disajikan. Mulai dari pendekatan teologis, politis, dan strategis yang akhirnya memunculkan rumor tentang siapa yang paling layak menjadi Paus pengganti Benediktus XVI yang mengundurkan diri.

Bagi saya pribadi, magnet Vatikan terasa spesial dan luar biasa. Sebuah
pusat kekristenan yang berusia sekitar 20 abad, mewarisi tradisi yang
kokoh, memiliki sejarah panjang yang menciptakan pro dan kontra, berayun
dalam tegangan baik-buruk, mulia-jahat, tulus-bermuslihat. Apa pun itu,
dinamika Vatikan dan Gereja Katolik masih diakui mempunyai dampak pada dinamika sosial-politik dunia.

Wajar saja, dengan jumlah pemeluk mencapai 1,2 milyar, meliputi 17% dari
penduduk dunia dan 30% dari seluruh pengikut Yesus, Gereja Katolik
diperhitungkan. Belum lagi persebaran yang cukup merata. Dominan di
beberapa negara Eropa seperti Spanyol, Prancis, Portugal dan Italia,
penganut Katolik lumayan banyak di Amerika Serikat, lalu dominan di Amerika Latin, berkembang luas di Afrika seperti Nigeria, Kongo, dan Ghana, juga di beberapa negara Asia seperti Filipina dan India. Secara kultural Gereja Katolik juga memiliki kekayaan tak terkira. Mula-mula berakar pada Yudaisme
dan budaya Timur Tengah, berkembang di wilayah Mesir, menyebar di Asia Kecil dan Eropa hingga membentuk sebuah corak khusus "Yudeo-Helenistik" yang merupakan persilangan panjang budaya dan corak berpikir Yahudi dan
Yunani. Kristianitas pun berakar kokoh pada budaya Barat.

Tulisan ini tak hendak melihat Gereja Katolik dari sisi historis-teologis
tetapi memotret kebutuhan apa yang mendesak bagi Katolisisme. Kira-kira 50 tahun silam ketika Konsili Vatikan II dimulai, ada tiga bayang-bayang yang
sejatinya menjadi isu sentral namun tak secara eksplisit disampaikan.
Pertama, lingkungan atau suasana kebatinan yang mendukung gagasan
perubahan. Kedua, hubungan internal Gereja antara pusat dan pinggiran, yang akan tampak dalam relasi Paus dan Dewan Uskup, antara primasi kepausan dan aspek kolegialitas. Ketiga, corak atau model ekspresi otoritas Gereja yang dipilih sesuai spirit pembaruan (aggiornamento). Tiga hal itu dipotret dengan sangat baik oleh John O Malley,SJ - salah satu sejarawan Katolik terbaik yang ada saat ini.

Bertolak dari pandangan Malley di atas, saya lalu melirik ulasan Brendan Mc
Charty di The Tablet baru-baru ini. Dengan jeli ia memotret kebutuhan
pemimpin Gereja Katolik saat ini seperti sebuah perusahaan memilih CEO. Bahkan Mc Charty menganalogikan pentingnya Gereja Katolik menemukan dan
memilih tokoh sekelas Carlos Ghosn - ahli yang menyelamatkan Nissan Motor
dan kebangkrutan dan justru menjadikannya berjaya kembali.

Kiranya siapa pun itu di dunia modern ini tak bisa mengabaikan kaidah-kaidah dan praktik terbaik yang dicermati dan dikaji Ilmu Manajemen. Bagaimana siklus Planning, Organizing, Actuating, dan Controlling menjadi kebutuhan penting bagi organisasi besar terlebih sebesar Gereja Katolik.

Lalu, kira-kira apa kriteria yang dibutuhkan? Jika ditilik dengan saksama, kita memiliki beberapa model pemimpin (Paus) dalam satu abad terakhir. Paus yang memiliki kemampuan administrator yang baik, kemampuan manajerial dan citarasa bekerja rapi dalam organisasi besar adalah Pius XII dan Paulus VI.

Selebihnya Paus di abad modern ini bercorak kharismatis: Yohanes Paulus II
bahkan mendunia sebagai pribadi hingga sedemikian identik dengan
kekatolikan. Ia layak disebut "Penginjil Dunia', karena aktivitas personalnya sedemikian luar biasa, memancarkan kharisma yang sangat kuat.

Dalam hal ini Yohanes XXIII satu tipe dengan Yohanes Paulus II. Selebihnya,
Benediktus XVI lebih mirip dengan Pius XI - pemikir yang tekun, mendalam
dan jenius. Keduanya lebih cocok sebagai pengajar, peneliti, ataupun
mahaguru.

Sedangkan Gereja Katolik diterpa berbagai isu yang sensitif: kasus
pelecehan seksual, korupsi di pusaran kekuasaan Vatikan, sekularisme, dan
beberapa hal lain. Seringkali terasa Vatikan terlambat merespon isu hingga
berkembang liar dan sangat merugikan. JP II dan Benediktus XVI lah yang menghadapi hal ini, dan agaknya keduanya tak memiliki "kabinet" yang baik.

Manajemen tak berjalan sebagaimana mestinya. Kolegialitas Uskup perlu
ditekankan kembali dan manajemen Vatikan harus dirombak, disegarkan, dan dijalankan layaknya CEO memimpin perusahaan besar.

Maka, kini kita memiliki tiga kriteria yang harus dicari irisannya.
Pertama, tentu saja kita membutuhkan pemimpin yang kharismatik, yang mampu menjadi simbol, perekat, disegani dan otoritatif. JP II dan Yohanes XXIII layak dijadikan model. Kedua, kita butuh paus yang paham soal tata kelola (governance). Menilik begitu berantakan manajemen Gereja, kegagalan membangun komunikasi dan koordinasi yang baik, dan ketiadaan pola baku yang
terdesentralisasi, menjadikan kebutuhan akan "ahli governance" mutlak. Ini menjadi kriteria yang harus dipertimbangkan. Dan terakhir adalah apa yang dalam ilmu Manajemen mutakhir disebut "global fluency".
Dalam "dunia yang makin datar dan mampat" ini, relasi menjadi sangat plastis, encer, dan rumit. Dibutuhkan sosok yang memiliki kualifikasi global, mendunia, menguasai kelenturan relasi ruang-waktu. Atau dengan kata lain, ia adalah sosok yang sangat mobile, memiliki dukungan fisik prima, luwes bergaul, dan paham pernak pernik dan seluk beluk bisnis, teknologi, dan hal-hal remeh temeh yang kerapkali dibidik para ahli pemasaran.

Akhirnya, jika dalam tiga lingkaran KHARISMA, GOVERNANCE, dan GLOBAL
FLUENCY ini maka irisannya jelas. Sosok yang berkharisma dalam taraf
tertentu, memiliki kemampuan manajerial yang cukup baik, dan kelenturan bertemu berbagai budaya. Di sini pentingnya mempersiapkan pribadi-pribadi unggul dengan 3 kualifikasi itu. Jam terbang di lapangan yang cukup, kepribadian yang baik, relatif muda dan prima, serta lentur-luwes. Konklaf menjadi menarik dan strategis. Apakah kerisauan para pakar juga menjadi bagian pergumulan para Kardinal? Semoga. Kita boleh saja membuat hitung-hitungan. Ada beberapa Kardinal yang layak mengisi irisan itu, misalnya Christoph Sconborn dari Austria, Angelo Scola dari Milan Italia, dan Marc Ouellet dari Quebec Kanada. Ini bukan berarti yang lain tak
berpeluang. Jika mengikuti betapa dramatis Konklaf 1958 yang memilih Angelo Roncalli dan 1978 yang memilih Karol Wojtyla, semua bisa terjadi. Kita bisa menyebut faktor pemeliharaan Roh Kudus, tapi boleh saja orang lain menyebutnya sebagai kejeniusan para pemilih itu sendiri. Intuisi menjadi penting.

Kita berdoa untuk mendapatkan yang terbaik bagi Gereja dan dunia. Bagi saya yang lebih mendesak adalah bagaimana sejak sekarang kita menyiapkan generasi yang memiliki tiga kualifikasi itu - baik klerus maupun awam.

salam

Justinus Prastowo

Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan memberikan komentar